Konten dari Pengguna

Patriarki Bagai Sangkar Perempuan Indonesia

Wilsya Azzahroh
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
21 Juni 2024 10:16 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wilsya Azzahroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Istilah patriarki dewasa ini kerap menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan. Baik di dunia nyata maupun dunia maya, generasi milenial hingga generasi Z banyak yang memperbincangkan problem ini. Pasalnya, di Indonesia sendiri budaya patriarki banyak dijumpai di setiap daerah bahkan sudah tertanam dalam mindset setiap individu secara turun temurun dan berkembang menjadi suatu kebudayaan di masyarakat. Namun, apa sebenarnya maksud dan yang melatarbelakangi budaya patriarki ini?
Simbol gerakan feminis/sumber: istockphoto.com
Istilah “Patriarki” muncul bersamaan dengan ideologi feminisme, yaitu pada abad ke-20 pada tahun 1960-an. Dalam buku The Creation of Patriarchy yang ditulis oleh Gerda Lerner pada tahun 1986, patriarki diperkirakan muncul sejak masa milenium kedua, sebelum masehi di Babel. Pada masa itu pembagian kerja mengenai seksualitas perempuan sepenuhnya dikendalikan oleh laki-laki. Gerda juga menjelaskan bahwa patriarki muncul di belahan dunia pada waktu yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, patriarki sudah muncul sejak era penjajahan oleh kolonial Belanda. Pada masa itu, perempuan berada di kelas sosial paling rendah, mereka tidak diizinkan untuk sekolah dan belajar karena adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya ada di dapur, sumur, dan kasur. Bahkan yang lebih menyedihkannya lagi, para perempuan-perempuan pribumi hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para tentara kolonial Belanda. Di era saat ini pun budaya patriarki masih terpelihara dalam benak masyarakat di Indonesia, meskipun hak-hak perempuan seperti pendidikan dan karir sudah lebih bebas dan dianggap lumrah.
Istilah patriarki berasal dari kata patriarkat yang memiliki arti struktur yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya. Secara umum, patriarki adalah suatu budaya dimana kedudukan laki-laki dianggap lebih unggul daripada kedudukan perempuan sehingga banyak perempuan yang sulit atau bahkan tidak bisa mendapatkan hak-haknya yang setara dengan laki-laki. Sistem dari budaya patriarki yang mendominasi pemikiran masyarakat melahirkan kesenjangan dan ketidakadilan gender sehingga mempengaruhi posisi dan peranan laki-laki yang memiliki porsi lebih besar dibanding perempuan di berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, ekonomi, sosial budaya, politik, hukum, dan aspek kehidupan lainnya. Budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan berkuasa dari perempuan. Perempuan dianggap sebagai manusia yang memiliki kelemahan, keterbatasan, dianggap selalu menggunakan perasaan, serta tidak rasional. Oleh karena itu, perempuan yang bekerja di beberapa sektor yang sifatnya “keras”, memiliki persaingan, dan rasional dianggap tidak layak untuk bekerja di sektor tersebut.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan masyarakat Indonesia ketika melihat perempuan yang bekerja di publik, membangun karir, dan berkompetisi dengan laki-laki dianggap menyalahi kodrat. Mereka beranggapan bahwa kodrat seorang perempuan hanyalah sebatas mengurus anak dan suami serta mengurus rumah dan melakukan pekerjaan domestik, bagi mereka perempuan tidak pantas untuk bekerja dan mengenyam pendidikan yang tinggi. Padahal anggapan masyarakat mengenai kodrat perempuan tersebut hanya berasal dari pemaknaan masyarakat itu sendiri, bukan dari makna kodrat perempuan yang sebenarnya.
Sistem patriarki juga melahirkan berbagai peraturan tidak tertulis yang kemudian berkembang menjadi norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat. Peraturan-peraturan yang mengikat dan mengontrol gerak kehidupan seorang perempuan bahkan laki-laki. Seperti stereotip masyarakat terhadap perempuan yang memakai pakaian terbuka, rambut diwarnai, pulang larut malam akan dianggap sebagai perempuan tidak benar dan nakal, bahkan ada juga masyarakat yang memberikan julukan “pelacur” pada perempuan seperti itu.
