Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Telaah Kritis Program Kurikulum Sekolah Penggerak
12 Juni 2022 12:25 WIB
Tulisan dari Windra Tunggawijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai suatu sistem yang terbuka, pendidikan sendiri tidak dapat lepas dari kata permasalahan. Permasalahan pendidikan di Negara Indonesia dapat timbul dari dua sisi, yaitu permasalahan dari sisi mikro maupun permasalahan sisi makro. Permasalahan mikro dapat didefinisikan sebagai masalah pendidikan yang timbul dari dalam komponen itu sendiri sebagai sebuah sistem, misalnya permasalahan administrasi pendidikan dan kurikulum. Sedangkan, permasalahan makro didefinisikan sebagai permasalahan pendidikan muncul dari sebuah sistem dengan berbagai sistem lainnya yang bersifat luas, misalnya permasalahan ketidakmeratanya pendidikan, kualitas pendidikan yang rendah serta masalah efisiensi dan relevansi pendidikan.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada hasil survei Internasional seperti PISA, TIMSS dan PIRLS membuktikan bahwa kualitas pendidikan di Negara Indonesia dalam tiga tahun terakhir berada pada urutan yang rendah. PISA sendiri merupakan program survei penilaian sistem pendidikan di dunia yang bertujuan untuk mengukur kinerja peserta didik dalam tingkatan pendidikan menengah. Hal ini dibuktikan dengan data survei pada tahun 2018, bahwa peserta didik di Negara Indonesia dalam kategori kemampuan literasi menempati peringkat ke-74 dari 80 Negara di dunia dengan skor rata-rata 371. Selain itu, dalam kategori matematika, Negara Indonesia berada pada posisi 73 dengan skor rata-rata 379 (Programme for International Student Assesment, 2018). Hal ini berarti, Negara Indonesia menempati urutan ke 6 dan ke-7 dari bawah. Data tersebut terlihat jelas bahwa capaian kemampuan literasi dan numerasi peserta didik di Negara Indonesia melalui assesmen nasional seperti Ujian Nasional tampak belum memuaskan.
ADVERTISEMENT
Hal yang perlu digaris bawahi disini adalah permasalahan pada kurikulum di Negara Indonesia khususnya implementasi kurikulum 2013. Pada penerapannya, kurikulum 2013 sendiri mempunyai pendekatan saintifik terhadap aktivitas dalam setiap materi yang disebut 5M (mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan yang mana guru perlu memikirkan pendekatan saintifik yang berbeda untuk setiap materi sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Akan tetapi, pada kenyataannya sebagian besar guru menghadapi beberapa kendala mengenai pendekatan saintifik dalam menyusun rencana pembelajaran, kegiatan maupun evaluasi pembelajaran. Terkait hal tersebut, sesuai dengan data di lapangan bahwa terdapat empat permasalahan utama yaitu kesulitan guru dalam menyusun RPP (53,8%), memadukan tema antar konten (51,1%), menyediakan media pembelajaran (53,8%), serta penilaian sikap (55,6%) (Wahyudi dan Muhammad Chamdani, 2017).
ADVERTISEMENT
Perihal tersebut dapat dikatakan bahwa kualitas pembelajaran guru masih belum memuaskan dan perlu adanya sebuah perhatian. Padahal kurikulum 2013 sendiri mengharapkan adanya pembelajaran berpusat pada peserta didik (student center learning) dengan tujuan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Namun, pada kenyataannya, sebagian besar pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher center learning).
