Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mendidik Mahasiswa untuk Berpikir, Bukan Menyeragamkan Pikiran
12 Maret 2025 10:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Karunia Kalifah Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kutipan ini, yang sering dikaitkan dengan filsuf Yunani Socrates, seharusnya menjadi fondasi bagi sistem pendidikan modern. Namun, realitas yang kita hadapi justru berkebalikan. Di banyak ruang kelas, pendidikan lebih menyerupai lini produksi di pabrik: mahasiswa masuk dengan pemikiran yang beragam, lalu diproses melalui kurikulum yang kaku, dan akhirnya keluar dengan pola pikir yang seragam, siap untuk mengikuti aturan tanpa banyak bertanya.
ADVERTISEMENT
Kita hidup di era di mana informasi tersedia dalam jumlah melimpah, namun ironisnya, kemampuan berpikir kritis justru semakin langka. Media sosial dibanjiri opini dangkal yang lebih mengandalkan emosi ketimbang analisis, sementara di dunia akademik, mahasiswa sering kali hanya diajari untuk menjawab soal alih-alih mempertanyakan konsep. Dalam konteks inilah pendekatan action teaching, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Velez dan Séamus Power, menjadi sangat relevan.
Pendekatan ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang memberikan mahasiswa teori yang harus mereka hafal, tetapi juga mengajarkan mereka bagaimana berpikir secara kritis, bagaimana mempertanyakan asumsi yang sudah ada, dan bagaimana menemukan makna serta solusi dalam kompleksitas dunia nyata. Namun, pertanyaannya adalah siapkah sistem pendidikan kita meninggalkan zona nyaman dan mengadopsi pendekatan ini? Ataukah kita akan tetap terjebak dalam pendidikan yang lebih menekankan kepatuhan daripada pemikiran?
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang Menjinakkan atau yang Membebaskan?
Salah satu ironi terbesar dalam dunia pendidikan adalah bagaimana sistem ini sering kali mengklaim ingin membentuk individu yang berpikir mandiri, tetapi justru menerapkan metode pengajaran yang menekan kreativitas dan kebebasan berpikir. Mahasiswa diajarkan untuk menerima teori sebagai kebenaran mutlak, tanpa diberikan kesempatan untuk menguji validitasnya dalam konteks dunia nyata.
Dalam pendidikan psikologi, misalnya, teori-teori besar seperti behaviorisme, kognitivisme, dan psikoanalisis sering kali diajarkan seolah-olah mereka adalah dogma, bukan sebagai perspektif yang harus diperdebatkan dan diuji dalam berbagai konteks budaya dan sosial. Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan terus berkembang. Jika mahasiswa tidak diberikan ruang untuk mempertanyakan dan mengkritisi teori, bagaimana mungkin mereka dapat menjadi inovator di bidangnya?
ADVERTISEMENT
Di sinilah action teaching menjadi relevan. Pendekatan ini menekankan bahwa mahasiswa harus diperlakukan sebagai pemikir, bukan sekadar penerima informasi. Mereka harus diajak untuk memahami bagaimana suatu teori dikembangkan, bagaimana ia diuji, dan bagaimana ia dapat diterapkan dalam berbagai situasi nyata. Lebih dari itu, mereka juga harus diajak untuk mempertanyakan apakah teori tersebut masih relevan dalam dunia yang terus berubah.
Dunia Nyata Tidak Hitam Putih
Salah satu masalah terbesar dalam pendidikan konvensional adalah kecenderungannya untuk menyederhanakan kompleksitas dunia menjadi jawaban yang serba pasti. Dalam banyak mata kuliah, mahasiswa diajarkan bahwa ada "jawaban benar" dan "jawaban salah", padahal dalam kehidupan nyata, kebenaran sering kali bersifat relatif dan bergantung pada konteks.
Sebagai contoh, dalam psikologi politik, isu-isu seperti kekerasan, kekuasaan, dan identitas sosial tidak dapat dipahami hanya dari satu perspektif. Kekerasan, misalnya, sering kali dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral. Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang kelompok tertentu, kekerasan bisa jadi merupakan alat untuk mempertahankan hak atau melawan penindasan. Pendekatan action teaching mendorong mahasiswa untuk tidak hanya memahami satu sisi dari suatu peristiwa, tetapi juga melihatnya dari berbagai perspektif.