Ilustrasi kesetaraan gender/sumber: istockphoto.com
Tidak hanya kaum perempuan saja yang merasakan dampak negatif dari adanya budaya patriarki, tetapi kaum laki-laki pun juga merasakan dampak negatif dari budaya patriarki ini, karena budaya patriarki tidak hanya mengacu tentang hakikat perempuan tetapi juga menyinggung mengenai maskulinitas seorang laki-laki. Contoh kecil dari maskulinitas dalam kehidupan sehari-hari ialah laki-laki dianggap aneh apabila menyukai warna-warna cerah seperti warna pink. Apabila ada laki-laki yang melakukan perawatan diri seperti skincare hingga bodycare, mereka akan dianggap melenceng dan menyalahi kodratnya sebagai laki-laki karena menyerupai perempuan. Padahal melakukan perawatan terhadap diri sendiri merupakan hak bagi setiap manusia, tidak peduli apakah mereka laki-laki ataupun perempuan, tidak ada larangan bahwa laki-laki dilarang melakukan perawatan diri. Bahkan, laki-laki diragukan kejantanannya apabila mereka menangis karena menurut sebagian masyarakat laki-laki yang menangis adalah laki-laki yang lemah. Padahal, menangis adalah salah satu bentuk emosi yang sangat normal dilakukan oleh siapapun dan menangis merupakan salah satu cara untuk meluapkan emosi negatif yang ada pada diri setiap orang.
ADVERTISEMENT
Dampak Buruk Budaya Patriarki Terhadap Perempuan di Indonesia
Akibat dari sistem budaya patriarki yang menekankan maskulinitas pada laki-laki serta menganggap perempuan sebagai objek dan “the second sex” atau yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” menjadikan perempuan ditempatkan dalam subordinasi, berada dibawah kekuasaan laki-laki. Sehingga terkadang perempuan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, seperti tidak didengar, bahkan tidak dijadikan hal yang utama. Intimidasi terhadap perempuan masih kerap terjadi di lingkungan masyarakat.
Foto ilustrasi dampak buruk patriarki bagi perempuan/sumber: pexels.com
Ada beberapa dampak buruk dari budaya patriarki seperti kekerasan terhadap perempuan yang sudah lama beredar di masyarakat, terutama dalam rumah tangga. Suami dengan mudahnya membentak bahkan mengata-ngatai istrinya dengan perkataan yang tidak pantas untuk dilontarkan. Suami yang bebas melakukan kekerasan terhadap istrinya tanpa peduli dengan lingkungan sekitar. Hal ini kerap terjadi karena keinginan suami yang tidak terpenuhi, istri yang tidak melayani suami dengan baik, dan masih banyak lagi hal-hal yang menyebabkan kekerasan ini terjadi.
ADVERTISEMENT
Istri yang menjadi korban kekerasan disini karena sering merasa sakit hati sehingga mereka tidak mampu berbuat apapun karena dalam rumah tangga, apapun yang suami katakan dan perbuat itu adalah hal yang benar karena sosok suami ialah sebagai pemimpin rumah tangga yang memiliki kekuasaan atas rumah tangga tersebut. Apabila istri menentang, suami tidak segan-segan untuk memukul atau menendang istrinya dengan alasan bahwa istri harus patuh kepada suami, namun sering kali suami tidak bisa berperilaku baik terhadap istri.
Suami yang dalam kondisi emosi yang tidak stabil, ucapan yang sering tidak dapat dikontrol, merasa dirinya kuat dan ingin terlihat kuat sehingga terkadang mereka menganggap bahwa dengan membentak istrinya mereka akan dipandang pria sejati, pria yang tidak memiliki kelemahan. Mereka tidak memberikan istri mereka kesempatan untuk berbicara bahkan memberikan penjelasan karena merasa bahwa merekalah yang paling benar.
ADVERTISEMENT
Kemudian suami menyalahkan sang istri apabila tidak dapat memberikan seorang anak. Perempuan dianggap sebagai baby machine yang harus memberikan seorang anak karena tuntutan mertua, keluarga, bahkan masyarakat. Padahal, perempuan memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri dan mungkin ada beberapa hal yang menjadi penyebab seorang perempuan tidak ingin memiliki anak yang tidak diketahui oleh orang lain.
Apabila sudah memiliki anak, maka istri lah yang harusnya merawat anak tersebut. Seakan-akan mereka lepas tangan, lupa akan tanggung jawab mereka bahwa seorang anak bukan hanya membutuhkan peran dan kasih sayang dari seorang ibu tetapi juga peran dan kasih sayang dari seorang ayah. Yang terpenting bagi mereka adalah kebutuhan materi keluarga tercukupi sudah lebih dari cukup dibandingkan kebutuhan emosional.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan maraknya kasus pelecehan seksual. Bentuk pelecehan seksual bukan hanya sekedar pemerkosaan, tetapi juga berupa isyarat, sentuhan terutama di area tertentu, komentar seksual mengenai tubuh orang lain, memanggil hingga menggoda atau yang biasa dikenal dengan catcalling. Apabila seorang perempuan mengalami pelecehan seksual, maka kebanyakan orang akan menyalahkan cara berpakaian si korban.
