Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mampukah Laki-Laki Mengadopsi Feminis Filosofi?
13 April 2023 19:17 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Widhy Vania Malinda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai feminisme, secara historis kita juga berbicara mengenai humanisasi dan keadilan. Feminisme sebagai suatu gerakan untuk mengubah tradisi yang lahir pada abad 18 yang berpusat di Eropa akibat adanya pendeskriminasian terhadap perempuan di berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Feminisme merupakan respons terhadap ketidakadilan gender yang secara kultural mengikat perempuan pada sistem patriarki. Selama ini yang diketahui gerakan feminisme diprakarsai oleh kaum perempuan untuk perempuan lainnya sebagaimana tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan situasi mereka yang tertindas oleh budaya patriarki.
Dalam teori Feminis liberal memandang perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial ekonomi yang menekankan perlunya persamaan hak dan kesempatan bagi perempuan di segala bidang. Lantas bagaimana kemungkinan laki-laki menjadi seorang feminis dan menerapkan feminisme tersebut?
Dilansir dari jurnal perempuan.org, Rocky Gerung selaku pengajar kajian Filsafat dan Feminisme mengutarakan persoalan tersebut muncul sebagai reaksi atas anggapan bahwa feminisme identik dan eksklusif pada perempuan. Mengadopsi feminisme bagi laki-laki bukan secara harfiah laki-laki menjadi feminis.
ADVERTISEMENT
Eksistensi laki-laki feminis masih menjadi sebuah konsep yang masih langka di tengah masyarakat. Mayoritas laki-laki menyamakan feminis dengan perempuan atau menjadi feminis sama dengan perempuan. Pemahaman feminisme bagi masyarakat awam terutama bagi laki-laki diartikan sebagai perempuan sebagai objek sekaligus subjek bagi diri mereka sendiri dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender.
Dilansir dari jurnalperempuan.org, menurut Rocky menjadi seorang feminis adalah merangkul feminisme. Feminisme tidak hanya mempelajari teori keadilan, tetapi belajar feminisme memahami jenis-jenis ketidakadilan secara konseptual, yang tidak dimiliki oleh teori-teori dalam filsafat, ekonomi, budaya, dan ilmu-ilmu lainnya.
Masalah utama dalam diskusi feminis laki-laki adalah bahwa laki-laki menikmati surplus secara ekonomi, politik, dan seksual. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah laki-laki rela melepaskan kelebihan itu untuk mencapai kesetaraan gender? Rocky menambahkan, menjadi seorang feminis berarti menerima politik feminis sebagai upaya untuk menciptakan cara berpikir baru di negara.
ADVERTISEMENT
Ethics Of Care Feminis Laki-Laki
Menjadi feminis laki-laki bukan berarti mengganti habitus menjadi perempuan karena asumsinya ketika laki-laki profeminis akan tetapi tidak akan pernah menjadi feminis karena tidak memiliki pengalaman kebertubuhan perempuan. Tetapi menjadi feminis adalah mengganti cara berpikir untuk memperbaiki konstruksi keadilan.
Feminisme bukan hanya milik perempuan. Bahkan beberapa tahun belakangan ini, perayaan women days juga mengikutsertakan laki-laki yang juga menyuarakan soal perjuangan hak-hak perempuan termasuk kesetaraan gender dan menyuarakan men of quality do not fear equality. Sudah seharusnya laki-laki dan perempuan bersinergi dalam mewujudkan dan memproduksi keadilan.
Dalam hal ini laki-laki perlu memahami konsep Ethics of Care atau etika kepedulian yang berangkat dari problem ketidakadilan. Carrol Gilligan, seorang tokoh etika, psikolog, sekaligus filsuf feminis menawarkan konsep etika kepedulian sebagai moralitas perempuan yang menggambarkan cara yang khas perempuan dalam bereksistensi dan relasi antarindividu.
ADVERTISEMENT
Gilligan berpendapat bahwasannya moralitas kepedulian itu sebagai karakteristik perempuan. Gilligan menyatakan dengan tegas bahwa realitas perkembangan sensibilitas moral laki-laki dan perempuan cenderung berbeda (Gilligan, 1982). Perempuan memiliki cara bernalar dalam ‘suara yang berbeda’. Perempuan dekat dengan term ‘etika kepedulian’ sedangkan laki-laki lekat dengan istilah ‘etika keadilan’. Etika kepedulian dan etika keadilan dalam pandangan Gilligan secara fundamental berbeda (Gilligan, 1986).
