Ngobrol Bareng Mantan Kombatan dan Napi Terorisme tentang ke-Indonesia-an

Konten Media Partner
27 Agustus 2018 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ngobrol Bareng Mantan Kombatan dan Napi Terorisme tentang ke-Indonesia-an
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Para Kombatan dan Napi Terorisme saat upacara hari kemerdekaan Jumat (17/8/2018). Perayaan ini disebut menjadi momentum bersama-sama menjaga kedaulatan NKRI.
ADVERTISEMENT
Hari Kemerdekaan RI ke 73 menjadi moment, bagi para mantan kombatan dan narapidana terorisme, untuk berkumpul di Alun-alun Lamongan. WartaBromo, berkesempatan ngobrol bareng dengan mereka. Soal sepak terjangnya di masa lalu, ke-Indonesia-an, juga pesan-pesan kepada kawan-kawan mereka, yang masih berkutat dengan radikalisme.
Laporan: M. Asad
EMOSI Ali Fauzi akhirnya tak terbendung. Ia tak kuasa menahan haru tatkala para mantan kombatan dan eks narapidana terorisme itu meneriakkan yel-yel ‘Damai Indonesia’ di hadapan undangan.
Sejurus kemudian, Ali berjalan menghampiri. Selembar kertas yang berisi butir-butir ikrar kesetiaan pada NKRI, ia serahkan kepada Yusuf Anis untuk dibacakan.
“Saya bangga, saya bahagia. Saya benar-benar terharu. Pak Yusuf, beliau itu guru saya. Gurunya Doktor Azhari, gurunya Nurdin M. Top. Dan mereka yang di barisan, sebagian juga pernah menjadi anak buah saya. Tapi, ikrar ini menjadi afirmasi, bahwa mereka telah kembali ke NKRI. Saya sangat terharu,” ujar Ali Fauzi yang ditemui seusai upacara.
ADVERTISEMENT
Ya, peringatan hari kemerdekaan Jumat (17/8/2018) lalu, menjadi momentum paling mengharukan bagi Ali Fauzi. Sebagai mantan kombatan yang malang melintang di kamp-kamp militer, hampir tidak pernah ada yang membuatnya berlinang air mata. Tetapi, itu justru terjadi saat perayaan kemerdekaan Indonesia ke-73 di alun-alun Lamongan.
“Sudah banyak pertempuran yang pernah saya ikuti. Tidak pernah saya menangis. Baru kali ini saya menangis,” terang Ali Fauzi.
Keharuan itu semakin ia rasakan tatkala Yusuf Anis, yang pernah menjadi mentornya, dengan lantang memimpin peleton eks kombatan untuk berikrar setia pada NKRI.
Soal siapa sebenarnya Yusuf Anis ini, WartaBromo sempat mendapat sedikit data, yang mengulas sosok lelaki asli Lamongan itu. Di kalangan para jihadis, Yusuf juga dikenal dengan nama samaran Haris alias Abu Hilal alias Abu Musa. Dari tangannya, lahir sejumlah nama yang sempat menjadi buron pelaku teror nomor wahid negeri ini. Seperti Nordin M. Top, Doktor Azhari, hingga Umar Patek.
ADVERTISEMENT
Lahir di Lamongan, Yusuf melewatkan masa kecilnya di Kota Soto ini. Selepas lulus SMA, ia kemudian melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi ternama di Malang, tepatnya di Fakultas Ekonomi dan lulus 1988 silam. Di sana pula Yusuf mulai banyak bersentuhan gerakan radikalisme.
Selesai kuliah, ia lantas bergabung ke Akademi Militer Mujahidin di Afganistan. Di sini, Yunus lulus tahun 1991 dengan pangkat Dowom Brigmen atau Letnan Dua. Sebagai mantan kombatan, Yunus pernah mengikuti sejumlah pelatihan. Diantaranya, pelatihan Daurah Dababah, sebuah pelatihan untuk mengoperasikan tank Rusia 154.
Selain itu, ia juga pernah mengiktui pelatihan Daurah Field Engineering atau perakitan bom bersama jamaah Al-qaeda. Lalu, pelatihan intellegence surveillance, pelatihan kepemimpinan, serta pelatihan pengoperasian senjata anti pesawat yang semuanya dijalani bersama Jamaah Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
ADVERTISEMENT
Pada 1993, Yusuf lantas bergabung dengan gerakan DI-NII. Sebelum akhirnya bergabung dengan Jamaah Islamiyah pada 2001. Di organisasi ini, sejumlah posisi penting sempat dijabatnya. Diantaranya, sebagai Ketua I Bagian Askari Mantiki 1 JI Malaysia, Singapura. Bahkan, ia pula yang merintis Jamaah Islamiyah di Australia. Tugasnya sebagai senior instructur di camp militer di Afganistan dan Mindanao selama 10 tahun (1991-2001), seolah kian melengkapi kemampuannya di bidang olah kemiliteran.
Nah, pada Jumat (17/8/2018), Yusuf didapuk untuk memimpin pembacaan ikrar kesetiaan NKRI bersama mantan para kombatan dan napi teroris. Selama sepekan belajar, tugas itu pun berhasil ia tuntaskan dengan baik. Jadilah suasana alun-alun yang semula terasa begitu formal, mendadak mengharu biru. Eks kombatan dan napi teroris itu saling bersalaman dan berangkulan.
ADVERTISEMENT
Ali Fauzi mengatakan, ada sekitar 31 orang yang tergabung dalam peleton ‘khusus’ upacara perayaan kemerdekaan itu. Selain mantan kombatan dan narapidana terorisme, di antara mereka, ada juga kerabat pelaku. Sebagai komandan peleton adalah Yoyok Edi Sucahyo.
Sama halnya Yusuf, Yoyok sebelumnya aktif di gerakan radikalisme. Paham tersebut ia dapat dari gurunya, Abu Taqi sekitar 1991 hingga 1994 silam. Saat ini, Abu Taqi merupakan salah satu komandan ISIS di Syiria. Dari Abu Taqi, kemudian bergabung dengan gerakan Abu Sayyaf di Mindanao, Filipina pada kurun 1998-2001.
Dari kelompok militer yang berbasis di Filipina Selatan itu, Yoyok yang dibantu Ustad Iswanto, bertugas menyuplai kebutuhan logistik jaringan. Termasuk, memasok senjata dan juga material bom ke milisi Ambon dan juga Poso pimpinan Ali Fauzi kala itu.
ADVERTISEMENT
Tidak beda dengan Yusuf, Yoyok pun sukses mengomandoi anak buahnya saat pembacaan ikrar.
Ali Fauzi mengungkapkan, sejatinya ada banyak mantan kombatan atau pelaku teroris yang ingin kembali ke NKRI. Atas dasar itu pula, ia kemudian mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah lembaga yang fokus untuk mewadahi mantan-mantan kombatan, pelaku terorisme, hingga kerabat mereka.
Berdiri tepat pada 29 November 2016, lembaga yang berlokasi di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, itu diresmikan langsung oleh Komjen. Suhardi Alius (mantan Kepala BNPT)
“Yayasan ini memang untuk menampung teman-teman yang sudah ‘kembali’ ke NKRI,” kata Ali Fauzi.
Sejak dibentuk dua tahun silam, saat ini, sudah ada 43 orang mantan narapidana terorisme yang bergabung di lembaganya itu. Sedangkan 11 orang merupakan mantan kombatan alias pernah terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan pemerintah.
ADVERTISEMENT
“Sebagian besar memang mantan napi teroris atau kombatan. Tapi, ada juga yang tidak, cuma kerabat. Jadi, kerabat-kerabatnya yang dulu sempat terlibat terorisme, akhirnya bergabung juga disini. Ada anaknya atau saudaranya,” jelas Khozin sambil menunjuk ke lelaki berkacamata, agak jauh dari tempatnya berdiri.
Lelaki yang dimaksud Khozin adalah Zulia Mahendra, anak dari Amrozi, pelaku bom Bali I yang telah dieksekusi mati 2008 silam.
Semula, Hendra –biasa Zulia Mahendra- dipanggil belum bisa terima, dengan keputusan negara yang menghukum mati sang ayah. Sempat mendendam dan berkeinginan melanjutkan aksi ayahnya, Hendra belakangan mulai tersadar.
