Legalisasi Ganja: Penyelamat Medis Kita?

Wilma Irvina
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tertarik dengan riset dan penelitian.
Konten dari Pengguna
12 Desember 2022 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wilma Irvina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tanaman Ganja | Sumber: https://www.pexels.com/photo/shallow-focus-photography-of-cannabis-plant-606506/
zoom-in-whitePerbesar
Tanaman Ganja | Sumber: https://www.pexels.com/photo/shallow-focus-photography-of-cannabis-plant-606506/
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, pembicaraan mengenai legalisasi ganja medis bukan lagi suatu hal yang baru. Polemik legalisasi ganja resmi menginjak usia yang ke-12 pada tahun 2022. Umur tersebut terhitung sejak sekelompok masyarakat pada tahun 2010 menuntut pencabutan larangan terhadap tanaman ganja yang dikelompokkan sebagai narkotik golongan I dalam aturan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa narkotik yang termasuk pada golongan I tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai pelayanan kesehatan atau medis.
ADVERTISEMENT
Hingga detik ini, status ganja masih mengacu pada UU Narkotik, tepatnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa ganja hanya diizinkan dengan limitasi yang amat sempit, yakni untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penekanan spesifik lainnya terletak pada Pasal 102 Ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana ketentuan untuk penggunaan narkotik dan psikotropika adalah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal inilah yang menjadi titik berat bahwa ganja tidak dapat digunakan sebagai obat dalam keperluan medis di Indonesia.
Terlepas dari kenyataan tersebut, harapan untuk Cannabis sativa tidak pupus begitu saja. Baru-baru ini, pada Rapat Dengar Pendapat Umum ("RDPU") Panja Komisi III DPR yang diadakan bersama Kementerian Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada tanggal 23 Mei 2022, DPR serta pemerintah melalui Kementrian Hukum dan HAM mengupas tuntas isu diaturnya ganja dalam UU Narkotik. Pada RDPU tersebut, DPR menyuarakan bahwa dijadikannya ganja sebagai bagian dari obat dalam kebutuhan medis tidak sepenuhnya mustahil. Di sisi lain, pemerintah merasa bahwa perdebatan yang ada masih sangat berat dan membutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum dapat diadakan klaim apa pun.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, tak jarang muncul kasus-kasus yang kembali menyorot isu legalisasi ganja medis ke ranah publik. Salah satu kejadian yang paling umum diingat oleh masyarakat adalah kisah Fidelis dan istrinya pada awal 2017. Pada tahun 2016, Yeni didiagnosa dengan syringomyelia yang membuat kondisinya memperihatinkan. Luka besar di dalam pinggang dan kesulitan mengeluarkan urine hanyalah sebagian dari penderitaan yang harus dilalui oleh Yeni. Hal ini mengharuskan Fidelis untuk merawat Yeni di rumahnya dibantu oleh seorang perawat dan sejumlah literatur panduan perawatan penyakit syringomyelia. Berbagai upaya pengobatan---medis, herbal, hingga orang pintar---sudah dicoba oleh Fidelis demi menyembuhkan istrinya, namun tidak satu pun yang membuahkan hasil. Pada akhirnya, ekstrak ganjalah yang berhasil memulihkan keadaan Yeni. Opsi ini ditemukan setelah Fidelis berpatokan pada berbagai literatur luar negeri, dan akhirnya dia menanam sendiri ganja dirumahnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, hal ini tak bertahan lama, sebab kemudian Fidelis ditahan oleh BNN Kabupaten Sanggau karena 39 batang pohon ganja yang dtanam di rumahnya. Hal ini kemudian diikuti dengan penurunan kesehatan Yeni yang berujung dengan dihembuskannya napas terakhir tepat 32 hari setelah penangkapan Fidelis. Sementara itu, kasus hukum terus bergulir dan Fidelis divonis 8 bulan penjara dengan denda Rp 1 miliar atau subsider 1 bulan penjara karena dinilai memenuhi unsur delik Pasal 111 dan 116 UU nomor 35 tentang narkotik. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat sangat menyayangkan pemidanaan terhadap Fidelis. Kasus ini menjadi salah satu pelopor disuarakannya legalisasi ganja untuk kepentingan pengobatan.
