Metamorfosa Monarki Dunia

23 Mei 2017 14:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Raja Swedia Carl XVI Gustaf (Foto: REUTERS/Darren Whiteside)
Indonesia kedatangan tamu seorang raja yang menunjukkan perilaku tak biasa. Raja Swedia, Carl XVI Gustav, datang ke Indonesia berdua bersama permaisurinya dengan menggunakan pesawat komersial Qatar Airways tanpa pengawalan, tanpa fasilitas mewah laksana raja dan ratu umumnya.
ADVERTISEMENT
Narasi kerajaan bagi Indonesia memang begitu kuat. Sebab sebelum jadi negara kesatuan, gugusan kepulauan nusantara terdiri dari beragam kerajaan.
Meski saat ini hanya segelintir kerajaan tersisa, bayangan tentang hidup di bawah monarki masih terasa.
Monarki yang tak digunakan Indonesia, masih menjadi sistem di sejumlah negara bangsa modern lain. Meski begitu, tentu lebih banyak negara di dunia yang memilih sistem republik presidensial dan parlementer.
Apapun, kerajaan yang merupakan sistem politik tertua di dunia, masih tetap bertahan hingga sekarang.
Tentara Kerajaan Inggris (Foto: Pixabay)
Dahulu, sejarah Eropa diisi oleh pemerintahan monarki absolut di mana raja menjadi tuhan di wilayah kependudukannya.
Bermula dari Kerajaan Romawi di wilayah yang sekarang menjadi negara Italia, lalu Holy Roman Empire di ujung timur, kemudian petak-petak perjanjian Westphalia tahun 1648 membentuk batas-batas negara Eropa saat ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya untuk beberapa waktu, Eropa digelayuti huru-hara seperti Perang Napoleon dan Revolusi Prancis. Kerajaan Prancis harus roboh lewat revolusi pada 1789. Batas-batas negara itu kemudian dipertegas kembali dengan Konvensi Vienna tahun 1815.
Dua cerita Perang Dunia memberi dampak pada kehidupan monarki Eropa. Nasib kerajaan Eropa rontok satu per satu. Kesultanan Ottoman roboh setelah revolusi oleh Mustafa Kemal Pasha pada 1922. Dari kawasan para raja, bangsa-bangsa di dunia berubah menjadi nation-state.
Setidaknya terdapat 25 kerajaan yang masih eksis hingga sekarang di seluruh dunia. Sejumlah 10 kerajaan masih berdiri di Eropa, yakni Denmark, Inggris, Belgia, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swedia, Liechtenstein, Monako, dan Luxembourg. Sementara 21 keluarga monarki masih eksis hanya untuk menjaga romantisme kejayaan masa lalu tanpa memiliki kedaulatan terhadap wilayah.
ADVERTISEMENT
Keluarga kerajaan mengantarkan kaisar. (Foto: Reuters/Issei Kato)
Perubahan keadaan ikut mengubah wajah monarki di era modern. Monarki bukan lagi terdiri dari raja yang dituankan oleh rakyat karena kekuasaannya atas para ksatria dan pasukan yang siap menggebuk rakyat yang patuh. Kesadaran poitik mendorong pemahaman baru bahwa mengkultuskan satu orang yang berkuasa adalah pola pikir usang.
Namun, antara monarki satu dan lainnya memiliki konteks modernisasi yang berbeda. Sebagai contoh, Kerajaan Belanda sejak lama mengubah sikap perilaku keluarga kerajaan untuk terus bersama rakyatnya. Sejak era Ratu Juliana, keluarga kerajaan terus melakukan kegiatan sosial.
Sementara Kerajaan Swedia tak seperti umumnya monarki. Ketika pewaris takhta biasa diambil dari pangeran atau anak laki-laki pertama, Kerajaan Swedia memilih suksesor berdasarkan kesiapan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang paling kentara dari modernisasi adalah peran politik. Diskusi kepentingan publik tak lagi berpusat di altar kerajaan, dilengkap sembah sujud kepada sang raja. Publik berbicara soal kepentingan mereka di ruang-ruang politis.
Peran politik kerajaan kini jauh berkurang. Monarki dengan otoritas kuat yang tersisa tinggal Inggris dan Belanda. Di Belanda, ratu memimpin Council of State yang mampu mengkritisi undang-undang pemerintah sebelum dibicarakan ke parlemen. Ratu mengadakan rapat mingguan dengan parlemen.
Ratu Belanda adalah monarki paling kuat saat ini di Eropa.
Meski tak memiliki peran politik, monarki konstitusional tetap menempatkan raja sebagai tokoh penting dalam perpolitikan nasional. Raja atau Ratu digunakan sebagai simbol persatuan dan kebanggaan bangsa tersebut.
Ratu Wilhelmina dari Belanda misalnya mampu mengobarkan semangat perlawanan terhadap Nazi selama Perang Dunia Kedua walau ia tak berada di medan tempur. Ratu Inggris mampu menetralisir sengketa politik di Australia tahun 1975. Dan Raja Spanyol Juan Carlos sukses meruntuhkan kampanye fasisme setelah kematian Franco.
ADVERTISEMENT
Reporter: Ardhana Pragota
Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima di Belanda. (Foto: Wikimedia Commons)