Bukit Paniisan dan Seni Mengelola Ekspektasi

Wisnu Prasetiyo
Wartawan kumparan
Konten dari Pengguna
5 Februari 2023 18:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wisnu Prasetiyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
kumpala trekking ke Bukit Paniisan. Foto: lupa dari siapa, minta izin ygs buat tim kumpala yang punya foto ini
zoom-in-whitePerbesar
kumpala trekking ke Bukit Paniisan. Foto: lupa dari siapa, minta izin ygs buat tim kumpala yang punya foto ini
ADVERTISEMENT
"Harusnya libur-libur jam segini main FIFA aja di rumah," cetus pikiran berkecamuk saat setengah perjalanan ke Paniisan, Sentul.
ADVERTISEMENT
Pikiran itu beberapa kali muncul saat pengalaman tracking perdana ke Bukit Paniisan, Sentul, Bogor, Sabtu (4/2) kemarin.
Bagaimana tidak? Sabtu biasanya dipakai untuk leyeh-leyeh, bermain bersama keponakan, dan aktivitas nonfisik lainnya tiba tiba diganti tracking. Tracking ya, bukan camping.
Sebelum berangkat cukup lama galaunya. Beneran bisa atau malah nanti sakit jantung dan lain-lain. Haha... Cari-cari informasi di YouTube, yang pertama kali keluar adalah video "Tracking ke Paniisan, Tanjakannya Pedes".
Ekspektasi mengatakan, kayaknya enggak usah ikut. Enggak bakal sampe. Badan masih berat, olahraga juga baru mulai. Tapi bos saya di sebelah terus memberikan kata-kata mutiaranya.
"Lu udah kurus tapi lembek. Jadi petugas haji itu berat, lu nggak akan kuat kalau lembek," katanya.
ADVERTISEMENT
Tentu kuotation ini enggak plek-plek amat. Enggak ada bukti rekaman juga. Haha... Tapi insyaallah enggak ngarang.
Jadilah singkat cerita saya ikut. Dengan asumsi dan ekspektasi yang mulai menyesuai. Anggap saja tes fisik dan cari pengalaman, toh member kumpala asyik-asyik.

Awal Perjalanan

Dengan menggeber motor Nmax putih (padahal cuma 50 kilometer per jam), saya berangkat lepas salat subuh di Masjid Gang Kana. Sampai di kantor sekitar 05.30 WIB, sudah ada beberapa orang di sana. Salah satunya Marthin sang keyboardis kumparanBand.
Segelas tes kuminum tak sampai sepertiganya setelah sampai. Buat ngangetin badan aja. Tak lama tronton berangkat. Berkat Ahmad Fawwaz dan Darisman Ajo yang disiplin, perjalanan dimulai on time.
Sampailah di Sentul Nirwana sebagai titik kumpul pertama, menanti member kumpala lain yang rumahnya di Bogor dan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Ada Cia dengan anaknya yang lucu sambil menenteng banyak tahu Sumedang produk enak dari toko sang suami. Sangat membantu mengganjal perut yang baru diisi setengah potong roti. Terima kasih Cia.
Tak lama berhenti di sana, kami langsung tancap gas ke Leuwi Pengaduan, titik awal dari tempat dituju Bukit Paniisan.
Salah kostum. Itulah yang saya pikirkan di awal, pakai kemeja berlapis hoodie plus celana jeans tentu ide buruk. Baru 10 menit melangkah, badan gerahnya minta ampun. Kirain karena di gunung bisa tetep dingin meski capek. Haha... Lalu, dicopotlah semua itu, tersisa kaus kumpala yang bagus di badan.
trekking kumpala Foto: Dok. Istimewa
Di perjalanan Fawwaz dan Ustaz Angga adalah kawan yang teramat baik. Membimbing, memotivasi, memberikan siraman rohani, karena melihat saya kepayahan di satu jam awal.
ADVERTISEMENT
Terlebih sepatu Paladium yang dibeli di GI itu ternyata rapuh. Copotlah alasnya, sehingga saya meneruskan track dengan nyeker atau sesekali bersandal.
Tanjakannya keji buat saya. Tak pernah terpikir sebelumnya bakal melintas atau mengenyam pengalaman ini. 2013 pernah ke Sikunir, Dieng, tapi treknya sangat sederhana.
Bahkan ada seorang bapak bapak tua ketika kami berhenti di sebuah spot kincir angin berkata:
"Mending turun aja, Mas. Masih jauh, kasihan, nggak bakal nyampe," tuturnya yang tentu saja logis. Ia melihat kaki yang sudah baret dan wajah usang karena kelelahan.