Terdapat 483 konstituen kimia yang tercatat sebagai kandungan Cannabis sativa, yang mana 66 diantaranya tergolong sebagai cannabinoid, yakni senyawa yang dikategorikan sebagai obat. Terdapat pula berbagai zat lain dalam ganja yang memiliki fungsi medis. Sebut saja THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol) yang memiliki efek analgesik atau penghilang rasa sakit, sifat anti-spasmodik atau menghilangkan kejang- kejang, anti-tremor, anti-inflamasi, dan lainnya. Zat (E)-BCP (Beta-caryophyllene) juga dapat digunakan sebagai pengobatan nyeri, artritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, dan lain-lain. Terdapat pula cannabidiol (CBD) yang mengandung sifat anti-biotik, anti-depresan, anti-oksidan, anti-psikotik, anti-inflamasi, hingga efek menenangkan. Senyawa cannabinoid pun sebenarnya merupakan senyawa yang diproduksi oleh tubuh secara alami untuk membantu mengatur konsentrasi, gerak tubuh, nafsu makan, rasa sakit, hingga sensasi pada indra.
ADVERTISEMENT
Selain bicara substansi, penting untuk memahami aplikasi nyata ganja terhadap penyakit-penyakit tertentu. Jurnal Molecular Pharmaceutics mengklaim bahwa salah satu penyakit yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh ganja adalah Alzheimer. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan di Canadian Medical Association Journal, ganja juga dinyatakan ampuh dalam menurunkan gejala serta rasa sakit yang disebabkan oleh multiple sclerosis, suatu penyakit yang menyerang saraf-saraf pusat seperti saraf otak, sumsum tulang belakang, dan saraf optik. Tak hanya itu, dilansir dari penelitian yang diterbitkan dalam medPage Today, tremor dan kelemahan motorik yang disebabkan oleh penyakit Parkinson juga dapat teratasi oleh ganja. Contoh-contoh tersebut hanyalah sebagian dari penyakit yang dapat tertolong secara medis oleh ganja dan kandungannya, pun belum termasuk penyakit-penyakit yang mengarah ke kejiwaan yang dapat teratasi oleh ganja.
ADVERTISEMENT
Banyaknya potensi manfaat medis yang terdapat pada ganja membuatnya menerima dukungan dari berbagai pihak untuk segera dilegalkan, salah satunya adalah kelompok masyarakat yang memandang nilai kebermanfaatan dari ganja perlu menjadi perhatian bersama. Orang-orang di dalamnya kemudian mengikatkan dirinya dalam suatu organisasi yang bernama Lingkar Ganja Nusantara ("LGN") pada tahun 2010. LGN memiliki tujuan yang edukatif dan informatif, serta mengupayakan dan memperjuangkan legalisasi ganja atas dasar melimpahnya potensi pengembangan dan penanaman ganja di Indonesia dari segi kuantitas maupun kualitas serta kelaziman ganja bagi masyarakat Indonesia—terutama mengingat bahwa ganja telah dibudidayakan sebagai obat sejak dahulu dan merupakan jenis narkotik yang paling banyak penggunaannya di Indonesia. Dasar lainnya adalah banyaknya kasus tindak pidana yang bermunculan karena penggunaan ganja dan dirasa kurang tepat, mengingat penggunaannya untuk keperluan medis dan bukan alasan lain yang bersifat amoral.
ADVERTISEMENT
Dengan berlimpahnya alasan konkret yang mendukung legalisasi ganja, sangat disayangkan apabila hal tersebut tidak diupayakan. Tentunya akan dibutuhkan proses yang panjang meliputi peninjauan hukum, penelitian berbasis IPTEK, dan berbagai pembuktian lainnya sebelum ganja akhirnya dapat dilegalkan, namun hingga hal tersebut tercapai, maka desakan atas legalisasi ganja medis tidak akan pernah surut. Sebagian besar masyarakat nasional, dan bahkan dunia, telah menyadari gentingnya penggunaan ganja medis untuk beragam penyakit yang ada, dan kini dibutuhkan tindak lanjut yang semestinya dari Pemerintah demi terwujudnya regulasi terkait ganja yang memadai bagi kepentingan khalayak luas.