Dilansir dari verrywellmind.com, Gilligan mengusulkan agar perempuan memprioritaskan ethic of care ketika moralitas mereka terbentuk, sedangkan pria memprioritaskan ethic of justice. Gilligan menyatakan , terdapat perbedaan karakteristik perempuan dan laki-laki yang berdampak pada munculnya persoalan interprestasi.
Ada beberpa cara dalam membangun relasi dalam sosialitas manusia. Laki-laki menunjukkan moralitasnya dengan berpijak pada prinsip kesamaan hak, sementara perempuan berpijak pada kepedulian. Dengan demikian perempuan tidak berpijak pada kesamaan seperti halnya laki-laki, namun berpijak pada kesejajaran (Gilligan, 1993 ).
ADVERTISEMENT
Seiring peradaban yang semakin maju, nilai-nilai feminis bukan sebatas ideologi milik perempuan. Laki-laki juga harus mampu mengadopsi perspektif feminisme dalam sudut pandang laki-laki feminis dalam menata keadilan dan kesetaraan sehingga tidak adanya lagi dominan dan diskriminasi gender.
Gerakan feminisme dihadirkan bukan untuk menyaingi peranan laki-laki. Mungkin kesalahpahaman saat ini bahwa upaya gerakan feminis ditujukan untuk mengangkat perempuan ke posisi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Feminisme bukan menentang domain laki-laki, melainkan menentang konstruksi kultur patriarki yang sudah mengakar dalam sistem sosial laki-laki dan perempuan dalam peradaban.
Oleh karena itu, laki-laki yang meyakini nilai kesetaraan tentu dapat mendukung gerakan feminis. Karena realitanya dalam sistem patriarki, laki-laki juga menjadi korban dari tuntutan yang dibebankan kepada mereka. Hal ini justru juga dijadikan ajang dalam memperjuangkan bagaimana budaya patriarki yang juga menindas dan membelenggu kaum laki-laki yang tanpa disadari laki-laki juga menjadi korban dari budaya patriarki tersebut.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Good Boy Doing Feminism (2020) yang disampaikan oleh Nur Hasyim bahwasannya “Persoalan ketidakadilan dalam masyarakat merupakan masalah yang sistemik. Pada saat yang sama, laki-laki justru menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Berbeda dengan perempuan yang tertindas, laki-laki dibangun untuk menjadi penindas”.
Konstruk budaya patriarki sudah dibentuk oleh peradaban sejak dahulunya dan sudah menjadi ketentuan alam. Ketidakadilan dan bias gender selama ini menganggap laki-laki sebagai pelaku dari ketidakadilan, justru sebenarnya laki-laki juga menjadi kesalahan sistem patriarki yang selama ini terus diproduksi sehingga laki-laki juga menjadi imbas negatif dari patriarki tersebut.
Lihat saja bagaimana kultur patriarki yang membangun image laki-laki maskulinitas berubah ketika keluar dari kodratnya. Perkara mengurus rumah tangga misalnya, laki-laki tidak ikut mengambil andil dalam membantu pekerjaan rumah tangga dan itu semua dibebankan kepada perempuan. Padahal sebenarnya di luar kodrat perempuan melahirkan dan menyusui, laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan memasak, mencuci pakaian merupakan keterampilan hidup yang harus dimiliki semua orang.
ADVERTISEMENT
Mengadopsi Filosofi Feminis merupakan upaya menghasilkan generasi baru. Feminisme hadir untuk memperjuangkan dan memproduksi keadilan dalam kesetaraan gender. Feminisme tidak melawan laki-laki dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Justru feminisme memberikan ruang kepada laki-laki untuk menentang budaya patriarki yang dikonstruksi selama ini dan menjadi akar penyebab bias gender. Sudah seharusnya laki-laki dan perempuan menyatukan ideologi dalam memperjuangkan dunia yang setara, jauh dari kekerasan, harus menjadi tujuan kita bersama sebagai manusia.