ADVERTISEMENT
Jika mahasiswa hanya diajarkan satu cara berpikir misalnya, bahwa demokrasi selalu lebih baik daripada sistem lainnya, maka mereka tidak akan siap menghadapi kenyataan bahwa di beberapa konteks, demokrasi bisa saja gagal atau justru menjadi alat bagi elit untuk mempertahankan kekuasaan. Sebaliknya, jika mereka diajarkan untuk melihat dari berbagai sudut pandang, mereka akan lebih siap untuk menganalisis permasalahan dunia secara mendalam dan menawarkan solusi yang lebih kontekstual.
Apakah Ini Terlalu Idealistis?
Namun, tidak semua pihak setuju dengan pendekatan ini. Para pendukung sistem pendidikan tradisional mungkin berargumen bahwa metode ini terlalu idealistis dan sulit diterapkan dalam kurikulum yang sudah ada. Mereka mungkin berpendapat bahwa tidak semua mahasiswa siap untuk berpikir kritis dan bahwa sebagian besar dari mereka lebih membutuhkan keterampilan praktis daripada analisis yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Namun, argumen ini mengandung kekeliruan mendasar. Pertama, mengasumsikan bahwa mahasiswa tidak mampu berpikir kritis adalah penghinaan terhadap potensi intelektual mereka. Banyak mahasiswa justru ingin belajar dengan cara yang lebih menantang, tetapi sistem pendidikan yang ada tidak memberikan mereka kesempatan untuk melakukannya. Kedua, meskipun keterampilan praktis penting, tanpa pemikiran kritis, keterampilan tersebut akan menjadi terbatas dan tidak fleksibel. Di dunia yang terus berubah, kemampuan untuk berpikir secara mandiri dan menganalisis situasi dari berbagai sudut pandang adalah keterampilan yang jauh lebih berharga daripada sekadar mengikuti aturan yang sudah ada.
Pendidikan yang Kita Butuhkan di Era Disrupsi
Dalam dunia yang semakin kompleks, kemampuan untuk berpikir kritis bukan lagi sekadar keuntungan tambahan, tetapi sebuah kebutuhan mendesak. Teknologi terus berkembang, budaya berubah dengan cepat, dan isu-isu sosial serta politik semakin tidak dapat diprediksi. Jika sistem pendidikan tetap bertahan pada metode lama yang lebih menekankan hafalan daripada analisis, kita akan menciptakan generasi yang tertinggal dari realitas zaman.
ADVERTISEMENT
Pendekatan action teaching menawarkan alternatif yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan memberikan mahasiswa kebebasan untuk mengeksplorasi, mempertanyakan, dan menganalisis, kita tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, tetapi juga individu yang siap menghadapi dunia dengan pola pikir yang fleksibel dan inovatif.
Mengapa Kita Harus Bergerak Sekarang?
Jika kita benar-benar ingin menciptakan generasi yang mampu membawa perubahan, maka sistem pendidikan kita harus berubah. Kita harus mulai beralih dari pendidikan yang hanya mengajarkan "apa yang harus dipikirkan" menjadi pendidikan yang mengajarkan "bagaimana berpikir".
Mahasiswa harus diajak untuk mempertanyakan, menganalisis, dan membangun pemikiran mereka sendiri. Mereka harus dilatih untuk menghadapi dunia yang tidak hitam putih, untuk memahami kompleksitas sosial, dan untuk mencari solusi yang tidak sekadar mengikuti pola lama.
ADVERTISEMENT
Reformasi pendidikan bukanlah sesuatu yang dapat ditunda. Jika kita tetap bertahan pada sistem yang ada, kita bukan hanya membatasi potensi generasi mendatang, tetapi juga mempertaruhkan masa depan kita sendiri. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita perlu mengubah sistem pendidikan, tetapi kapan kita akan mulai melakukannya.
Jawabannya jelas: sekarang.