Maka dari itu, adanya berbagai pemasalahan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud) berupaya mengatasi dengan mengeluarkan kebijakan baru yaitu penerapan program Kurikulum Sekolah Penggerak. Secara umum, Program Sekolah Penggerak ini berfokus pada pengembangan sumber daya sekolah, mulai dari peserta didik, pengajar hingga kepala sekolah. Hal yang menjadi dasar pertimbangan perubahan adalah menyederhanakan kurikulum, memberikan otonomi bagi sekolah dan guru, serta lebih fleksibel dan sejalan dengan semangat belajar mandiri karena mudah dilaksanakan. Kemudian, apa yang berubah dari kurikulum 2013 ke kurikulum program sekolah penggerak ? tampaknya perubahan tersebut bukan dalam hal tingkatan paradigmatik, akan tetapi lebih menekankan dalam hal teknis.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun demikan untuk mengimplementasikan program Kurikulum Sekolah Penggerak ini tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana program Sekolah Penggerak ini diterapkan, tentu problematika tersebut sangat fundamental untuk disosialisasikan ke semua pihak, utamanya yaitu komponen masyarakat, pendidik dan pemerintah daerah agar selebihnya dapat menekan kesalahpahaman yang mungkin dapat berpotensi menghambat program Sekolah Penggerak itu sendiri. Berangkat dari perihal tersebut, melalui catatan ini penulis berusaha untuk menelaah dan mengenalisis bagaimana keberjalanan Program Kurikulum Sekolah Penggerak diterapkan.
Transfigurasi Kualitas Pendidikan
Secara konseptual, program Kurikulum Sekolah Penggerak merupakan program yang memfokuskan pada pengembangan hasil belajar peserta didik secara menyeluruh untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Hal ini bertujuan untuk mengupayakan pengembangan SDM sekolah dan mendorong perubahan satuan pendidikan dari sekolah yang dapat dikatakan berkualitas rendah menjadi sekolah berkualitas unggul. Program Kurikulum Sekolah Penggerak ini akan dilaksanakan dengan komitmen dan kesepakatan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Sekolah dengan hasil belajar, lingkungan belajar, dan kualitas pembelajaran yang relatif buruk atau tidak memadai dapat berpindah dari level 1 ke level 4 dengan kriteria tertentu. Jenjang sekolah yang dimaksud meliputi tingkat sekolah berkategori poor (tingkat I), fair (II), good (III), dan tingkat sekolah berkategori great (IV).
ADVERTISEMENT
Pada program Kurikulum Sekolah Penggerak, masing-masing sekolah dengan level tertentu akan dilakukan campur tangan sesuai dengan kualifikasi dan kualitasnya, yang mana sekolah yang memiliki kualitas yang relatif rendah mendapatkan dukungan konsultatif dan asimetris selama tiga tahun. Dalam proses pendampingan, difokuskan pada penguatan SDM sekolah, penguatan paradigma pembelajaran, penguatan database manajemen sekolah, dan pengembangan digitalisasi sekolah lebih lanjut. Disamping itu, sekolah yang berada pada tingkat sekolah berkategori great (IV) diharapkan mampu menjadi sekolah penggerak dan dapat memberikan pengaruh pada sekolah lain. Maka dari itu, sekolah penggerak dapat memberikan mentor sekolah di sekitarnya, sehingga antar daerah akan saling belajar, sebab landasan dari program kurikulum sekolah penggerak ini adalah kolaborasi, bukan kompetisi.
Dalam konteks tersebut, dapat dimaknai bahwa Program Sekolah Penggerak ini dapat ditegaskan bahwa adanya program ini akan memunculkan sekolah yang kolaboratif. Output dari adanya sekolah kolaboratif tersebut dapat menciptakan kemajuan pendidikan di Indonesia dengan menekankan pada model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan menggerakan lingkungan pendidikan yang lebih progresif melalui Program Guru Penggerak. Sebab, peningkatan kualitas pendidikan tidak dapat terlepas dari peran aktif guru dalam proses pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah Memunculkan Sekolah Eksklusif ?
Berdasarkan penjelasan dari Kemendikbud, program kurikulum Sekolah Penggerak ini diluncurkan untuk menyempurnakan dan melengkapi program yang sederajat dari sebelumnya. Perlu diketahui bahwa gagasan implementasi kebijakan untuk melaksanakan transformasi sekolah sebenarnya telah diimplementasikan dalam kebijakan pendidikan di masa lalu. Berbagai program tersebut antara lain program RSBI, Sekolah Model serta Sekolah Rujukan, Pelaksanaan dari setiap program tersebut ditujukan untuk membangun sekolah yang unggul dan berpotensi untuk memengaruhi dan meningkatkan kualitas bagi sekolah lain.
Akan tetapi, pada realitanya apa yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Tampak bahwa kualitas pendidikan di sekolah lain masih belum membaik, namun perbedaan kualitas pendidikan antar sekolah malah semakin melebar. Karena mayoritas sekolah yang unggul menjadi lebih baik, disisi lain sekolah yang berkualitas rendah semakin buruk dan terus berlanjut yang mana perbedaan kualitas ini disebabkan oleh ketidakmampuan berbagai program yang ada untuk mengatasi masalah-masalah sekolah secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Apabila melihat isu-isu yang ada, problematika mengenai sumber daya dan infrastruktur sekolah yang berkualitas rendah tidak sepenuhnya ditangani oleh program intervensi yang jelas. Faktanya sekolah yang memiliki kualitas yang unggul menjadi pilihan masyarakat dan merasa superior apabila disamakan dengan sekolah yang berkualitas rendah. Perihal inilah yang akan memunculkan eklusivisme sekolah bukan inklusif. Dengan alasan bahwa berbagai sekolah favorit tersebut berupaya untuk mendapatkan dana eksternal dengan cara yang tidak wajar. Oleh karena itu, kehadiran program Kurikulum Sekolah Penggerak ini diharapkan tidak memunculkan problematika tersebut.
Berdasarkan aturan yang beredar, Kemendikbud menegaskan bahwa Sekolah Penggerak ini bukanlah sekolah unggulan, tetapi istilah ini adalah sekolah yang berani untuk mentransformasi proses pendidikan dan memberdayakan kapasitas sumber daya yang ada. Sumber daya tersebut mencakup kepala sekolah sebagai pemimpin, tenaga pendidik, pengawas serta penilik sekolah menjadi target utama untuk memberdayakan kompetensinya. Sebab, sumber daya yang ada diwajibkan menjadi penggerak dalam peningkatan kualitas sekolahnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hal yang dipertanyakan adalah apabila suatu sekolah telah menjadi sekolah penggerak, apakah mungkin suatu saat akan menjadi sekolah “eksklusif”? Jawabannya adalah sangat mungkin terjadi, karena jika sekolah yang sukses bertransformasi menjadi sekolah penggerak dapat menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah capaian prestisius dari sekolah tersebut. Prestasi yang telah diperoleh dan dimiliki dapat menjadi sebuah keuntungan oleh pihak sekolah guna menarik minat peserta didik baru. Tetapi, perihal ini memang tidak salah karena sudah menjadi hal yang biasa di berbagai sekolah yang unggul. Namun hal yang perlu digarisbawahi bahwa sasaran utama pendidikan yaitu mencerdasrkan anak bangsa dengan memberikan kesempatan yang merata tanpa diskriminasi. Karena, proses peralihan sekolah wajib berjalan menggunakan aturan yang benar dan tidak menyimpang berdasarkan tujuan utamanya.
ADVERTISEMENT
Mungkinkah Pelaksanaan Kurikulum Sekolah Penggerak Memunculkan Masalah ?
Pelaksanan program kurikulum sekolah penggerak diperlukan koordinasi yang optimal antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, berbagai kondisi infrastruktur dan masalah sekolah perlu diperhatikan. Sebab, Negara Indonesia masih dalam keadaan darurat Covid-19 dan diperlukan upaya lebih lanjut untuk menyukseskan program ini.
Namun demikian, meskipun kurikulum 2013 cenderung tidak mengalami perubahan dalam hal paradigmatik, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pelaksanaannya, Kurikulum Sekolah Penggerak akan memunculkan berbagai masalah ketika diimplementasikan secara nasional, karena pada penerapannya membutuhkan sinergitas dari berbagai pihak .
Berbagai permaslahan yang mungkin terjadi yaitu, masalah pertama akan tampak dalam kesiapan para guru. Mengingat pemberian otonomi pengaturan jam mengajar per minggu kepada satuan pendidikan tidak selalu memungkinkan. Apabila memungkinkan, perihal tersebut belum tentu disetujui oleh pengawas atau kepala dinas pendidikan setempat. Pengawas belum tentu setuju, karena jadwal yang berbeda untuk setiap sekolah masing-masing justru malah akan menambah beban kerja. Sehingga bisa saja pemberian otonomi kepada satuan pendidikan menjadi tidak terealisasi dan berujung pada penyeragaman dalam satu daerah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, probematika juga dapat muncul dalam sisi kualitas pendidikan yang mana mengenai adanya penyatuan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang sekolah dasar mejadi tidak sistematis. Karena, Sekolah Dasar merupakan landasan untuk mengasah alat berpikir rasional, dan salah satu alat untuk mengajarkan berpikir secara saintifik adalah IPA. Lalu, bukankah menjadikan sistem pembelajaran akan semakin tumpul apabila mata pelajaran IPA dan IPS disatukan ?
Selain itu, pada jenjang SMA, pembelajaran menjadi semakin tidak fokus sebab mata pelajaran utama atau kekhususan diajarkan di kelas sebelas (XI), karena sistem penjurusan atau peminatan dilaksanakan pada kelas XI. Maka, peserta didik yang kurang minat dalam mendalami materi pelajaran matematika, fisika, kimia, atau biologi akan semakin tidak fokus selama satu tahun. Sehingga, menjadikan arah SMA semakin kurang fokus.
ADVERTISEMENT
Lalu Bagaimana Langkah Idealnya ?
Penerapan program kurikulum sekolah penggerak memerlukan koordinasi optimal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Oleh karena itu, berbagai kondisi infrastruktur dan permasalahan yang dihadapi sekolah perlu diperhatikan dan penerapannya perlu sinergitas berbagai pihak.
Pertama, perlu keterlibatan maksimal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Artinya, program kurikulum sekolah penggerak sangat membutuhkan optimalisasi keterlibatan dari pemerintah pusat-daerah agar direalisasikan dengan baik dan mengantisipasi kesalahpahaman persepsi yang sekiranya dapat mengurangi tujuan awal dari progran Kurikulum Sekolah Penggerak.
Kedua, melakukan kolaborasi dalam ekosistem pendidikan sebagai sebuah jaringan sumber pengetahuan dan pendidikan yang saling berhubungan dalam suatu sistem yang tidak sederhana, tetapi mampu bersinergi dan bekerjasama dengan baik sebagai jaringan pengetahuan dan sumber daya pendidikan yang saling berhubungan. Termasuk kerjasama, pembinaan dan pengawasan di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten atau kota. Untuk itu, sangat penting Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera menetapkan standar agar daerah dapat segera menyesuaikan kebijakannya dengan program yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, komunikasi dan kerja sama efektif termasuk dinas pendidikan diseluruh Indonesia wajib dilakukan. Untuk itu, Dinas terkait perlu segera memetakan kebutuhan guna mendukung implementasi program Kurikulum Sekolah Penggerak. Kemduian, untuk tidak merotasi kepala sekolah, pengajar dan SDM lainnya selama minimal empat tahun (spesifik untuk sekolah negeri) pada Sekolah Penggerak. Oleh karena itu, seluruh celah yang sekiranya dapat menghambat efektivitas pelaksaan program Kurikulum Sekolah Penggerak wajib segera ditutup menggunakan peraturan yang inheren bagi seluruh pihak.
Melalui ketiga langkah implementasi program Kurikulum Sekolah Penggerak di atas, apabila mampu diaplikasikan dengan penuh kesadaran seluruh pihak, maka besar kemungkinan tujuan Sekolah Penggerak yang direncanakan oleh Kemendikbud dapat terwujud dengan baik dan akan menciptakan peningkatan kualitas mutu pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Magdalena, M. C. (2022). Kurikulum "Sekolah Penggerak" Gambaran Umum Solusi Masalah Pembelajaran . Prosiding Konferensi Internasional tentang Agama, Sains dan Pendidikan, 137 - 147.
Programme for International Student Assesment. (2018). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Wahyudi dan Muhammad Chamdani. (2017). Implementasi Kurikulum 2013 Di Sekolah Dasar Masalah dan Solusinya (Studi Kasus di Kabupaten Kebumen). Jurnal Riset Pedagogik 1 (1), 92 - 108.