Mengelola Ekspektasi

Tapi di situlah seni mengelola ekspektasi bermain. Ekspektasinya bukan ingin ngebut dan menyusul rombongan besar. Ekspektasinya agar menuntaskan perjalanan yang sudah dimulai. Masa mau mundur lagi? Sama juga, rute dan waktu tempuhnya.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi yang sederhana. Bukan untuk membuktikan tapi menjalankan kemestian, seperti hari-hari biasa saja. Anggap saja misalnya seperti rutinitas lainnya. Salat lima waktu misalnya, tetap dilakukan meski awalnya berat sehingga menjadi kebutuhan.
Atau yang lebih sederhana misalnya, tidak grasak-grusuk dalam melakukan sesuatu. Ekspektasinya dikelola, melakukan sesuatu sebagaimana mestinya saja, toh nanti ujungnya pasti kelihatan.
Itulah yang kemudian membuat saya terus melakukan perjalanan sampai akhirnya sampai di puncak Bukit Paniisan 846 MDPL. Tepat pukul 11.30 WIB kami sampai di sana.
trekking kumpala Foto: Dok. Istimewa
Senang? Tentu. Tapi lebih dari itu saya merasa bisa menaklukkan ekspektasi dengan baik.
Di Paniisan kami makan Indomie, ada yang makan nasi jengkol dan teri, cokelat penambah tenaga, dan lain-lain. Member kumpala saling bercengkerama satu sama lainnya.
ADVERTISEMENT
Di sesi foto, ada yang menarik. Ada bapak-bapak "pengendara" drone yang beberapa kali ingin mengambil gambar kumpala juga. Dari yang tadinya semangat, sampai akhirnya malas karena kelamaan. Haha...

Turunannya Itu, Lho!

Soal turunan ini saya tak punya pengetahuan apa-apa sebelumnya. Tapi Bos Tama terlihat sangat asyik menggambarkan betapa kejamnya trek turun kami.
"Nanti rasain aja. Muti tadi pas naik sampai muntah," katanya yang memang ahli mendaki itu sambil tertawa kecil.
Jadi, waktu turun kami lewat Curug Cibingbin. Jaraknya sih cuma 1,5 kilometer. Tapi ia turun terus tanpa bonus.
Di 15 menit awal, semua masih normal-normal saja. Setapak demi setapak hutan itu bisa dilalui. Namun tibalah momen trek yang bagi saya sangat mencekam. Kanan kiri jurang, jalan sempit dan tanahnya licin. Sepatu saya yang diikat karena ambrol pun terasa berat untuk dilangkahkan.
ADVERTISEMENT
Bos Tama melihat ekspresi saya sepertinya khawatir. Wajar saja, memang tak bisa ditutupi. Capeknya minta ampun. Badan semua sakit.
Saya, Zahid, Aji, dan guide Kang Ijal tertinggal jauh dari rombongan. Aji dan Zahid ini sama-sama baik. Beberapa kali waktu saya jatuh langsung sigap mengulurkan tangannya. Zahid si cool dan Aji yang cukup banyak ketawa.
trekking kumpala Foto: Dok. Istimewa
Sementara A Ijal menjaga di depan untuk membantu mengarahkan langkah. Setidaknya lima kali saya berhenti untuk menghela napas, meminta waktu beristirahat.
"Berapa lama lagi, A? Ini treknya begini semua?" tanya saya ke A Ijal.
Sebagai guide profesional, beliau tidak menakuti. Justru memaintain ekspektasi saya.
"Dikit lagi ini. Kalau jalan terus paling 30 menit," tuturnya.
Jalan terus lagi. Masih berhenti setidaknya 2 kali. Tapi tidak sambil bertanya yang tak ada gunanya.
ADVERTISEMENT
"Dua menit yak. Nanti jalan lagi," kata saya ke tiga orang tadi.
Singkatnya, akhirnya sampai ke Cibingbin.
"Alhamdulillah," cuma itu yang saya bisa ucap usai sampai.
Setelah itu kami banyak kegiatan. Member kumpala yang masih kuat main-main ke curug atas. Sementara yang mau selonjoran atau cukup di bawah saja juga ada.
Saya? Tentu selonjoran saja, sambil menyeruput teh manis yang seharusnya panas.
Beres. Kami pun pulang menuju parkiran tronton. Sepatu yang jebol itu saya tinggal di dekat balai-balai.
Dari Cibingbin ke parkiran tronton jalurnya jalur surga. Ada turun-naik tapi jalannya lebar dan hanya sedikit bebatuan.
Saya bersama Maya, disusul Ema, menjadi rombongan terdepan. Rasanya ada semangat untuk segera pulang dan merangkai lagi ekspektasi-ekspektasi di depan.
ADVERTISEMENT
Dan betul saja, perjalanan ke parkiran tanpa terasa dilalui sekitar 40 menit. Kami rombongan pertama yang sampai.
Kapok? Sangat jujur, tidak.
Introspeksi? Iya.
Terima kasih kumpala atas kesempatannya.