Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pencarian Sunyi Utomo Rahardjo
15 Maret 2017 21:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
Tulisan dari Winuranto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Petrus Bima Anugerah dan kawan-kawan masih hilang dan belum kembali. Utomo Rahardjo menanti janji presiden Joko Widodo.
Pohon Natal berukuran kecil itu terpacak di sudut ruang tamu rumah Dionysius Utomo Rahardjo (71), di Jalan Tumenggung Suryo Gang II, Malang, Jawa Timur. Lampunya berkelap-kelip memancarkan aneka warna. Di atas meja, deretan toples berisi rupa-rupa jajanan terlihat tertata rapi.
ADVERTISEMENT
Tatkala Natal datang, bersama istrinya Genoveva Misiati (74), Utomo memang selalu memasang pohon itu di sudut ruang tamu.
Hingga rembulan datang di awal tahun 2017, pohon tersebut masih berada di sana. Tetap menyala berpendar-pendar, seperti memancarkan harapan baru yang kelak akan datang di rumah itu.
Natal tahun lalu merupakan Natal ke-18 yang dilewatkan Utomo dan Misiati tanpa kehadiran putra keduanya, Petrus Bima Anugerah. Bima yang akrab dipanggil Bimpet itu masih hilang, tak kunjung pulang. Bersama 12 aktivis penentang Orde Baru lainnya Bima dinyatakan sebagai korban penghilangan paksa.
Menjelang keruntuhan rezim Soeharto pada 1998, kaki tangan kekuasaan tanpa ampun telah menculik Bima dan kawan-kawan. “Dari tahun ke tahun kami menunggu Bima bisa kembali pulang Natalan bersama keluarga,” tutur Utomo Rahardjo saat dikunjungi di rumahnya, 25 Desember lalu.
ADVERTISEMENT
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Utomo merayakan Natal secara sederhana bersama keluarganya. Putri sulungnya, Anastasya Enggar Palupi dan si bungsu, Stefanus Arie Priambodo menyiapkan segala keperluan Natal di rumah orangtuanya yang terletak tak jauh dari SMP Negeri 5 Malang.
Anak ketiga Utomo, Aloysius Danang Jaya yang berdomisili di Yogyakarta, tak mampir pulang ke Malang. Yang membuat ramai rumah bercat hijau muda itu adalah keceriaan lima bocah cucu-cucu Utomo Rahardjo.
Diselimuti kabut gulita yang masih membekap anaknya, Utomo tetap merapal doa dan mengucap syukur atas damai Natal yang kembali hadir di rumahnya.
Memasuki tahun ke-19 menanti kepulangan Bima, tak membuat Utomo dan Misiati hilang harapan. Semangat Utomo, pensiunan pegawai Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Malang itu kembali terpantik setelah bersama Fitri Nganti Wani, putri penyair Wiji Thukul, bertemu Joko Widodo alias Jokowi menjelang pemilihan presiden 2014 silam.
ADVERTISEMENT
Kala itu Jokowi—yang kini menjadi presiden Indonesia ketujuh—menjanjikan akan mencari keberadaan para korban penculikan, termasuk bakal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Kami masih menunggu realisasi janji presiden Jokowi,” tutur Utomo.
Mobilitas ibunda Bima tidak lagi sekencang beberapa tahun lalu. Misiati yang didera penyakit jantung sudah tak mampu lagi menghadiri berbagai aksi pencarian korban penghilangan paksa yang lebih kerap digelar di Jakarta.
Saban bulan pensiunan guru itu tak boleh absen kontrol ke dokter setelah sempat dilarikan ke Rumah Sakit Tentara dr. Soepraoen dan Rumah Sakit Panti Nirmala Malang lantaran empat kali terkena serangan jantung. Tatkala masih bugar, Misiati tak ragu bergabung dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara.
ADVERTISEMENT
Sesekali Utomo masih diundang menghadiri acara yang terkait dengan isu pelanggaran HAM. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) merupakan dua lembaga yang paling sering mengundang Utomo serta keluarga korban lainnya.
Pada 16 Maret tahun lalu, bersama sejumlah mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD), Utomo terbang ke Timor Leste untuk menghadiri undangan Comando Da Brigada Negra. Petrus Bima Anugerah, Wiji Thukul, Budiman Sujatmiko, Danial Indrakusuma, Dita Indah Sari, Petrus Hari Hariyanto, Wilson serta sejumlah aktivis lainnya diganjar penghargaan oleh organisasi perlawanan itu karena dianggap turut membantu rakyat Timor Leste dalam perjuangan kemerdekaan.
Mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao menyambut hangat kedatangan rombongan Utomo Rahardjo. Dia tak pernah menyangka perjuangan Bima dan kawan-kawannya diapresiasi di negara lain. “Biar tak rusak, selembar sertifikat untuk Bima dari Timor Leste saya laminating,” ujar Utomo.
ADVERTISEMENT
Menurut Utomo, sudah tak berbilang ia mondar-mandir Malang-Jakarta atau kota-kota lain untuk menelisik keberadaan Bima. Ia menyebut lebih dari 100 kali. Tatkala kasus penghilangan paksa meruap pertama kali pada 1998, bersama Mugiyanto, korban penculikan yang akhirnya dibebaskan, dan Bambang Widjojanto, Utomo pernah melapor ke kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.
Berbagai instansi di dalam negeri juga pernah ia sambangi. Mulai Komnas HAM, DPR RI, Puspom ABRI, markas Kopassus, Kementerian Hukum dan HAM, dan lain sebagainya. Namun, “Belum membuahkan hasil,” ucap Misiati dengan nada lirih.
Pencarian nihil di jalur formal, tak membuat Utomo Rahardjo berhenti mencari jawaban atas teka-teki keberadaan anaknya. Orang-orang yang dianggap memiliki ketajaman mata batin, silih berganti didatangi. Pencarian semacam ini kadang terasa sunyi bagi Utomo karena jarang ia ceritakan kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Pencarian yang juga terasa pedih mengiris. Dalam ikhtiarnya itu pernah Utomo menjadi korban aksi penipuan. Pada tahun 2000, Utomo bertemu orang yang mengaku bisa menjemput Bima Petrus Anugerah. Bermulut manis, orang tersebut menyebut Bima berada di kawasan Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat. "Penjemputan" Bima ini tentu saja tak gratis. Utomo diminta mentransfer sejumlah uang. Jika ditotal sedikitnya Rp 5 juta mengalir ke kantong penipu.
Agar terlihat kian meyakinkan, orang tersebut juga meminta Utomo dan Misiati menyiapkan sejumlah pakaian untuk anaknya. Kemeja, celana panjang, kaus dalam, serta celana dalam yang dibungkus kertas koran dibawa oleh sang durjana.
Pada hari dan jam yang ditentukan, Utomo diminta untuk menjemput di Bandara Juanda, Sidoarjo. Hasilnya sungguh miris. Berjam-jam menanti, Utomo sama sekali tak menemukan Bima. “Saat itu dia berpesan, ketika datang nanti Bima akan diapit oleh dua orang berjaket kulit,” kisah Utomo.
ADVERTISEMENT
Dalam kurun waktu hampir 15 tahun, Utomo secara silih berganti juga telah mengunjungi para “orang pintar” untuk mencari petunjuk keberadaan anaknya. Berbagai kota dia telusuri: Tanjung Priok, Jakarta; Purworejo; Kutoarjo; Wlingi, Blitar; Singosari, Malang; Selokerto, Malang; hingga Rawa Pening, Ambarawa.
Antara satu paranormal dengan paranormal lainnya biasanya mempunyai metode pencarian yang berbeda-beda. Ada yang mensyaratkan menggelar acara kenduri sambil membawa ingkung atau ayam utuh dan segala macam tetek bengeknya. Juga ada yang meminta minyak wangi tertentu dan lain sebagainya.
Pernah suatu ketika Utomo diminta untuk membeli minyak yang ternyata harganya mencapai Rp 1,2 juta. Namun lantaran tak punya cukup uang ia akhirnya memilih membeli minyak yang dibanderol Rp 150 ribu. Konon minyak wangi itu menjadi bagian dari sarana pencarian.
ADVERTISEMENT
Dalam masa pencariannya, Utomo sadar harus merogoh kocek dalam-dalam. Tak pelak pada 1999, ia terpaksa melego sebidang tanah seluas 10 x 15 meter miliknya dengan harga Rp 17 juta. "Untuk menutup biaya ke sana kemari," ungkap Utomo.
Menurut Utomo, semua “orang pintar” yang ditemuinya memberikan jawaban sama: Bima masih ada. Hanya petunjuk keberadaannya saja yang berbeda-beda. Ada yang menyebutkan Bima berada di sebuah desa di Lampung, sudah menikah dan memiliki anak; ada pula si mbah yang mengatakan Bima menjadi pengerajin tempurung kelapa. Sementara yang lainnya menyebut Bima berprofesi sebagai pedagang hasil bumi. Seingat Utomo, ada pula yang membisikkan Bima menjadi mualaf, telah berkeluarga dan berganti nama.
Ada, tapi berbeda-beda. Itu yang membuat Utomo bertanya-tanya. Jika memang masih ada kenapa Bima tak kunjung pulang menemui ayah-bundanya?
ADVERTISEMENT
Sebagai orangtua, ungkap Utomo, wajar jika ia ingin mencari jawaban pasti apakah benar sang anak masih ada. “Kalau masih ada di mana keberadaannya, jika sudah tidak ada di mana pula kuburnya,” kata Utomo lagi.
Pada usianya yang semakin bertambah senja, Utomo dan Misiati masih berharap bisa menyaksikan penyelesaian kasus penghilangan paksa yang dijanjikan presiden Joko Widodo. Mereka benar-benar menanti akhir penuntasan peristiwa nestapa yang telah merenggut kasih sayang para anak kepada orangtuanya.
Utomo Rahardjo dan Misiati tahu dari media, penyair Wiji Thukul yang juga hilang diculik telah didokumentasikan kisahnya ke dalam sebuah film berjudul Istirahatlah Kata-Kata. Mereka berharap peluncuran film tersebut mampu melecut semangat kawan-kawan Bima untuk mencari mereka yang masih hilang dan belum kembali. (*)
ADVERTISEMENT