Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perselisihan Tentang Hukum Aborsi di Indonesia
14 Desember 2020 12:11 WIB
Tulisan dari William Khoswan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pergaulan bebas di Indonesia masih marak terjadi di kalangan remaja. Terkadang pergaulan bebas melebihi batas normal, seperti seks bebas dan narkoba. Penelitian Reckitt Benckiser Indonesia menunjukkan dari 500 remaja di lima kota besar Indonesia, 33% remaja sudah pernah melakukan hubungan seks. Tentu saja kasus ini diimbangi dengan kehamilan di luar nikah. Selain seks bebas, kehamilan juga dapat disebabkan oleh pemerkosaan. Kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan ini memunculkan niat untuk menggugurkan kandungannya atau aborsi. Aborsi merupakan upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup di luar kandungan menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, Nomor 3 Tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa pada tahun 2016, 58 persen remaja putri hamil di luar nikah dan berniat menggugurkan kandungannya atau aborsi. Bukan hanya seks bebas dan pemerkosaan yang menjadi faktor penyebab hamil di luar nikah atau hamil yang tidak diinginkan, perbuatan seksual juga sering terjadi di ranah personal sudah banyak terjadi. Pernyataan ini diperkuat oleh data Komnas Perempuan pada tahun 2017 yang mencatat adanya kasus perbuatan seksual di ranah personal sebanyak 2364 kasus yang terdiri dari pacar (1.528 kasus), ayah kandung (425 kasus), paman (322 kasus), dan kakak kandung (89 kasus).
ADVERTISEMENT
Contoh kasus yang ramai diperbincangkan pada tahun 2018 silam adalah kasus aborsi seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa dan dihamili oleh kakak kandungnya sendiri. Fakta yang lebih mengejutkan adalah kandungan yang telah diaborsikan sudah berusia enam bulan. Pada tanggal 19 Juli 2018, Hakim Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan vonis berupa enam bulan untuk WA, anak perempuan yang mengandung bayi hasil pemerkosaan dan dua tahun untuk AA, abangnya WA. Hukuman ini juga sudah diringankan yang sebelumnya satu tahun penjara untuk WA dan tujuh tahun penjara untuk AA.
Peraturan tentang aborsi sudah dibahas di dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, contohnya (1) Pasal 75 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, (2) Pasal 31 Peraturan Pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, (3) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, (4) Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHPidana (Wetboek Van Stafrecht).
ADVERTISEMENT
Di dalam Pasal 346 KUHPidana, dijelaskan bahwa jikalau seorang wanita secara sengaja menggugurkan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk melakukannya, diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun. Tetapi ada pengecualian yang dibahas di Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Pasal 31 Peraturan Pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Dijelaskan di Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi tersebut bahwa aborsi hanya dapat dilakukan apabila adanya indikasi kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa ibu dan/atau janinnya dan apabila kehamilan disebabkan oleh pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis oleh korban. Di dalam Pasal 31 angka 2 Peraturan Pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga menjelaskan bahwa kehamilan akibat pemerkosaan dapat melakukan aborsi apabila usia janin/kandungan masih di bawah 40 hari.
ADVERTISEMENT
Selain Peraturan Pemerintahan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menjelaskan tentang syarat melakukan aborsi, ada beberapa syarat tambahan lagi agar aborsi dapat dilakukan, yaitu (a) sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; (b) oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; (c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; (d) dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan (e) penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri (Indonesia, Undang-Undang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009, Ps. 76).
Selain dari hukum positif Indonesia, kita juga harus melihat aborsi dari perspektif hukum Islam. Aborsi dalam hukum Islam sendiri telah diatur dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi (selanjutnya disingkat FMUI tentang Aborsi). Dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam FMUI tentang Aborsi, telah dinyatakan bahwa Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Namun, di dalam FMUI tentang Aborsi juga mengatur keadaan-keadaan yang memperbolehkan dilakukannya aborsi. Keadaan tersebut adalah keadaan darurat dan keadaan hajat. Mengenai kehamilan akibat pemerkosaan, hukum Islam memperbolehkannya apabila aborsi dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.
ADVERTISEMENT
Kasus aborsi WA pun membuat ada pihak pro dan pihak yang kontra terhadap vonis yang dijatuhkan hakim kepada anak perempuan yang diperkosa tersebut. Ada dua kelompok yang memiliki pandangan berbeda tentang kasus ini, yaitu pro-life dan pro-choice. Pro-life menganggap aborsi tidak diperbolehkan dalam situasi apapun, mau kondisinya diperkorsa ataupun mengandung janin tersebut dapat mengancam kehidupan si pengandung. Ini dikarenakan mereka berpikir bahwa mengaborsi kandungan termasuk pembunuhan. Sedangkan pro-choice berkata sebaliknya, mereka setuju dengan aborsi karena mereka percaya wanita mempunyai hak untuk mengatur tubuh mereka sendiri, termasuk janin yang merupakan bagian dari tubuh wanita.
Dari kasus WA yang menimbulkan banyak protes terhadap vonis yang diberikan kepada anak di bawah umur tersebut. Tetapi kalau dilihat kembali dari lamanya kehamilan dan Undang-Undang Kesehatan yang menjadi landasan vonis hakim, WA telah mengandung lebih dari enam minggu atau lebih tepatnya telah mengandung selama 6 bulan. Menurut UU Kesehatan tentu saja sudah melanggar Pasal 76 huruf a.
ADVERTISEMENT
Lalu muncul pihak yang membela WA, Direktur Eksekutif Institute Criminal Reform (ICJR) bernama Anggara. Anggara menuntut keleluasaan hukum di kasus ini dengan alasan WA masih anak di bawah umur dan belum tahu bahwa dia hamil. Alasan lainnya adalah pemerkosaan WA dilakukan di dalam ranah personal, sehingga WA tidak bisa mencari perlindungan atau bercerita bebas masalah ini. Anggara juga menyebutkan perlunya penggunaan aturan lain selain KUHPidana dan UU Kesehatan. Aturan tersebut, yaitu Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut saya, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang dimaksud terdapat di Pasal 4 yang berbunyi: “Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan: (a) ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara; (d) dampak psikis yang dialami korban; (g) riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.”
ADVERTISEMENT
Selain Anggara, ada juga Ketua Pengurus Nasional PKBI, Sarsanto Wibisono Sarwono yang membela WA agar tidak dipidana. Sarsanto mengatakan bahwa korban perkosaan harus menjadi pertimbangan hakim untuk tidak diberlakukan pemidanaan, ditambah lagi bahwa korban perkosaan yang dimaksud disini adalah anak dibawah umur. Kasus aborsi yang disebabkan oleh pemerkosaan tidak hanya WA yang pernah mengalami. Ada juga anak perempuan berinisial BL yang melakukan aborsi. BL divonis bersalah di pengadilan, tetapi dalam sidang banding yang dihadiri pakar kesehatan reproduksi, pernyataan dari pakar tersebut menjadi dasar hakim untuk tidak mengirim BL tersebut ke penjara.
Setelah banyaknya protes dan kecaman dari masyarakat, akhirnya pada tanggal 27 Agustus 2018 hakim di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jambi mencabut vonis bersalah terhadap WA. Hakim menyatakan bahwa tindakan aborsi yang dilakukan adalah tindakan dalam keadaan terpaksa. Sementara itu, AA selaku yang melakukan tindak kekerasan pemerkosaan tetap menjalani hukuman dua tahun penjara dari vonis hakim pada tanggal 19 Juli lalu. Menurut saya, keputusan hakim membebaskan WA dari vonis bersalah didasarkan pada Pasal 48 KUHPidana yang menyatakan bahwa Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa (overmacht), tidak dipidana.
ADVERTISEMENT