Konten dari Pengguna

Matinya Demokrasi di Tangan Penguasa

Polinus Waruwu
Penulis Merupakan Alumni Universitas Darma Agung Medan
14 Juli 2024 8:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Polinus Waruwu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Matinya Demokrasi di Tangan Penguasa (Pixaby.com/ddzphoto)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Matinya Demokrasi di Tangan Penguasa (Pixaby.com/ddzphoto)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demokrasi dikultuskan sebagai sistem politik terbaik di antara sistem yang ada. Bukti dari demokrasi sebagai sistem politik terbaik hampir semua negara menganut sistem tersebut. Akan tetapi, tidak semua negara mampu menjalankan sistem demokrasi politik dengan sungguh-sungguh.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya demokrasi di Indonesia lahir karena kerja keras dari warga sipil sebagai ibu demokrasi dalam memperjuangkan aspirasi politiknya. Pada dasarnya demokrasi Indonesia juga memiliki sang ayah yaitu para elit pemegang kekuasaan.
Merujuk dari situ kehadiran demokrasi diharapkan mampu membawa bangsa ini menjadi negara sejahtera dari berbagai aspek. Salah satunya aspek politik yang harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Kolaborasi antara elit yang berkuasa dan masyarakat sipil berkomitmen untuk terus merawat demokrasi supaya bertumbuh mekar berdasarkan nilai yang terkandung dalam kehidupan rakyat. Walaupun perpaduan gagasan tersebut realitanya mustahil bisa terjadi dalam situasi rezim sekarang. Sehingga demokrasi berada dalam bayang-bayang kehancuran.
Sejak diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia sampai sekarang seringkali berbenturan dengan kepentingan politik yang membuat demokrasi kehilangan maknanya sebagai suatu sistem pemerintahan berbasis kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Kepentingan elit yang berkuasa mereduksi makna demokrasi sehingga demokrasi semakin tergerus dari esensinya sebagai sistem pemerintahan yang mengedepankan kedaulatan rakyat untuk kesejahteraan dan kemakmuran.
Kelompok elit yang berkuasa dengan masyarakat sipil seringkali mempunyai jalan pikiran yang kontradiksi. Demokrasi dalam pikiran masyarakat sipil di perjuangkan supaya bertumbuh berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep demokrasi. Berbeda dengan elit penguasa saat ini yang oportunis, tak menginginkan kesuburan demokrasi kecuali hal itu berpihak dengan kepentingan kelompoknya.
Demokrasi yang seharusnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat terbalik secara drastis menjadi dari elit, oleh elit dan untuk elit. Sehingga demokrasi yang sedang berlangsung saat ini lebih inklusif dikendalikan oleh oligarki dengan mengesampingkan eksistensi rakyat. Para elit penguasa memanfaatkan sistem demokrasi untuk kepentingan sepihak sehingga feedback dari demokrasi tidak dirasakan oleh rakyat secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Indonesia yang baru seperempat abad sudah menunjukkan kemunduran dan bisa saja dalam waktu cepat akan mati total. Hal itu memang sangat di sayangkan terjadi akibat ambisi dan manuver politik para elit politik yang seyogyanya menjadi garda terdepan untuk menjaga keutuhan demokrasi kita saat ini.
Tetapi secara kasat mata elit yang berkuasa sekarang mempraktekkan perilaku pengkhianatan terhadap demokrasi kita. Misalkan terbentuknya dinasti politik dalam ruang lingkup rezim yang berkuasa, pemilu yang penuh dengan kecurangan, lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum elit yang berkuasa dan peristiwa lainnya. Beberapa peristiwa tersebut menunjukan bahwa demokrasi substansial telah mati dan etika politik di kebiri serta kemakmuran bernegara sudah tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Menjadi catatan moral bagi kita semua bagaimana rezim penguasa sekarang dalam membangun siklus politik yang berlangsung tidak berlandaskan demokrasi konstitusional. Sehingga pesta demokrasi tidak lagi menjadi mekanisme yang sehat untuk membatasi kekuasaan supaya terjadi sirkulasi elit demi melahirkan pemimpin yang berintelektual serta bermoralitas.
Pemilu yang menjadi mekanisme untuk mencegah yang terburuk berkuasa akan tetapi berubah menjadi sekedar instrumen legitimasi para elit politik yang tidak memiliki komitmen untuk menjaga marwah nilai-nilai demokrasi. Merekayasa hukum demi memuluskan praktek nepotisme. Puncaknya terlihat demokratis padahal dasarnya membenturkan ketentuan prosedural yang ditetapkan.
Seringkali kebijakan-kebijakan yang dibentuk bertolak belakang dengan kepentingan rakyat. Bagaimana tidak keterlibatan rakyat sebagai objek suatu kebijakan tidak dipertimbangkan lagi. Pada akhirnya produk tersebut menjadi pemicu kericuhan publik sehingga rakyat semakin pragmatis dan tidak percaya akan keberadaan demokrasi di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Permasalahannya bukan dari sistem demokrasi tersebut melainkan para penguasa yang menunjukkan ketidak pedulian terhadap demokrasi sebagai jalan melahirkan keadilan.
Melemahnya sistem check and balances akibat dari kebijakan-kebijakan yang tidak berlandaskan nilai-nilai demokrasi. Dalam menjalankan sistem pemerintahan demokrasi fungsi oposisi sangat krusial untuk memberikan kritik sebagai bahan pertimbangan bagi penguasa. Namun hal itu justru dilarang pada rezim saat ini. Sehingga praktik korupsi di kalangan elit yang berkuasa semakin bertumbuh subur.
Tangisan rakyat tidak didengar justru dimanfaatkan sebagai bahan politisasi dalam ruang pesta demokrasi. Pengkhianatan terhadap konstitusi jelas terlihat, sebagaimana konstitusi mengamanatkan bahwa tugas negara yakni cerdaskan kehidupan bangsa dan memelihara fakir miskin. Justru amanat itu hanya sebatas teori tanpa adanya eksekusi.
ADVERTISEMENT
Dari kondisi demokrasi tersebut tercipta kegelisahan dan kekhawatiran yang cukup mendalam dalam kehidupan berbangsa. Karena demokrasi tidak diisi dengan kebebasan yang menjadikan kita merdeka dan berdaya baik secara ekonomi, politik dan sosial. Semuanya didesain seolah-olah berpihak kepada rakyat tetapi kenyataanya mengelabui dan menghilangkan hak konstitusional kita semua.
Penulis coba kutip isi buku “How Democracy Die” yang disusun oleh Steven Levitsky & Daniel Ziblatt sebagai penutup. Buku itu mengingatkan kita tentang bagaimana demokrasi mati. Dalam buku tersebut kedua ilmuwan politik ini menyoroti fenomena kemunculan sejumlah pemimpin yang terkesan diktator, justru muncul melalui hasil pemilu.
Mereka berpendapat bahwa kini demokrasi mati bukan karena pemimpin jenderal militer yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru oleh pemimpin yang menang melalui proses pemilu.
ADVERTISEMENT
Dari serangkaian peristiwa itu, penulis berharap supaya demokrasi di negeri ini dapat kembali pada khittahnya sebagai prinsip kesetaraan. Semua elemen bangsa harus berikhtiar untuk memulihkan demokrasi kita sehingga bayang-bayang kemunduran itu dapat tertunda dan demokrasi kita tidak jadi mati.