Kebanyakan hanya perempuan yang disalahkan dalam kasus ini, berdalih dengan statement bahwa seharusnya perempuan menutup aurat, “Siapa suruh berpakaian terbuka seperti itu? Salah sendiri tidak menjaga aurat.” Padahal sebagai laki-laki hendaknya juga mampu mengontrol diri dan mampu menggunakan akalnya dengan baik agar dapat berpikir jernih. Bahkan tidak jarang pula perempuan yang telah berpakaian tertutup menjadi korban pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Ibarat kucing yang melihat ikan, langsung disantap begitu saja. Sudah jelas bahwa perbedaan manusia dengan hewan adalah akal. Manusia memiliki akal yang bisa digunakan untuk berpikir, sedangkan hewan tidak. Sehingga ini menjadi salah satu penyebab perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual hanya tutup mulut, karena menganggap hal tersebut adalah aib dan jika mereka membuka suara mereka akan dihakimi dan disalahkan oleh masyarakat.
Kemudian banyak sekali masyarakat yang mempertanyakan, mengapa korban pelecehan seksual atau pemerkosaan tidak melakukan perlawanan? Nyatanya, manusia tidak selalu bisa memprediksi bagaimana mereka akan bereaksi ketika dalam situasi tertentu.
Profesor Paul Dolan yang merupakan seorang psikolog perilaku di London School of Economics mengatakan, dalam keadaan berpikir tenang, tidak dalam bahaya apapun, dan bisa berpikir rasional, maka sangat sulit untuk membayangkan apa respon yang akan kita berikan dalam situasi mendesak. Nyatanya, tidak melakukan perlawanan ataupun mencoba melarikan diri bukan berarti korban setuju atas perlakuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kekerasan merupakan salah satu penyebab memburuknya kondisi psikologis seseorang. Seperti timbulnya rasa tidak percaya diri, merasa tidak berdaya, selalu menyalahkan diri sendiri karena berpikir bahwa kekerasan yang orang lain lakukan terhadap diri mereka dikarenakan atas kesalahan mereka sendiri, hilangnya kemampuan untuk membuat keputusan sendiri atau mengambil tindakan, hingga rasa penderitaan serius yang meningkat setiap harinya sampai korban bukan hanya memiliki pikiran dan rencana untuk bunuh diri, tetapi juga sampai melakukan apa yang selama ini mereka pikirkan dan rencanakan karena merasa bahwa diri mereka tidak pantas dan tidak berharga untuk siapapun.
Perlawanan Perempuan Terhadap Budaya Patriarki di Indonesia
Foto ilustrasi perlawanan perempuan terhadap patriarki/sumber: istockphoto.com
Gerakan Emansipasi Wanita yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang dikenal sebagai Ibu Kartini adalah salah satu bentuk perlawanan perempuan terhadap budaya patriarki yang berkembang di Indonesia. Kartini yang lahir sebagai seorang ningrat di daerah Jawa mengharuskan ia untuk menjadi seorang Raden Ayu yang berarti menikah dan mengabdikan diri pada seseorang yang menjadi suami. Kartini sempat mengecap pendidikan hingga usianya 12 tahun, namun pendidikannya terhalang oleh adat istiadat masyarakat yang kala itu tidak memperbolehkan perempuan sekolah karena dianggap tidak penting.
ADVERTISEMENT
Banyaknya keterbatasan hak-hak perempuan yang terkurung dalam adat istiadat di tengah masyarakat kala itu menjadikan Kartini bercita-cita untuk mewujudkan kebebasan pada perempuan dan kesetaraan gender bagi semua pihak. Kartini mengkritik banyak hal seperti posisi perempuan dalam rumah tangga, hak pendidikan dan pengambilan keputusan bagi perempuan.
Di era modern saat ini, masih banyak orang-orang yang memperjuangkan emansipasi wanita, meski dalam bentuk yang berbeda dengan Kartini. Para perempuan di era modern ini mewujudkan emansipasi tersebut dengan bentuk kebebasan berkarir dan berkarya dalam berbagai bidang yang setara dengan laki-laki. Diantaranya adalah tokoh-tokoh selebriti yang terkenal akan kecerdasan dan dedikasinya, seperti Najwa Shihab dan Maudy Ayunda. Selain itu, saat ini juga sudah banyak perempuan-perempuan yang duduk di kursi pemerintahan yang sederajat dengan laki-laki, bahkan menjadi pemimpin suatu lembaga, diantaranya adalah putri dan cucu dari presiden pertama Indonesia, yakni Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani. Terlepas dari pro-kontranya, mereka adalah salah satu bentuk dari wujud emansipasi wanita di masa sekarang. Tidak hanya itu, penolakan terhadap budaya patriarki juga banyak dituangkan di dalam buku-buku dan film-film nasional di Indonesia.
