Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Suara Perempuan dalam Pilkada
13 Oktober 2020 19:44 WIB
Tulisan dari Esmasari Widyaningtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di tengah pandemi ibarat buah simalakama. Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati. Di satu sisi, masyarakat diminta melaksanakan aturan protokol kesehatan ketat untuk mencegah penularan virus COVID-19 (Corona Virus Disease-19). Namun di sisi lain, penyelenggaraan Pilkada juga mendesak dilaksanakan demi kelancaran roda pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Suara keberatan dan desakan menunda Pilkada muncul di mana-mana, dari berbagai kalangan. Tak terkecuali kalangan perempuan.
Bagaimana tidak, pandemi sudah cukup membuat perempuan, terutama para ibu, kerepotan dengan berbagai masalah domestik. Mulai dari mendampingi anak belajar dari rumah, mengatur ulang anggaran keuangan keluarga yang kacau balau karena imbas krisis ekonomi. Kini, mereka masih harus dibuat pusing dengan kewajiban memilih kepala daerah.
Bisa dimaklumi, karena pesta demokrasi memang selalu identik dengan kerumunan massa yang dinilai berpotensi membuat penyebaran virus makin luas. Tak ayal hal ini membuat perempuan, khususnya para ibu, khawatir dengan keselamatan diri dan anggota keluarganya.
“Pilkada saat pandemi ini kok rasanya merepotkan. Lha masa di masa pandemi begini mau ngumpul dengan banyak orang, melakukan coblosan. Itu kan horror. Apa ada jaminan kalau nanti protokol kesehatan berjalan sebagaimana mestinya, nggak kan?” ujar Ranni (35), ibu dua anak, warga Gentan Sukoharjo dalam perbincangan bersama penulis, Rabu (07/10/2020).
ADVERTISEMENT
Ranni mengaku sangat khawatir dengan keputusan pemerintah yang menurut dia nekat menggelar Pilkada di tengah pandemi. Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan keselamatan masyarakat ketimbang pesta demokrasi.
Hal senada juga disampaikan oleh Cindy (29), warga Mendak, Kecamatan Delanggu, Klaten. Ibu dengan empat orang anak ini menilai pelaksanaan Pilkada di masa pandemi tidak efektif.
“Katanya sih Pilkada bakal tetap memerhatikan protokol kesehatan, tapi nyatanya itu nggak terjadi di desa saya. Realisasinya tetap saja banyak yang tidak menggunakan masker, tidak jaga jarak. Bikin waswas,” jelas dia, Rabu (07/10/2020).
Karena itu, baik Ranni maupun Cindy mengaku tidak akan ragu untuk melepaskan hak pilihnya dalam Pilkada kali ini. Lagipula, keduanya mengatakan hingga saat ini tak pernah menerima sosialisasi baik dari KPU maupun pasangan calon bupati/ wakil bupati soal Pilkada.
ADVERTISEMENT
“Jangankan memutuskan pasangan yang mau dipilih, wong kapan pelaksanaan Pilkada saja saya nggak tahu,” sebut Ranni.
Minim sosialisasi
Larangan pertemuan akbar selama kampanye dan penerapan protokol kesehatan yang ketat oleh petugas pelaksana Pilkada membuat sosialisasi tak maksimal. Jangankan sosialisasi tentang program dan visi misi pasangan calon (Paslon), sosialisasi tentang tahapan dan aturan Pilkada saja sulit diakses oleh masyarakat, terutama kalangan perempuan yang lebih banyak beraktivitas di rumah.
“Sejauh ini saya sama sekali belum mendapat informasi tentang Paslon. Jadi saya masih belum tahu mau memilih yang mana. Informasi yang saya dapat di internet juga nggak terlalu banyak,” kata Ranni.
Senada, Cindy mengatakan pandemi membuatnya kesulitan mengakses informasi seputar Pilkada dan program yang diusung Paslon. Dikatakan dia, di desanya banyak orang yang belum terbiasa mencari informasi melalui internet. Apalagi mencari informasi tentang politik.
ADVERTISEMENT
“Seharusnya calon yang maju di Pilkada juga kreatif mencari cara baru untuk kampanye. Jadi kami yang tinggal di desa bisa mudah mengakses informasi tentang mereka.”