Untuk pertama kalinya, saat agustusan 2017 lalu, di markas Yayasan Lingkar Perdamaian, ia mengikuti upacara bendera. Bahkan, pada upacara pertama dalam hidupnya itu, ia bertugas sebagai pengibar bendera. Begitu juga saat upacara kemerdakaan tahun ini. Meski tak lagi menjadi petugas pengibar bendera, ia berada di baris paling depan bersama koleganya yang lain. “Sudah waktunya untuk membangun negeri ini,” terangnya singkat.
ADVERTISEMENT
Bagi Ali Fauzi, kehadiran para koleganya pada upacara kemerdekaan itu, sebagai bentuk afirmasi terhadap pemerintah dan juga negeri ini.
“Mereka sudah mengevaluasi, bahwa visi-misi yang mereka dengungkan selama ini, itu salah. Mereka menyadari itu. Bahwa saat ini, saat yang tepat untuk bergabung dengan masyarakat Indonesia lainnya, untuk membangun negeri,” terang Ali Fauzi di pendapa alun-alun.
Kesadaran itu pula yang coba ia bangun, bersama komunitasnya di Yayasan Lingkar Perdamaian. Berangkat dari perasaan yang sama, mimpi yang sama, ia berharap teman-temannya bisa berpikir dan bertindak lebih produktif. Dan itu akan bisa dicapai jika kehidupan negeri ini berlangsung dengan damai.
Menurut Ali Fauzi, yayasan yang didirikannya memiliki konsentrasi pada control flow integrity (CFI). Selain menampung kombatan dan mantan narapidana kasus terorisme untuk kembali ke NKRI, YLP juga membawa misi melakukan pencegahan terorisme di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sadar setelah 11 Tahun Dipenjara
Dalam kesempatan itu, WartaBromo sempat ngobrol dengan Iqbal, mantan narapidana kasus terorisme, yang baru bebas lima hari, jelang kegiatan itu berlangsung. Kepada WartaBromo, lelaki kelahiran Bandar Lampung ini, menghabiskan 11 tahun waktunya, di balik penjara atas sejumlah kasus teror dan kepemilikan senjata api.
“Total 11 tahun saya dipenjara,” kata Iqbal.
Tahun 2005, ia ditangkap atas kasus teror pertama dan dijatuhi hukuman 7 tahun. Bebas pada 2010, ia kembali dibekuk hingga dua kali, lantaran terlibat jaringan terorisme. Masing-masing divonis tiga dan satu tahun penjara.
Selama di kurungan, Ali Fauzi intens memantaunya. Mereka juga sering berkomunikasi. Apalagi, keduanya juga sudah saling kenal sejak sama-sama menghuni camp militer di Mindanao, Filipina. Intensitas komunikasi itu pula yang pada akhirnya membuka pola pikir Iqbal perihal Indonesia dan juga radikalisme.
ADVERTISEMENT
Karena itu, begitu bebas lima hari jelang Hari Kemerdekaan, Iqbal langsung meluncur dari Cipinang menuju Tenggulun, Solokuro. “Kami memang sudah saling kenal. Sewaktu di dalam, saya selalu di monitor. Begitu saya bebas, mereka langsung menghubungi untuk berangkat ke sini,” kata Iqbal.
Kini Iqbal seolah menemukan kehidupan baru. Bersama kawan-kawannya di Yayasan Lingkar Perdamaian, ia siap menatap masa depan yang lebih produktif. Karena itu, melalui WartaBromo, ia pun mengimbau kepada teman-temannya yang saat ini menjalani hukuman untuk segera bergabung selepas dari penjara nanti.
“Kita lahir di Indonesia, besar di Indonesia. Masa depan kita, diri kita yang menentukan. Mari, menjadikan diri kita lebih baik, agar masa depan keluarga kita, anak cucu kita, bisa lebih baik lagi. Saya berharap, ke depan tidak ada lagi konflik-konflik atau kekerasan yang mengatasnamakan agama. Karena pada akhirnya, itu justru akan menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan,” ujar Iqbal.
ADVERTISEMENT
Secara khusus, ia juga berpesan kepada teman-temannya yang masih aktif berkegiatan di gerakan radikalisme. Dikatakannya, Indonesia yang majemuk tidak bisa dipungkiri. Ada banyak suku, agama, dan berbagai komunitas yang sejak awal ikut membantu, berdirinya negeri ini. Tetapi, jangan sampai perbedaan pemikiran dan ide justru menjadikan negeri ini terpecah belah.