Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ingatlah Selalu Daerah Pinggiran Negeri
21 Agustus 2018 23:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari wendibudi raharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Simpang Lima Atambua. Foto diambil dari http://daonlontar.blogspot.com/2013/01/simpang-lima-atambua.html
Kering, gersang, dan panas. Kurang lebih begitulah yang kurasakan saat pertama kali menginjakkan kaki di bumi Nusa Tenggara Timur. Tepatnya di Kabupaten Belu atau dikenal dengan Rai Belu.
ADVERTISEMENT
Saya pun tidak sendirian. Ada 31 rekan diplomat lainnya turut menyambangi Kabupaten Belu dalam rangka kegiatan Community Service ke sekolah-sekolah disana.
Kata "Rai Belu" sendiri memiliki arti ‘’Tanah Sahabat’’. "Rai berarti Tanah, dan Belu artinya Sahabat", demikian penjelasan Bupati Belu Willybrodus Lay saat menerima kami di kediaman dinasnya di Atambua (14/8).
Lima hari lamanya kita berada di Tanah Sahabat. Naik pesawat baling-baling dari Bandara El Tari Kupang selama kurang dari sejam kita tiba di Bandara A.A. Bere Tallo Belu pada tanggal 14 Agustus 2018.
Bagiku ini adalah pertama kalinya berkunjung ke daerah di Indonesia Timur selain Pulau Sulawesi yang pernah kukunjungi.
Apalagi tujuan kali ini adalah Atambua yang merupakan ibukota Kabupaten Belu dan Mota’ain, salah satu desanya yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Ketika pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999 yang berujung pada lepasnya propinsi tersebut menjadi negara berdaulat Timor Leste, Atambua dan Mota’ain menjadi saksi sejarah eksodusnya masyarakat Timor Timur yang memilih menjadi WNI ke Indonesia.
17 tahun telah berlalu, kini Atambua dan Mota’ain jauh dari kesan ramai apalagi aktifitas eksodus layaknya tahun 1999. Geliat pembangunan infrastruktur pun cukup terasa.
Kini eksodus telah tergantikan dengan aktifitas pelintas batas dari Indonesia dan Timor Leste melalui Mota’ain.
Saling lintas batas dari warga kedua negara cukup tinggi. Itu terjadi karena banyak diantara mereka masih terikat adat istiadat.
‘’Banyak warga negara Timor Leste yang masih memiliki rumah adat di sini (Belu) sehingga melintas dan masuk ke wilayah Atambua. Demikian juga warga kita. Pada dasarnya secara adat mereka satu’’, ujar Marsianus Loe Mau Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Belu (16/8).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya perlintasan warga kedua negara, lalu lalang arus barang dari Indonesia dan Timor Leste juga tidak kalah jumlahnya.
Banyak barang-barang komoditi asal Indonesia dikirim ke Timor Leste, dan sebaliknya. Tidak jarang pula barang tersebut tidak memenuhi ketentuan sehingga ditahan oleh petugas perbatasan.
Melihat realitas denyut akfitiftas perlintasan antara Indonesia dan Timor Leste tersebutlah yang mendorong perlunya kehadiran negara. Apalagi di daerah pinggiran atau perbatasan semacam Mota’ain ini.
Kehadiran negara tersebut berupa Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Mota’ain guna mengurus lalu lintas orang dan barang secara lebih memadai dan berwibawa.
Ya. berwibawa, karena dulunya PLBN Mota’ain boleh dibilang sangat buruk dan terbelakang, bahkan dibandingkan dengan PLBN milik tetangga Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Nah sekarang, PLBN Mota’ain telah dibangun menjadi sebuah kompleks kantor perbatasan baru yang megah, berwajahkan ornamen kearifan lokal, dan pastinya lebih membanggakan serta berwibawa.
“Dulu PLBN di Mota’ain jelek pak, dibandingkan dengan Timor Leste (sekalipun), sekarang udah bagus banget pak”, kata Kiuk, driver setempat.
Memiliki PLBN yang bagus dan layak adalah mutlak kerena daerah pinggiran perbatasan sejatinya adalah wajah Indonesia yang langsung terlihat oleh negara tetangga.
Wajah yang harus terlihat rupawan dan berwibawa dimata negara tetangga dan mampu membanggakan warga Indonesia yang tinggal disitu agar tidak merasa minder dengan warga tetangga.
Jalanan di “Tanah Sahabat” juga sudah bersahabat alias cukup mulus dan memadai untuk penghubung antar kelurahan.
Layaknya daerah pinggiran perbatasan lainnya, perhatian pemerintah pada infrastruktur di Tanah Sahabat begitu jelas dan tampak batang hidungnya. Pembangunan jalan mulus dan tidak berlobang telah dan terus dilakukan. selain pembangunan PLBN Mota’ain.
ADVERTISEMENT
Memang jangan dibandingkan dengan jalanan di Pulau Jawa yang pastinya lebih wow dan mulus.
Sekedar untuk memperlancar arus orang dan barang antar kota dan antar propinsi kondisi jalanan di Tanah Sahabat saat ini sangat disyukuri banget oleh warga lokal.
Akan tetapi tidak dipungkiri masih ada jalanan yang jelek dan belum beraspal alias masih berdebu dan berbatu yang bisa membuat ban mobil robek.
Jalan berbatu menuju Pantai Tuamesse. Foto koleksi pribadi.
Pemandangan lain di Rai Belu yang kontras dengan Pulau Jawa adalah listrik. Kondisi Tanah Sahabat masih gelap gulita dengan kurangnya penerangan jalan saat malam hari, khususnya di kota Atambua.
Saat berkendara keluar kota Atambua juga terlihat banyak rumah penduduk di sepanjang jalan yang terbatas penerangan rumahnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini memang tidak mengherankan. Apabila dilihat dari pencitraan satelit, bagian Indonesia Timur masih sangat diliputi kegelapan malam.
Dan Rai Belu tidak sendirian, kota dan kabupaten lainnya di Nusa Tenggara Timur demikian adanya. Mereka masih tenggelam dalam kegelapan bersama dengan daerah lain, diantaranya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Memang secara logika gelap karena populasi penduduk Rai Belu atau Tanah Sahabat yang sedikit sekali. Berdasarkan wikipedia, kurang lebih 220.000 jiwa mendiami Tanah Sahabat dengan luas wilayah 1,28 juta km2.
Kekeringan di Rai Belu. Foto koleksi pribadi.
Sedikitnya manusia yang mendiami Tanah Sahabat dengan skala ekonomi yang kecil tanpa kawasan industri membuat masih rendahnya elektrifikasi listrik di Belu.
Masyarakatnya pun mayoritas bertenun kain, bertani, dan beternak. Itu pun masih dilakukan secara tradisional, sehingga belum banyak tersentuh peralatan modern yang menggunakan listrik.
ADVERTISEMENT
‘’Masyarakat Belu mayoritas bertani dan menenun. Bertani juga masih tradisional’’, jelas Marsianus Loe Mau Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Belu.
Beda dengan Pulau Jawa yang disesaki kurang lebih 130 juta jiwa dan tebaran kawasan industri, sehingga diikuti dengan derasnya aliran listrik dan penerangan.
Ditambah lagi masih adanya kemiskinan yang mendera sebagian warga Tanah Sahabat apalagi di masa kekeringan saat ini. Bertani terganggu, beternak pun terhambat. Terlebih dengan sulitnya pasokan air.
Rumah warga Rai Belu di sepanjang jalan. Foto koleksi pribadi.
Tentunya kedepan, selimut kegelapan pelan-pelan tapi pasti harus disingkap dan diganti dengan cahaya terang di wilayah itu, sekalipun aktifitas industri belum ada.
Karena bagaimanapun infrastruktur listrik tetap harus ada lebih dulu yang menjadikan wilayah tersebut menarik untuk dijadikan destinasi investasi dan wisata.
ADVERTISEMENT
Tidak ada salahnya menjadi terang meskipun cuma bertani atau beternak.
Terlebih setelah baru-baru ini Pemkab Belu berhasil memproduksi bawang merah berukuran besar yang berpotensi menjadi produk unggulan daerah.
Jika produk baru ini berhasil dipasarkan tentunya ini dapat menyejahterakan petani lokal, maka itu membutuhkan dukungan infrastruktur pertanian modern.
"Saat ini Kementerian Pertanian masih meneliti kenapa di Belu ini bawang yang ditanam bisa besar-besar. Diharapkan kedepannya bawang merah besar menjadi varietas baru", terang Bupati Belu.
Ini tentu menjadi pekerjaan besar pemerintah, sekarang dan kedepannya.
Pekerjaan memberikan curahan berbagai infrastruktur, termasuk listrik yang mampu menerangi jalan-jalan kota, rumah penduduk, dan gerak roda ekonomi daerah.
Dengan begitu kita akan tetap ingat dan peduli pada daerah pinggiran perbatasan dengan menjadi etalase negeri yang sama cantik dan majunya dengan daerah lain yang berada di “dalam”.
ADVERTISEMENT