Tak hanya karena kesulitan mengakses informasi seputar Pilkada, keengganan menyoblos saat Pilkada juga dilatar belakangi oleh sikap apatis kepada calon pemimpin.
Seperti yang dirasakan oleh Ety Handayaningsih, 41, pengusaha pizza rumahan yang juga ibu dua anak ini mengatakan ia sudah tak percaya dengan para politisi. “Sepertinya mau memilih atau tidak, nggak akan ada bedanya. Toh saat sudah jadi nanti mereka nggak akan mendengarkan suara kita. Malah lebih mementingkan suara partainya kan?”
Karena itu, lanjut Ety dalam perbincangan bersama penulis, Rabu (07/10/2020), proses sistem seleksi Paslon peserta Pilkada seharusnya juga dirombak. Jangan melulu berdasarkan rekomendasi partai. Padahal proses regenerasi kader di dalam partai politik sendiri mandek. Banyak orang partai yang masuk ke lingkaran kekuasaan karena koneksi bukan berdasar kemampuan dan visi kenegaraan yang mumpuni.
Suara perempuan dalam Pilkada
Meski banyak yang apatis dengan pelaksanaan Pilkada. Toh ada saja perempuan yang masih bersemangat dalam gelaran pesta demokrasi kali ini.
ADVERTISEMENT
“Saya pribadi punya prinsip – ask not what your country can do for you, but ask what you can do for your country. Jadi, kalau keadaan tidak berubah banyak setelah ganti pemimpin, kita juga harus mengevaluasi diri sendiri. Kesalahan itu murni dari pemerintah atau karena kita, sebagai masyarakat memang nggak mau berubah?” tutur Bella Zadithya (27) seorang pengusaha perempuan yang juga aktif sebagai relawan Koncone Gibran Ladies, Rabu (07/10/2020).
Dikatakan Bella, ketidakpuasan atas kinerja pemerintah seharusnya disalurkan melalui kanal yang benar. Kritik dan saran untuk pemerintah hanya akan didengar bila masyarakat aktif menyuarakan pendapat. Kalau masyarakat justru bersikap apatis terhadap proses demokrasi, situasi justru akan makin buruk. Rakyat malah akan kehilangan kesempatan buat mendorong partai politik dan pemerintah membuat sistem pemerintahan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan sikap apatis di kalangan pemilih perempuan?
Sikap apatis ini, dikatakan dia, adalah kenyataan yang ironis. Karena kemunculan feminis dan perjuangan hak serta kesetaraan perempuan di Eropa dulu sebenarnya dimulai dari kritik atas hilangnya hak pilih dan hak politik perempuan. “Nah, kalau sekarang kita punya hak pilih tapi malah nggak dimanfaatin kan sayang,” jelasnya.
Pilkada di tengah pandemi memang membutuhkan banyak penyesuaian. Namun menurut Bella, hal itu tidak akan berpengaruh pada antusiasnya untuk ikut menyoblos.
Apalagi, kini informasi tentang Paslon yang berlaga dalam Pilkada bisa ditemukan melalui internet. Demikian pula dengan informasi pelaksanaan Pilkada dari KPU. “Memang masih banyak calon yang belum memanfaatkan media daring secara optimal. Tapi kalau kita niat cari, ada banyak kok diskusi tentang Paslon di media sosial. Tinggal pandai-pandai memilah saja.”
ADVERTISEMENT
Yang jelas, Pilkada yang dilakukan dalam kondisi luar biasa seperti ini sepatutnya bisa jadi kesempatan semua pihak untuk lebih adaptatif dengan perubahan. Pelaksana Pilkada perlu lihai mengolah kreativitas dan memanfaatkan sarana dan prasarana untuk kelancaran Pilkada.
Lalu partai pengusung dan pasangan calon juga harus menyesuaikan diri dan mulai memanfaatkan digital media sebagai alat sosialisasi dan komunikasi dengan pemilih. Sedangkan bagi masyarakat, kesempatan ini bisa jadi kesempatan untuk lebih cerdas memilih pemimpin berdasarkan program kerja yang ditawarkan.
--Tulisan ini karya gabungan JW Solo bersama program Respect - PPMN--