Mendaki Lagi Setelah 22 Tahun!

Konten dari Pengguna
11 Juli 2019 18:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wendiyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puncak Gunung Gede terlihat dari Puncak Gunung Pangrango. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Puncak Gunung Gede terlihat dari Puncak Gunung Pangrango. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
(Pangrango 1)
Godaan itu tiba-tiba datang menyergap: Naik gunung lagi. Saya pun mencoba mengingat-ingat, kapan hal itu terakhir kali saya lakukan. 20 tahun lalu? Ternyata lebih!
ADVERTISEMENT
Awalnya, teman-teman di kumparan, berencana mendaki Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Dari obrolan ringan yang serba sepintas di waktu-waktu sebelumnya, mereka tahu saya pernah suka naik gunung.
Mereka pun meng-invite saya masuk grup WhatsApp anak-anak kumparan pecinta kegiatan alam bebas: kumpala.
Rencana dan persiapan pendakian terus bergulir. Untuk mendaki ke Pangarango, memang harus ada proses administrasi yang dijalani, yakni pengajuan Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi). Jadi enggak bisa serba dadakan.
“Daftar saja. Kalau enggak jadi 'kan tinggal batalin,” begitu pikir saya. Ketimbang saya mendadak ikut, ternyata enggak bisa karena belum terdaftar.
Tim kumparan berfoto di gerbang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sebelum memulai pendakian. Foto: kumparan
Saya tak terlalu yakin benar-benar akan ikut, karena sejujurnya saya ragu dengan kemampuan diri sendiri. Pengalaman terakhir naik gunung sudah lewat 20 tahun lalu. Persisnya, 22 tahun.
ADVERTISEMENT
Pada 1997, selepas kepenatan mengurus skripsi dan sidang sarjana, saya bersama dua kawan mencoba menjajal Gunung Rinjani. Hari itu, kami sudah tiba di pos pendakian 1 Gunung Rinjani di Sembalun (1.500-an mdpl) di Lombok Utara.
Kabar buruk itu kami terima: Pendakian ditutup. Cuaca buruk, bahkan semalam terjadi badai angin dan hujan. Kabar burung menambahkan, ada pendaki tewas akibat terjangan badai itu. Intinya, ini sebenarnya cerita pendakian yang gagal.
Akan halnya jalur pendakian Cibodas untuk menuju puncak Gunung Pangrango yang direncanakan teman-teman kumparan, sebenarnya juga pernah saya lintasi. Pada 1993 atau 26 tahun lampau, selepas melewati Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), saya bersama beberapa orang teman (persisnya lupa berapa orang) mendaki ke Gunung Gede.
ADVERTISEMENT
Kami naik dari jalur Selabintana di Sukabumi, dan turun ke Cibodas di Cianjur, melalui Pos Kandang Badak. Di sinilah percabangan jalur pendakian ke Puncak Gunung Gede dan Puncak Gunung Pangrango berada.
26 tahun, lebih dari seperempat abad. Saya pun sudah lupa detail kisah perjalanan melintasi jalur Kandang Badak ke Cibodas. Dan kini, saya akan menyusuri jalur sebaliknya untuk naik ke Puncak Gunung Pangrango.
Selain pengalaman yang sudah lampau, yang membuat saya awalnya tak benar-benar yakin untuk ikut pendakian ini, adalah karena HNP. Yakni singkatan dari Herniated Nucleus Pulposus, atau bahasa populernya syaraf kejepit.
Kabut menyelimuti Pos Kandang Badak di rute pendakian Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Foto: kumparan.
Sudah bertahun-tahun, tulang punggung di bagian pinggang saya sering terasa nyeri dan pegal. Berulang kali diurut, karena awalnya saya duga cuma pegal-pegal biasa, ternyata sakitnya tak berkurang.
ADVERTISEMENT
Terutama saat bangun tidur. Saat membungkuk untuk mengambil air wudhu, sakit sekali. Kalau sudah makin banyak gerak, barulah sakitnya perlahan berkurang. Tapi kalau terlalu lama duduk atau saat bangun tidur keesokan harinya, sakitnya berulang.
Sakit itu di bagian atas tulang ekor. Kalau menurut medis di bagian Lumbal atau Lumbar. Dari hasil rontgen dan diagnosa, dokter menyebutkan saraf yang kejepit itu ada di ruas L5.
Sudah dua tahun terakhir ini saya menjalani fisioterapi. Terutama kalau sedang sakit sekali, atau akan terbang untuk rute yang cukup panjang. Tapi sakit itu tak pernah benar-benar hilang.
Tim kumparan di jalur pendakian Gunung Pangrango antara Pos Telaga Biru dengan Pos Rawa Panyangcangan. Foto: kumparan
“Selain fisioterapi, bisa juga dioperasi. Tapi tak menjamin sembuh,” kata dokter rehabilitasi medis yang menangani saya. Dia sendiri mengaku kena HNP semenjak kuliah, dan tak pernah benar-benar sembuh sampai kini. Dia sendiri pun menghindari operasi. Hahahahhhh.
ADVERTISEMENT
Kalau membungkuk untuk mengambil air wudhu saja sakit, maka dokter meminta saya menghindari angkat beban berat. Terutama pada posisi jongkok atau membungkuk. Seperti mengangkat galon air mineral.
Maka, tak terbayang apakah saya akan sanggup menyandang carrier belasan kilogram dan menempuh jalur mendaki ke Gunung Pangrango?
Tapi keraguan dan opsi untuk membatalkan ikut pendakian itu pupus. Yakni ketika ajakan iseng-iseng saya ke anak semata wayang untuk ikut pendakian, diiyakan. Ini kejutan.
Saya dan anak semata wayang, rehat sejenak di jalur pendakian ke Gunung Pangrango. Foto: kumparan
Dia memang beberapa kali pernah ikut camping di sekolahnya. Bersama saya dan saudara-saudaranya, juga pernah liburan dengan kegiatan alam bebas. Seperti berkemah dan hiking.
Tapi mendaki gunung, akan jadi pengalaman pertamanya. Gunung Pangrango pula. Makanya saya katakan, ini kejutan! Apalagi dia tak terlalu menyukai kegiatan luar ruang. Waktu luang dan hari-hari liburannya, banyak dia habiskan di depan komputer.
ADVERTISEMENT
Inilah pendakian pertama kami, ayah dan anak! (Bersambung)