Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kontrak Kerja Sama dan Penguasaan Negara dalam RUU Migas
9 Februari 2023 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Wilson Fu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah mengalami beberapa kali pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, salah satu pengujian yang menarik untuk diperhatikan adalah Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, MK membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan menyatakan Kontrak Kerja Sama (KKS) melanggar prinsip penguasaan negara.
ADVERTISEMENT
Setelah mengalami pengujian beberapa kali yang mengakibatkan beberapa pasal dalam UU Migas dinyatakan inkonstitusional, UU Migas direncanakan akan diubah. Rancangan UU Migas (RUU Migas) telah dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan sudah dapat diakses melalui situs web dpr.go.id.
Apabila kita melihat isi dari RUU Migas, skema KKS masih dipertahankan. Namun, kedudukan BP Migas telah digantikan oleh Badan Usaha Khusus Minyak dan Gas Bumi (BUK Migas). Mengingat MK telah menyatakan ketentuan KKS dalam UU Migas melanggar prinsip penguasaan negara, apakah ketentuan KKS dalam RUU Migas masih melanggar putusan MK?
Mengapa inkonstitusional?
Terdapat dua pertimbangan MK yang harus diperhatikan terlebih dahulu, yakni terkait BP Migas dan KKS. Pertama, melalui Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, MK menyatakan BP Migas inkonstitusional karena BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung. MK menghendaki negara melakukan bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama, yakni melakukan pengelolaan secara langsung atas migas.
ADVERTISEMENT
Kedua, MK menyatakan KKS inkonstitusional apabila dikaitkan dengan BP Migas. Menurut MK, dalam skema KKS, BP Migas bertindak mewakili pemerintah sebagai pihak dalam KKS. Dalam posisi demikian, hubungan antara BP Migas dengan badan usaha adalah hubungan yang bersifat keperdataan, yaitu menempatkan posisi negara dengan badan usaha menjadi sederajat. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat regulasi bagi kepentingan rakyat yang dapat bertentangan dengan isi KKS.
Hubungan antara negara dengan swasta harus merupakan hubungan yang bersifat publik, yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan. Negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola migas, kemudian BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan badan usaha lainnya. Sehingga, hubungannya menjadi antara badan usaha dengan badan usaha.
ADVERTISEMENT
BUK Migas dan KKS dalam RUU Migas
Dalam RUU Migas, kedudukan BP Migas telah digantikan oleh BUK Migas. Berbeda dengan BP Migas, BUK Migas melalui Unit Hulu Operasional Mandiri dapat melaksanakan secara langsung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Walau demikian, negara tetap dapat melakukan kerja sama dengan kontraktor (swasta/badan usaha/asing) melalui skema KKS.
BUK Migas akan mewakili negara sebagai pemegang kuasa usaha pertambangan dalam menandatangani KKS tersebut. Selain itu, berbeda dengan BP Migas yang berstatus badan hukum milik negara, BUK Migas berstatus badan usaha yang seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara.
Keseimbangan penguasaan negara dan kemakmuran rakyat
Dengan status BUK Migas yang sudah merupakan badan usaha, maka konstruksi KKS dalam RUU Migas telah berubah dari negara dengan badan usaha menjadi badan usaha dengan badan usaha. Konstruksi tersebut telah sesuai dengan pertimbangan MK di atas. Namun, di dalam RUU Migas disebutkan secara eksplisit bahwa BUK Migas memegang kuasa usaha pertambangan dan mewakili negara dalam menandatangani KKS. Apakah ini berarti RUU Migas menegaskan konstruksi KKS adalah antara negara dengan badan usaha?
ADVERTISEMENT
Seharusnya, hal tersebut tidak lagi menjadi persoalan. BUK Migas sudah dapat melakukan pengelolaan migas secara langsung. Sebagaimana pertimbangan MK di atas, fungsi pengelolaan merupakan wujud penguasaan negara tingkat pertama dan utama atas sumber daya alam. Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 menafsirkan hak menguasai negara harus diwujudkan dalam fungsi pengadaan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan dipenuhinya semua fungsi tersebut, termasuk fungsi pengelolaan, maka migas telah dikuasai oleh negara secara sempurna.
Apabila KKS dikonstruksikan antara negara dengan badan usaha, MK memandang hal tersebut akan membatasi negara untuk membuat regulasi yang dapat bertentangan dengan isi KKS demi kepentingan rakyat. MK menghendaki negara memberikan perizinan atau konsesi kepada BUMN yang mengelola migas, kemudian BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan badan usaha lainnya (kontraktor). Menurut saya, skema KKS justru harus dipahami sebagai jaminan kepastian hukum yang ditawarkan kepada investor. Mengingat pengelolaan migas membutuhkan nilai investasi yang sangat besar, maka tanpa adanya jaminan kepastian hukum, investor tidak akan berani ikut serta dalam pengelolaan migas di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Apabila menggunakan skema perizinan atau konsesi diberikan kepada BUMN, kemudian BUMN melakukan KKS dengan kontraktor swasta, apakah izin tersebut akan dicabut pemerintah jika pemerintah membuat regulasi yang bertentangan dengan KKS antara BUMN dan kontraktor swasta tersebut? Apabila dicabut, maka yang dirugikan adalah BUMN itu sendiri. Mengingat, BUMN dan kontraktor swasta tersebut telah terikat perjanjian (KKS), kemungkinan besar pencabutan izin tersebut akan mengakibatkan BUMN melakukan wanprestasi (melanggar perjanjian). Walaupun BUMN tersebut dapat menggunakan dalil keadaan memaksa (force majeure) yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, BUMN tersebut tetap tidak dapat menghindarkan diri dari gempuran gugatan oleh kontraktor swasta di arbitrase internasional. Hal tersebut justru akan merugikan BUMN yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
ADVERTISEMENT
Penguasaan saja tidak ada gunanya, apabila tidak dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan argumentasi di atas, KKS sama sekali tidak mendegradasi penguasaan negara. KKS justru merupakan skema pengelolaan migas yang menguntungkan negara dan rakyat.
Salah satu bentuk KKS adalah Production Sharing Contract (PSC) yang lazim digunakan dalam pengelolaan migas di berbagai negara. Dengan PSC, hasil produksi migas akan dibagi antara negara dengan kontraktor swasta, bukan hasil penjualannya. Selain itu, PSC menggunakan skema Cost Recovery di mana kontraktor tersebut akan mengeluarkan biaya sendiri untuk melakukan eksplorasi migas. Apabila ditemukan sumber migas, maka negara akan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan kontraktor. Apabila tidak ditemukan, maka negara tidak akan menanggung modal yang dikeluarkan kontraktor. Sehingga, melalui skema KKS, pengelolaan migas dapat dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT