Bima Sayang Ibu

Winuranto
Jalan-jalan dan riang gembira
Konten dari Pengguna
12 April 2018 19:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Winuranto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebelum hilang diculik di masa Orde Baru, Petrus Bima Anugerah (Bimo Petrus) beberapa kali berkirim surat kepada ayah dan ibundanya di Malang, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Surat-surat itu ditulis dan dikirimkan Bimo Petrus, yang kala itu berusia 24 tahun, ketika ia bersama kawan-kawannya di Partai Rakyat Demokratik (PRD) dinyatakan sebagai buronan politik rezim Soeharto.
Orde Baru akhirnya tumbang pada Mei 1998, dan Indonesia pun memasuki era yang disebut reformasi. Namun hingga era ini berumur 20 tahun, Bimo, Herman Hendrawan, Wiji Thukul, Suyat beserta korban penghilangan paksa lainnya masih tak kunjung ditemukan.
Atas seizin orangtua Bimo Petrus, Utomo Rahardjo dan Genoveva Misiati, surat ini diterbitkan. Ada beberapa alinea surat, yang lantaran alasan tertentu, sengaja tidak dimunculkan di sini. (*)
(Surat ditulis di Jakarta, 29 September 1997 dan dilanjutkan 5 November 1997)
Ibuku sayang, ....nah lo... baru kali ini rasanya Bima bilang secara eksplisit sayang kepada ibu. Meskipun Bima enggak menjelaskan pun, ibu sudah tahu kalau Bima sayang sama ibu. Tidak biasa bagi adat Jawa kita mengungkapkan perasaan sayang itu kepada seseorang, lebih-lebih kepada orangtua. Ungkapan seorang anak kepada orangtuanya, bagi adat Jawa, terbatas sekali. Rasa pakewuh, takut salah, lebih mendominasi ekspresi anak. Anak jadi enggak bebas mau bilang sesuatu kepada orangtuanya. Tapi hal itu bukan berarti enggak bisa dirombak. Buktinya, Bima sekarang bisa secara bebas, tanpa beban, bilang perasaan Bima kepada ibu. Bima merasakan ada kemenangan kecil di sini, di mana Bima sudah enggak lagi terkungkung adat feodal Jawa. Itu enggak gampang ternyata. Bima butuh waktu beberapa tahun untuk bisa seperti itu.
ADVERTISEMENT
Ada saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan sayang kepada seorang ibu. Mungkin, saat-saat seperti ini yang cocok bagi Bima untuk bilang sayang kepada ibu. Hingga suatu saat yang lain pun demikian adanya.
Bima saat ini secara fisik jauh sama ibu. Itu enggak bisa disangkal dan dihindari lagi. Tak bisa dicegah lagi. Dalam hal ini, sama seperti anak-anak orang lain juga yang suatu saat kelak memang harus berpisah dari orangtuanya. Seekor kucing saja sebelum bisa mencari makan sendiri dulunya juga pasti nyusu sama induknya, dan kemudian hidup sendiri lepas dari induknya itu. Bima enggak pengin jadi seperti kucing. Kucing dari lahir, bayi masih nyusu, belajar jalan, belajar cari makan, kemudian besar, kawin dan sesudah itu mati. Begitu terus. Manusia kan juga enggak cukup lahir, besar, kawin, dan mati begitu saja. Bima pengin lebih dari itu. Kebanyakan, seorang anak diharapkan sejak lahir disusui, disekolahkan, kalau lulus diharapkan dapat kerja, hidup mapan, jadi orang baik-baik, kawin dan mati. Kalau hanya seperti itu saja, banyak contohnya. Dan itu sah-sah saja. Persoalannya, bagi Bima enggak cukup di situ saja persoalan hidup ini. Banyak yang jauh lebih penting, banyak yang belum Bima ketahui (sampai mati pun mungkin pengetahuan Bima enggak akan cukup) daripada yang datar-datar saja. Mungkin hal ini pernah Bima singgung di surat yang terdahulu.
ADVERTISEMENT
Sekadar refleksi saja kali ini. Enggak enak rasanya kalau hidup hanya datar-datar saja. Enggak ada seninya. Mumpung masih muda, Bima pengin masa muda Bima betul-betul bermakna. Entah itu salah atau benar jalan yang Bima tempuh. Yang penting bermakna. Daripada sampai jadi kakek-kakek tak membuat sebuah makna dalam hidup. Bima enggak takut akan hukuman Tuhan selama Bima enggak melanggar perintahNya. Bima enggak takut kematian, sebab selama Bima hidup kematian tidak bersama Bima. Dan ketika Bima mati, Bima sudah sudah tidak ada lagi, jadi tidak punya perasaan. Artinya tidak bisa menyesal. Kan sudah mati, orang mati kan tidak bisa menyesal. Jadi buat apa takut terhadap kematian? Kehidupan dan kematian sama-sama penting. Kalau kita menyadari bahwa suatu saat kita pasti mati, maka kita akan menyadari betapa berharganya hidup ini. Mulialah mereka yang tahu bagaimana menghargai hidupnya.
Lama enggak ngobrol panjang lebar seperti dulu memang bikin kangen ya, bu? Bima tahu, ibu sering merasa sepi di rumah setelah anak-anak ibu keluar dari rumah. Ibu dan bapak kini tinggal berdua lagi. Tapi Bima yakin akan satu hal bahwa semuanya itu enggak mengurangi rasa sayang mereka kepada ibu yang telah melahirkannya. Bagaimana ibu tahu kalau mereka itu sayang sama ibu? Ibu pasti jauh lebih tahu jawabannya daripada Bima. Yang Bima ketahui hanya dengan menulis surat seperti ini saja rasa sayang itu ada. Itu pun Bima harus semoyooooo... terus. Alasan sibuk adalah alasan klise saja. Ibu rasanya enggak butuh alasan itu, tapi lebih butuh wujud konkret dari surat Bima.
ADVERTISEMENT
Dalam surat ini Bima bingung mau cerita apa. Terlalu banyak yang mau diceritakan itu loh yang mbingungi. Mau cerita naiknya harga barang-barang, ibu malah lebih tahu dari Bima. Mau cerita soal tingkah laku pejabat, kok sayang rasanya saat seperti ini musti dikorbankan untuk cerita politik banyak-banyak. Cerita apa ya?
Oh ya, lebih baik Bima cerita tentang sehari-hari saja. Mungkin akan lebih mewakili atau menjawab rasa ingin tahu ibu akan aktivitas Bima di Jakarta yang keluar dari tulisan Bima sendiri, di samping cerita orang lain. Hari-hari di Jakarta betul-betul lain dibandingkan dengan daerah lain. Ibu tahu itu. Apa saja yang lain? Ya semua-semuanya. Panasnya, ramainya, angkuhnya, konfliknya, orang-orangnya, cewek-ceweknya, pokoknya semuanya. Semuanya bikin hidup Bima kadang senang dan sedih. Senang jika melihat matahari Jakarta tersenyum membakar semangat manusianya untuk melakukan perubahan. Sedih jika setan kemalasan menempeli setiap hal yang lewat di depan mata. Hidup Bima menjadi semakin dinamis, kaya dan progres karena itu semua. Tidak sedikit orang yang sadis dan tak kurang pula yang berhati emas, semua jenis tumplek-blek. Sisi wah dari kehidupan di sini mungkin sempat kita saksikan bersama waktu ibu dan Bima ke Jakarta beberapa tahun lalu. Sementara ini, Bima musti bergulat dengan sisi lain yang miris dari atmosfer Jakarta. Namun di sana, di tengah-tengah kaum buruh yang tertindas, kaum miskin kota yang terhempas, Bima menemukan rumah Bima yang sejati.
ADVERTISEMENT
Seharian, di samping kerja-kerja politik (suatu saat Bima akan mencatumkan aktivis politik di kolom pekerjaan pada KTP), Bima juga kuliah reguler di STF Driyakarya. Secara detail mungkin enggak bisa menjelaskan aktivitas politik macam apa yang Bima lakukan, tapi pada prinsipnya tidak berubah dari yang dulu, bahkan saat ini justru semakin bertambah saja tugas di pundak untuk diselesaikan. Hidup dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain tiap dua bulan menjadi hal yang biasa. Saat ini, apalagi dengan cap organisasi terlarang (OT) terhadap PRD, Bima dan kawan-kawan tidak mungkin menetap lebih lama dari dua bulan di satu tempat. Kampung-kampung di Jakarta mungkin kelak akan terjelajahi semua akibat dari cara hidup seperti ini. Hal ini tidak pula mengganggu jadual belajar yang ketat dari kampus.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, kawan-kawan Bima mendukung kuliah Bima. Mereka seringkali Bima ajak diskusi tentang hal-hal baru yang tidak Bima mengerti di kampus. Beberapa dari mereka juga mahasiswa atau bekas mahasiswa filsafat juga. Bahkan, hampir seluruh kawan Bima paham tentang masalah-masalah filsafat. Selain modal pernah kuliah di Surabaya, juga membantu Bima untuk menyiasati jadual harian yang padat ini.
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta seperti itu, justru memberi paling tidak sebuah hal baru bagi Bima setiap hari. Bergaul dengan orang-orang itu membuat Bima semakin sadar bahwa selama ini Bima enggak tahu apa-apa. Banyak yang Bima enggak tahu. Dan ternyata banyak juga persoalan yang harus diselesaikan. Suatu ketika Bima pernah masuk ke dalam sebuah perkampungan kumuh yang enggak jauh dari Istana Negara. Di situ Bima mikir, bagaimana orang-orang ini bisa hidup dengan kemiskinannya sementara segelintir yang lain tenggelam dalam kemewahannya. Dari situ Bima pikir, Bima enggak peduli ideologi mana yang akan berlaku. Pancasila kek, sosial demokrasi kek, komunis kek, kapitalis kek, apapun lah, Bima akan sepakat sejauh dia bisa menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang krusial.
ADVERTISEMENT
Kekuatan doa memang oleh sementara orang diyakini sebagai kekuatan yang cukup ampuh untuk maksud tertentu. Bima juga enggak keberatan dengan sikap seperti itu. Namun itu belum cukup bagi Bima, karena tindakan konkretlah di samping doa yang akan membimbing setiap usaha ke dalam sebuah pencapaian cita-cita. Dalam skala kecil, hal itu sudah dirintis oleh sebagian umat, karena memang enggak bisa diharapkan dilakukan oleh semuanya.
Bima besok harus bangun pagi-pagi karena agendanya padat. Suratnya sampai di sini dulu ya, bu. Kalau ada waktu lagi, pasti Bima nulis lagi dengan cerita yang lain lagi. Sampaikan salam Bima buat Peing dan mama-papanya, Arik, Danang, Didit, Vivin dan mama-papanya, kawan-kawan Bima, keluarga Pandanlaras, keluarga Narotama, keluarga di Lahor, keluarga di Sawojajar, dan semua keluarga yang meneladani hidup keluarga Nazareth...
ADVERTISEMENT
Tabik dari anakmu,
Tole