Konten dari Pengguna

Pola Media Barat Membentuk Propaganda dalam Perang Rusia dan Ukraina

Wira Puspita S
Fresh Graduate Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang yang tertarik pada isu politik, sosial, dan keamanan baik secara domestik maupun internasional.
2 Januari 2023 19:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wira Puspita S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Ukraina, Presiden Amerika Serikat, Presiden Rusia. Kredit foto: Wira Puspita S.
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Ukraina, Presiden Amerika Serikat, Presiden Rusia. Kredit foto: Wira Puspita S.
ADVERTISEMENT
Pada Februari 2022, Rusia melakukan penyerangan terhadap sejumlah kota besar di Ukraina sekaligus mendeklarasikan operasi militer khusus di Ukraina yang disebabkan oleh merasa terancamnya Rusia akibat ekspansi NATO di Eropa. Serangan tersebut kemudian menjadi topik yang paling banyak diperbincangkan di dunia terutama di media massa online mengingat dampak akan perang keduanya dapat dirasakan oleh negara-negara lainnya. Sejatinya, konflik antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung lama melibatkan Uni Eropa dan meningkat ketika Rusia melakukan aneksasi terhadap semenanjung Krimea pada tahun 2014. Ramainya perbincangan mengenai perang Rusia-Ukraina banyak menuai pro dan kontra terhadap tindakan Rusia serta dinilai sebagai tanda dominasi barat mulai pudar dimana keduanya merupakan kekuatan besar di dunia.
ADVERTISEMENT
Pesatnya perkembangan arus teknologi dan informasi seringkali menyebabkan terjadinya disinformasi dengan luasnya jangkauan media massa dan media sosial juga menjadi peluang besar bagi propagandis untuk memutar suatu fakta tertentu dan berakhir menjadi propaganda. Sejak dulu, Propaganda masih menjadi instrumen paling efektif untuk memunculkan suatu persepsi tertentu dalam masyarakat. Contohnya adalah julukan “teroris” yang gencar dilakukan di media massa Barat pasca peristiwa 9/11 menyebabkan munculnya stereotip teroris terhadap umat Islam. Selain itu, julukan tersebut kemudian menyebabkan kemunculan Islamophobia di Barat. Selain itu, terdapat konstruksi media barat terhadap Tiongkok yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat dengan menggunakan isu di Xinjiang, isu Laut Tiongkok Selatan, serta Hong Kong dan Taiwan. Oleh karena itu, hampir kebanyakan media internasional menggunakan subjek orang pertama yang dituliskan berdasarkan sudut pandang Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi dalam perang Rusia dan Ukraina beserta NATO juga tidak lepas dari pengaruh media. Ketika kata kunci “Propaganda dalam Perang Rusia-Ukraina” dicari di internet maka ditemui mayoritas media massa barat menyudutkan bahwa Rusia sukses melakukan propaganda di media untuk memperoleh dukungan. Media juga banyak melakukan tekanan terhadap tindakan Rusia di Ukraina dengan sebutan kriminal terhadap Presiden Rusia, Vladimir Putin, karena telah melakukan pelanggaran HAM berat. Selain itu, banyaknya berita palsu yang tersebar di media sosial mengenai korban perang di Ukraina menyebabkan berkurangnya simpati masyarakat internasional terhadap kondisi masyarakat sipil di Ukraina.
Pemberitaan media barat lebih gencar membahas mengenai perang Rusia-Ukraina daripada konflik kekejaman Israel ke Palestina. Kemudian, terdapat beberapa peristiwa yang menyebabkan persepsi-persepsi tertentu yang tidak pasti, misalnya Kebocoran pipa gas Nord Stream jalur 1 dan 2 pada September 2022 dibawah laut Baltik berisi gas alam dari Rusia ke Jerman hingga kini masih belum diketahui penyebab meledaknya pipa gas tersebut. Sebelumnya Rusia sendiri telah memangkas pasokan gas ke Rusia sebagai sanksi balasan terhadap Barat. Kedubes Rusia di Denmark kemudian menyatakan bahwa kebocoran tersebut merupakan tindak sabotase terhadap keamanan energi Rusia dan Eropa. Selain itu, pada oktober 2022, peristiwa ledakan di Jembatan Kerch, Krimea menjelaskan tidak ada informasi yang kredibel mengenai penyebab ledakan tersebut. Rusia sendiri menuduh Ukraina yang melakukan sabotase dalam serangan tersebut, sedangkan Ukraina menyebutkan bahwa ledakan tersebut berasal dari Rusia.
ADVERTISEMENT
Di media sosial sendiri, terdapat beberapa postingan video palsu yang menjadi viral menunjukkan ambiguitasnya, seperti cuplikan video yang menunjukkan kekejaman Rusia melalui penembakan tentara Ukraina di Pulau Zmiinyi oleh tentara Rusia yang dibenarkan oleh Presiden Ukraina dan dukungan media massa seperti Kyiv Independent dan The Washington Post yang kemudian dibantah oleh pemerintahan Rusia karena tentara tersebut merupakan tahanan perang.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pola media barat dalam mengemas suatu informasi seringkali dipengaruhi oleh kondisi politik menyebabkan berita yang dihasilkan cenderung bias dan bukan suatu rahasia umum lagi ketika suatu perang terjadi maka perang informasi juga akan mengikutinya. Pola tersebut menyebabkan munculnya persepsi masyarakat internasional bahwa produk berita yang memberi informasi mengenai suatu perang seperti dalam perang Rusia dan Ukraina mulai banyak dilabeli sebagai propaganda. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa perang menyebabkan kerugian yang besar dimana masyarakat sipil selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dalam dinamika politik kedua negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh:
Wira Puspita Sari Mahasiswa Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang