Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Ramadhan di Luar Negeri: Tantangan Menjalani Puasa di Chiayi, Taiwan
13 Mei 2020 10:14 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB

ADVERTISEMENT
Menjadi minoritas di negara orang memang tidak mudah dan penuh tantangan. Banyak hal-hal yang biasanya dijumpai di tanah air menjadi langka.
ADVERTISEMENT
Oleh: Nur Izzatul Maulidah, Taiwan
SEBAGAI penganut agama minoritas di Chiayi, Taiwan, menjalani kewajiban tidak makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari sering menuai rasa penasaran orang-orang sekitar. Kadang-kadang kami sampai kesulitan memberi penjelasan pada deretan pertanyaan mereka kepada kami.
“Kenapa kalian puasa?”
“Itu kalian gak boleh makan dan gak boleh minum?”
“Apakah itu gak berat?”
Menjawab pertanyaan itu dengan penjelasan yang komprehensif cukup sulit. Sebab, kami biasanya menjelaskannya dengan Bahasa Inggris, sementara masyarakat Taiwan. Yang bertanya tentang puasa kepada kami, banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris. Jika pun dijelaskan dengan bahasa Mandarin, kosa kata kami terbatas.
Apalagi jika ada pertanyaan menyentil seperti, “Apakah sejahat itu Tuhan kalian?”
ADVERTISEMENT
Kadang-kadang kami hanya menjawab semampunya. Misalnya, bahwa Allah ingin hambanya dekat dengan-Nya. Setelah 1 tahun kita disibukkan dengan urusan dunia, Allah ingin satu bulan saja kita fokus beribadah.
“Walau kadang terasa berat, tapi kita sudah berlatih sejak kecil. Jadi tidak minum dan tidak makan selama lebih kurang 13 jam kita mampu,” begitu saya menjelaskan.
Atau biasanya kami memberi penjelasan soal manfaat puasa bagi kesehatan. Bahwa puasa bisa membuat tubuh kita sehat, karena ada proses detoksifikasi pada tubuh kita.
Tetapi jawaban itu sulit sekali dipahami mereka yang sangat rasional. Bagi mereka, jika ingin sehat, ya minum yang cukup, kurangi makanan yang tidak bergizi dan berbahaya, atau jika perlu jadilah vegetarian, di mana produk daging dan ikan tidak bisa ia konsumsi.
ADVERTISEMENT
Jika sudah begitu, tidak akan ada lagi diskusi. Kami tidak akan menanggapi atau membantah jawaban mereka. Mungkin untuk ke depan kami perlu bimbingan ustaz atau kiai dalam urusan-urusan seperti ini.
Namun di luar itu semua, menjalani Ramadhan di Taiwan tetap terasa menyenangkan. Tahun ini menjadi tahun ke-4 saya berpuasa di Chiayi. Cuacanya cukup baik dan tidak sepanas tahun 2016 di mana saya pertama kali menjalani Ramadhan di Taiwan.
Jika tidak keliru, pada bulan Ramadhan tahun 2016 itu bersamaan dengan musim panas. Waktu berbuka mendekati pukul 19.00 waktu Taiwan atau bahkan lebih. Sedangkan waktu subuh pukul 03.30 waktu Taiwan. Tahun ini, bulan Mei adalah awal musim panas dan waktu berbuka sedikit lebih maju yaitu 18.30 waktu Taiwan.
Saat ini di pusat Kota Chiayi kendaraan tetap ramai hilir mudik seperti hari-hari biasa. Hanya bedanya, sekarang semua memakai masker. Namun walau padat kendaraan, di sini pengguna jalan sangat taat lalu lintas, sebab jika melanggar, besaran denda yang harus dibayar bisa membuat mereka menangis.
ADVERTISEMENT
Aktivitas saya dan suami selama Ramadhan tidak berbeda jauh dengan sebelum Ramadhan. Weekday, pagi kami menjalani rutinitas sebagaimana layaknya mahasiswa: Penelitian, kuliah, diskusi, bercanda, dan lain sebagainya.
Kampus saya terletak di bagian selatan Taiwan. Dekat dengan pegunungan. Sehingga udaranya agak lebih segar daripada di pusat kota. Orang-orang sering ke kampus untuk hanya sekadar jalan-jalan. Selain itu kampus saya juga dekat dengan kawasan wisata Danau Lantan.
Mahasiwa muslim yang sekampus dengan saya sekitar 20 orang yang tersebar di berbagai jurusan. Saya bersyukur tahun ini kampus memberikan ruang khusus bagi kami mahasiswa muslim untuk melaksanakan salat. Ruang itu kami manfaatkan untuk berbuka dan salat tarawih bersama.
Di pusat Kota Chiayi ada juga musala yang masih aktif menggelar berbuka dan salat tarawih bersama tiap akhir pekan. Musala itu letaknya di lantai 2 sebuah gedung. Lantai 1 untuk toko, lantai 2 tempat makan, lantai 3 musala. Tidak begitu luas sih, tapi cukup untuk menampung jemaah yang hadir.
ADVERTISEMENT
Di sana malah tidak hanya mahasiswa, tapi ada juga buruh migran yang turut hadir. Suasananya menyenangkan. Namun tahun ini bersamaan dengan adanya pandemi, beberapa orang memilih untuk beribadah di rumah masing-masing.
Biasanya, pukul 17.00 saya akan kembali ke rumah untuk memasak keperluan berbuka puasa. Di sini banyak sekali toko. Mereka menjual beraneka macam kebutuhan warga. Rumah-rumah yang sebenarnya bukan berbentuk toko, oleh pemiliknya difungsikan menjadi toko.
Pada musim panas seperti sekarang, harga sebagian sayuran dan buah di pasar seperti kubis, jambu, cabe, pisang, lebih murah. Tapi saya sendiri untuk masak menu berbuka biasanya belanja di mini market, karena pasar murah hanya buka pada pagi hari.
Saya dan teman-teman akan memasak di tempat tinggal masing-masing, kemudian akan kami bawa untuk berbuka bersama dan bertukar masakan. Ya, meski tidak selalu puluhan orang, tapi kehangatan berbuka seperti di Indonesia tetap terasa.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya suasana di Indonesia yang tidak bisa tergantikan adalah suasana ngabuburit sore hari sambil keliling belanja aneka jajanan takjil. Di sini, jika ingin mirip-mirip seperti itu, yang bisa kami lakukan adalah membuat takjil sendiri, seperti cireng, tahu krispi, buah-buahan, dan lain sebagainya.
Menjalani puasa di negeri orang, apalagi bukan negara muslim, memang tidak mudah. Suasananya sangat berbeda. Tak ada deretan penjual es blewah, es degan, es campur, dan es-es lainnya yang menjelang maghrib selalu ramai dikerubungi orang. Tak ada dermawan yang bagi-bagi takjil di pinggir jalan. Tak ada anak-anak kecil yang berisik saat salat tarawih.
Di Indonesia, orang-orang yang tidak berpuasa diimbau agar menghormati orang yang berpuasa. Di sini sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin kita menuntut orang-orang agar tidak makan dan minum di depan kita yang sedang berpuasa. Kita harus memahami situasi dan lingkungan yang sama sekali berbeda dengan kampung halaman kita di Indonesia.
Di Chiayi, kita belajar tentang toleransi dan keragaman keyakinan.
*Catatan: Mahasiswi Doktoral Jurusan Biologi Pertanian, National Chiayi University, Taiwan.
****
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!