Potret Buram Transparansi Anggaran

Konten Media Partner
23 Februari 2019 9:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi uang dalam amplop
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi uang dalam amplop
ADVERTISEMENT
Intruksi Mendagri tentang Transparansi Pengelolaan Anggaran (TPA) rupanya tak bertaji. Tujuh tahun diterbitkan, nyatanya sampai kini, sejumlah daerah masih ‘menyembunyikan’ dokumen itu ketimbang membukanya ke publik.
ADVERTISEMENT
Laporan Mochammad Asad
KETERBUKAAN informasi merupakan salah satu parameter sebuah daerah transparan atau tidak. Termasuk dalam hal pengelolaan anggaran. Melalui keterbukaan informasi ini, publik akan bisa menilai apakah pengelolaan anggaran benar-benar dipergunakan untuk kepentingan publik atau lainnya.
Dengan informasi yang terbuka, publik juga diharapkan lebih partisipatif dalam pembangunan sebuah daerah. Nyatanya, sampai kini, sejumlah daerah belum bersikap transparan dan memilih menutup dokumen itu rapat-rapat.
Koordinator Forum Transparansi Pengelolaan Anggaran (Fitra) Jawa Timur, A. Dahlan mengatakan, kendati sudah lama diberlakukan, sejumlah daerah belum mematahi instruksi tersebut. Fakta itu ia temukan lantaran beberapa daerah belum mempublikasikan dokumen keuangan itu di laman website resmi mereka.
“Ada beberapa daerah di Jatim yang belum bersedia mempublikasikan data itu ke publik. Tentu itu menjadi kontraproduktif dengan kampanye pemerintah soal terwujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan,” jelas Dahlan. Selain itu,
ADVERTISEMENT
kenyataan itu juga bertentangan dengan Menteri Dalam Negeri perihal Transparansi Pengelolaan Anggaran.
Merujuk pada Instruksi Mendagri nomor 188.52/1797/SJ tertanggal 9 Mei 2012 itu, semua daerah wajib menyampaikan konten transparansi anggaran di website resmi daerah. Konten yang dimaksud meliputi Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Raperda APBD), dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), hingga ringkasan rencana kerja dan anggaran (RKA) SKPD.
Sayangnya, meski sudah enam tahun diterbitkan, instruksi tersebut tidak banyak dipatuhi. Padahal, instruksi tersebut merupakan kelanjutan dari Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Kota Pasuruan dan Kabupaten Probolinggo adalah contoh dua daerah yang tidak patuh dengan kedua regulasi itu. Dari penelusuran WartaBromo, baik Kota Pasuruan maupun Kabupaten Probolinggo sama-sama tidak menampilkan dokumen publik tersebut ke laman website mereka.
ADVERTISEMENT
Pada website resmi Pemkot Pasuruan misalnya. Penelusuran WartaBromo hanya mendapati nama-nama SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) berikut nama-nama pejabatnya. Nyaris tidak ditemukan data ataupun dokumen keuangan, bahkan program kerja yang di-upload disana.
Kenyataan yang sama juga didapati pada laman website resmi milik Pemkab Probolinggo. Tak satupun dokumen anggaran, baik itu APBD, DPA, maupun RKA yang dipublikasikan ke publik. Dengan kata lain, kedua daerah ini seolah bersepakat untuk ‘menyembunyikam’ dokumen itu dari publik.
Kondisi sedikit berbeda bisa dijumpai pada website milik Pemkab Pasuruan maupun Pemkot Probolinggo. Kendati tidak sedetail yang diharapkan, kedua instansi ini sudah melampirkan dokumen anggaran. Meskipun, pada beberapa kanal yang tersedia, data yang dimaksud kosong alias tidak ada isinya.
ADVERTISEMENT
Grafis Transparansi Anggaran.
Lujeng Sudarto, direktur Pusat Studi Advokasi Kebijakan Publik (Pus@ka) mengatakan, keengganan Pemkot Pasuruan-Pemkab Probolinggo untuk meng-upload dokumen anggaran jelas mencederai kepentingan publik. Pasalnya, dokumen yang sejatinya menjadi data publik, justru disimpan rapat-rapat.
“Kenapa instruksi itu diterbitkan, paling tidak harus dipahami apa filosofinya. Kalau kemudian ada yang bersikukuh untuk tidak mempublikasikan, justru itu patut dipertanyakan. Jangan-jangan mereka tidak bersepakat dengan terwujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan?” tegas Lujeng dengan nada serius.
Lujeng juga sempat menyinggung penghargaan SAKIP, sebagaimana yang sempat diraih Pemkab Pasuruan. Dikatakan Lujeng, meski sudah mencantumkan data anggaran pada laman website mereka, data yang di-upload belum lengkap.
Lujeng yang sempat tercatat sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi ini menegaskan, yang harus ditekankan bahwa mempublikasikan data adalah kewajiban pemerintah. Sebab, hal itu berkaitan dengan pemenuhan hak publik untuk mendapatkan informasi.
ADVERTISEMENT
“Ini baru ngomong soal anggaran. Belum lain-lain seperti program kerja atau bahkan capaian hasil kinerja yang hampir pasti publik tidak pernah tahu,” jelas Lujeng.
Karena itu, pihaknya mempertanyakan political will kedua kepala daerah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan.
Menurut Lujeng, transparansi diperlukan demi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas koruptif. Langsung atau tidak, lanjut lelaki yang pernah menjadi dosen ini, akan menutup peluang adanya praktik manipulatif.
“Dengan pelaporan yang transparan, publik akan mengetahui apakah anggaran yang digunakan sudah efektif atau malah sebaliknnya,” katanya.
Sebagai contoh, jika saja dalam data APBD ditemukan anggaran pegawai lebih besar ketimbang belanja modal, itu berarti pemerintahan yang berjalan kurang efektif. Bisa jadi karena jumlah pegawai yang terlalu gemuk. Akibatnya, banyak agenda-agenda publik yang pada akhirnya terbengkalai karena anggaran tak cukup.
ADVERTISEMENT
Fakta adanya keengganan pemerintah daerah mempublikasikan data keuangan sejalan dengan temuan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro). Ahmad Rofik, peneliti Pattiro mengungkapkan, sekitar 72 persen pemerintah daerah (Pemda) enggan mengikuti instruksi Mendagri perihal transparansi pengelolaan anggaran itu.