Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Budaya Patriarki dan Marginalisasi Perempuan di Indonesia
12 Maret 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Karunia Kalifah Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Budaya patriarki di Indonesia bukan sekadar warisan sejarah yang melekat dalam tradisi, tetapi merupakan sebuah sistem sosial yang terus direproduksi dan diperkuat oleh berbagai institusi, baik dalam lingkup keluarga, pendidikan, agama, hukum, maupun media massa. Dominasi laki-laki dalam struktur sosial ini tidak hanya berakar pada norma-norma dan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, tetapi juga telah mengakar dalam berbagai kebijakan dan praktik sosial yang secara sistematis menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Ketimpangan ini bukan sekadar refleksi dari perbedaan peran sosial, tetapi merupakan bentuk pengendalian struktural yang menghambat perempuan untuk memiliki otonomi penuh atas tubuh, kehidupan, serta pilihan-pilihan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka sebagai manusia yang merdeka.
ADVERTISEMENT
Dalam wacana ketimpangan gender, sering kali narasi yang muncul berfokus pada bagaimana perempuan dianggap sebagai kelompok yang “kurang berdaya” atau “terpinggirkan” dari berbagai sektor kehidupan. Namun, pendekatan ini justru memperkuat asumsi bahwa perempuan adalah korban pasif yang hanya membutuhkan bantuan dan intervensi dari pihak luar untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Padahal, realitasnya jauh lebih kompleks:
perempuan tidak hanya menjadi korban dari sistem yang menindas, tetapi juga terus-menerus dihambat oleh struktur sosial dan politik yang sengaja didesain untuk mempertahankan ketidakseimbangan tersebut. Perempuan yang berupaya untuk menantang norma yang membatasi ruang gerak mereka, baik dalam ranah akademik, profesional, maupun politik, sering kali dihadapkan pada hambatan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini bukan karena mereka kurang kompeten atau kurang mampu, tetapi karena sistem yang ada tidak siap menerima perubahan yang mengancam dominasi kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata dari bentuk eksploitasi perempuan yang sistematis terlihat dalam sektor ekonomi. Dalam dunia kerja, perempuan masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi yang membatasi kesempatan mereka untuk berkembang. Mereka kerap dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang setara, mengalami kesulitan dalam mendapatkan promosi ke posisi kepemimpinan, serta menjadi sasaran diskriminasi berbasis gender yang sering kali tersembunyi dalam mekanisme birokrasi perusahaan maupun institusi pemerintah. Bahkan dalam sektor-sektor yang secara tradisional dianggap sebagai domain perempuan, seperti pendidikan, kesehatan, dan industri kreatif, struktur kepemimpinan masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa bukan sekadar perempuan yang mengalami keterpinggiran, tetapi ada mekanisme yang secara aktif membatasi akses mereka untuk menduduki posisi strategis dalam sistem ekonomi yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar transaksi ekonomi, pekerjaan di sektor ini juga mencerminkan dinamika kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak hanya sekadar "menjual jasa," tetapi juga harus memanipulasi emosi dan menghadirkan ilusi kedekatan demi memenuhi ekspektasi pelanggan, sebuah bentuk kerja emosional yang sering kali diabaikan dalam analisis ekonomi formal. Jika kita melihat lebih dalam, kondisi ini bukan sekadar masalah individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan moralistik, tetapi merupakan hasil dari kebijakan ekonomi yang gagal menciptakan kesempatan kerja yang adil serta budaya yang terus-menerus menormalisasi eksploitasi perempuan dalam berbagai bentuk.
Yang lebih problematis adalah bagaimana sistem hukum dan kebijakan publik di Indonesia masih beroperasi dalam kerangka patriarki yang lebih sering menyalahkan perempuan ketimbang melindungi mereka dari ketidakadilan yang sistemik. Alih-alih memberikan solusi struktural yang nyata terhadap kemiskinan, ketimpangan gender, dan ketidakadilan sosial, negara justru sering kali mengeluarkan kebijakan yang memperkuat stigma terhadap perempuan yang berusaha keluar dari norma tradisional. Peraturan-peraturan yang membatasi cara berpakaian, mengontrol tubuh perempuan, serta membiarkan pelaku kekerasan berbasis gender lolos dari hukuman menunjukkan bahwa sistem ini tidak pernah netral, melainkan aktif mempertahankan status quo yang menguntungkan kelompok dominan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perdebatan mengenai ketimpangan gender di Indonesia tidak dapat berhenti hanya pada upaya yang bersifat kosmetik, seperti “memberdayakan perempuan” atau “meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan.” Masalah ini jauh lebih kompleks dan berakar dalam sistem yang telah lama mengakar. Untuk menciptakan perubahan yang signifikan, diperlukan reformasi struktural yang berani dan tidak hanya berfokus pada gejala-gejala ketimpangan, tetapi juga pada akar permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan ini terus berulang.
Institusi hukum harus mengadopsi pendekatan yang lebih progresif dalam menegakkan keadilan bagi perempuan, bukan sekadar mengatur moralitas perempuan atas dasar nilai-nilai patriarki yang bias. Dunia pendidikan harus berhenti menjadi alat untuk mereproduksi nilai-nilai gender yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Media harus berhenti menampilkan perempuan sebagai objek seksual dan mulai membangun narasi yang lebih setara, di mana perempuan dipandang sebagai individu yang memiliki kapasitas dan hak yang sama untuk menentukan arah hidup mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Perempuan bukan sekadar pihak yang membutuhkan perlindungan atau bantuan dari sistem yang menindas mereka, mereka adalah individu yang memiliki hak penuh atas tubuh, pilihan, dan kehidupan mereka sendiri. Namun, selama sistem sosial, ekonomi, dan politik masih dirancang untuk membatasi ruang gerak perempuan, maka kesetaraan gender tidak akan pernah benar-benar tercapai. Oleh karena itu, pertanyaannya bukan lagi tentang bagaimana “memberikan ruang” bagi perempuan untuk berkembang, tetapi bagaimana menghancurkan tembok yang selama ini menghalangi mereka untuk berdiri setara dengan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.