Foto ilustrasi perjuangan perempuan dalam melawan patriarki/sumber: istockphoto.com
Meski emansipasi wanita telah beredar luas saat ini, tapi nyatanya patriarki tetap masih eksis dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masih banyak orang-orang yang memegang erat budaya ini, terutama masyarakat yang telah berumur. Banyak dari mereka yang masih memegang prinsip bahwa seluruh pekerjaan domestik dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan mengemas rumah adalah tugas perempuan, lalu ketika mereka memiliki anak mereka akan menerapkan prinsip tersebut kepada anak mereka. Maka jadilah budaya patriarki ini layaknya rantai makanan yang terus berulang dari generasi ke generasi. Padahal tugas-tugas domestik dalam rumah tangga merupakan basic skill yang memang harus dimiliki oleh setiap orang, tidak memandang laki-laki ataupun perempuan.
ADVERTISEMENT
Mereka mengajarkan anak-anak perempuan mereka untuk menutup aurat, berperilaku manis dan lemah lembut kepada orang lain, tapi mereka tidak mengajarkan anak laki-laki mereka untuk menjaga pandangannya serta menghormati perempuan, sebaliknya mereka mengajarkan anak laki-laki mereka untuk kuat, gagah, tahan banting, dan tidak boleh cengeng. Akibatnya, banyak laki-laki yang merasa dirinya memiliki derajat diatas perempuan dan menganggap perempuan sebagai bawahan yang bisa dilakukan semena-mena. Oleh karenanya, kasus kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual terhadap perempuan banyak terjadi di sekitar kita, bahkan tidak jarang orang-orang menyepelekan atau menganggap hal tersebut sudah sewajarnya untuk dilakukan.
Pengajaran-pengajaran yang ditanamkan sejak kecil tersebut menyebabkan sukarnya menghilangkan budaya patriarki dari masyarakat. Padahal dampak negatif yang ditimbulkan dari budaya ini sudah sangat jelas, tetapi mereka seakan tutup mata akan hal tersebut. Budaya patriarki yang telah mengakar dalam kebudayaan masyarakat di Indonesia memang hendaknya dihilangkan, karena budaya ini seakan-akan telah merenggut kebebasan setiap individu baik perempuan maupun laki-laki.
ADVERTISEMENT
Referensi
Yayasan BaKTI. (2020). Perempuan, Masyarakat Patriarki dan Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan BaKTI.
Yanuarius dkk. (2019). Relasi Gender Patriarki Dan Dampaknya Terhadap Perempuan Hubula Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, 65-77. Diakses pada Jumat 2 Desember 2022, dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih.
Nashir, Muhammad Reza. (2017) Budaya Patriarki di Indonesia. Kompasiana. Diakses pada Selasa 29 November 2022, dari https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/rezanashir/58bfaffd6ea8347d148b4567/budaya-patriarki-di-indonesia
Ananda. Patriarki adalah Kontruksi Sistem Sosial dengan Sejarah yang Panjang. Gramedia. Diakses pada Selasa 29 November 2022, dari https://www.google.com/amp/s/www.gramedia.com/literasi/patriarki-adalah/amp/
Sukarno, Endi. (2019). Perempuan dalam Cengkraman Budaya Patriarki. Radar Jogja. Diakses pada Jumat 2 Desember 2022, dari https://radarjogja.jawapos.com/opini/2019/10/09/perempuan-dalam-cengkraman-budaya-patriarki/
Wirawan, Gede Benny Setia. (2020). Saya Laki-laki, Saya Butuh Feminisme. BaKTINews. Diakses pada Jumat 2 Desember 2022, dari https://baktinews.bakti.or.id/artikel/saya-laki-laki-saya-butuh-feminisme
ADVERTISEMENT
Dewi, Bestari Kumala. (2021). Mengapa Orang Cenderung Diam Saat Mengalami Pelecehan Seksual? Sains Jelaskan. Kompasiana. Diakses pada Senin 5 Desember 2022, dari https://amp.kompas.com/sains/read/2021/06/11/214552623/mengapa-orang-cenderung-diam-saat-mengalami-pelecehan-seksual-sains
Poerba, Johanna G.S.D. (2015). Kartini: Pembebasan Laki-laki dari Patriarki. Jurnal Perempuan. Diakses Senin 5 Desember 2022, dari https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/kartini-pembebasan-laki-laki-dari-patriarki