Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Solusi atau Masalah Baru ?

WK Faizin Ahzani
Mahasiswa aktif UPN "Veteran" Jawa Timur S1 Hubungan Internasional (belum lulus) Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Himpunan Jurusan (2019) Pernah menjadi Asisten Peneliti dan Pemberdayaan Desa (2019) IG : wkfaizin
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2020 21:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari WK Faizin Ahzani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Benarkah memiliki segudang manfaat tanpa dampak yang signifikan terutama bagi lingkungan ?

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Permasalahan terkait sampah memang menjadi masalah yang cukup panjang dan tidak terselesaikan secara maksimal hingga saat ini. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat terhadap plastik menjadikan lingkaran sampah semakin tidak terselesaikan secara baik dan menyebabkan penumpukan sampah yang berlebih pada tempat pembuangan akhir serta tanpa disadari hal tersebut dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem. Dalam jurnal Plastic Waste, Plastic Pollution – A Threat to All Nations dijelaskan bahwa sampah plastik nyatanya tidak hanya mencemari daratan saja melainkan telah merambah wilayah lautan; sekitar lima triliun potongan plastik tersebar di lautan dan faktanya, Indonesia juga menjadi negara kedua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia setelah China. Kemudian dilansir dari bbc.com, pemerintah mengeluarkan solusi terhadap penumpukan sampah yang semakin menggunung melalui program PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) yang dipercepat oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 18 Tahun 2016 ke Mahkamah Agung. Namun program ini menuai polemik dari beberapa masyarakat dan pegiat lingkungan, bukan tanpa sebab melainkan program tersebut memerlukan aktivitas pembakaran sampah sedikitnya 1.000 ton per hari dan dampak dari pembakaran tersebut juga menghasilkan zat seperti dioksin dan furan yang tentu memiliki dampak buruk bagi tubuh.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo - Surabaya
Namun dalam hal ini kita sebagai masyarakat harus dapat melihat secara utuh bagaimana dampak yang dihasilkan dari pembakaran tersebut, baik dari segi positif atau negatif yang kemudian diakumulasikan mengenai dampak secara kolektifnya untuk melihat kecenderungan dari PLTSa yakni sebagai solusi atau masalah baru. Sampah merupakan masalah yang sering dihadapi oleh lingkungan perkotaan dan menjadi masalah global terkait pencemaran yang terjadi baik di darat atau lautan yang semakin mengkhawatirkan, terutama semakin banyaknya sampah akibat penggunaan kantong plastik untuk barang belanjaan yang semakin meningkat. Maka PLTSa dianggap menjadi solusi dikarenakan akan mengurangi sampah secara signifikan setiap harinya terutama sampah plastik, hal tersebut dikarenakan setidaknya PLTSa membutuhkan 1000 ton sampah sebagai bahan bakarnya. Contoh kasusnya adalah di Surabaya misalnya, dilansir dari mongabay.co.id tercatat bahwa setiap harinya terdapat kurang lebih sebanyak 1500 ton sampah di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Benowo. Sehingga dengan beroperasinya PLTSa ini kemungkinan setiap harinya TPA hanya akan menyisakan sampah sekitar 500 ton dan angka tersebut tentu berkurang setidaknya 2/3 dari total sampah yang menumpuk sebelumnya.
Penampakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dari samping. Diperkirakan mulai beroperasi pada akhir Desember 2020 atau Januari 2021.
Selain mengurangi volume sampah di TPA setiap harinya, manfaat lain yang didapatkan dari PLTSa adalah merupakan potensi baru untuk menjadi sumber listrik dengan konsep renewable energy sehingga menjadi sumber energi alternatif dan mengurangi penggunaan bahan bakar yang tak terbarukan seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi (Monice & Perinov, 2016). Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006–2025, PLTSa nantinya akan dijadikan sebagai salah satu sumber utama dalam beberapa tahun ke depan dengan persentase (17 %), batu bara (33 %), minyak bumi (20 %), dan gas bumi (30 %). Tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dianggap solutif dikarenakan solusi tersebut terkesan bersifat jangka pendek atau singkatnya “jalan pintas” dan meskipun PLTSa memiliki orientasi untuk dijadikan sebagai sumber pasokan listrik di Indonesia terdapat banyak hal yang perlu ditimbang untuk keberlanjutan operasionalnya. PLTSa memang dapat mengurangi volume sampah terutama sampah plastik yang dapat berpotensi besar dalam mencemari daratan dan lautan, tetapi siapa yang akan menjamin hasil pembakaran tersebut tidak akan menimbulkan potensi polusi baru yang dapat mencemari udara ?. Umumnya dari hasil pembakaran saja sudah dapat menghasilkan zat berbahaya seperti CO2 yang berbahaya bagi tubuh dan tentu hal tersebut dapat memengaruhi kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang juga.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui bahwa sampah plastik seperti kantong plastik dapat mengandung logam berat yang berbahaya bagi linngkungan dan juga tubuh manusia, pembakaran sampah yang kemudian menghasilkan residu akibat pembakaran yang tidak sempurna akan berpotensi mencemari tanah dan air lebih cepat karena tidak dapat lagi dengan mudah dikontrol. Terlebih lagi dari pembakaran tersebut dilansir dari mongabay.co.id setidaknya terdapat 10-25 persen residu atau abu sisa pembakaran yang dikategorikan sebagai limbah berbahaya atau B3. Bentuk yang lebih berbahaya dan dapat dengan mudah berterbangan bahkan secara tidak langsung dapat berpotensi menjadi siklus yang berbahaya jika sampai dikonsumsi oleh hewan yang menjadi konsumsi masyarakat. Menurut Tait, et al (2019), hasil pembakaran dapat dikategorikan sebagai POPs (Persistent Organic Pollutants) yang terdiri dari dioksin, furan, dan sampah yang mengandung logam berat sehingga dapat berpotensi menimbulkan kanker, gangguan reproduksi, dan penurunan kualitas hidup manusia. Residu tersebut juga dapat menjadi PM 2.5, yang dilansir dari tirto.id bahwa PM 2.5 polutan dengan partikel udara sangat kecil dan tidak dapat disaring dengan sempurna oleh tubuh manusia bahkan ketika sudah menggunakan masker sekalipun.
ADVERTISEMENT
Sehingga PLTSa hanya akan menambah polusi udara yang sejatinya telah buruk akibat kendaraan bermotor dan asap pabrik atau industri semakin menjadi lebih buruk hanya dikarenakan alasan renewable energy. Di sisi lain PLTSa menjadi dipertanyakan dari segi penunjangan kebutuhan listrik terutama di pulau Jawa, apakah benar-benar dibutuhkan ? dilansir dari cnbcindonesia.com PLN mengalami surplus listrik hingga 130 % dari kebutuhan dan mengingat dalam lima tahun terakhir pemerintah mencanangkan program 35.000 mega watt (MW) sehingga menyebabkan pasokan tersebut berlebih. PLTSa yang setiap harinya hanya menghasilkan kurang lebih 12 MW menjadi kurang relevan untuk diterapkan dengan alasan untuk membantu pasokan listrik masyarakat. Keterbatasan laboratorium untuk menguji batas aman dan emisi pembakaran sampah juga menyebabkan penerapan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) menjadi tidak jelas dalam penggunaan indikatornya untuk mengukur dampak yang dihasilkan dari adanya pembakaran sampah yag dilakukan oleh PLTSa. Solusi yang seharusnya diterapkan pemerintah adalah dengan pembatasan plastik berskala masif untuk memutus siklus ketergantungan masyarakat terhadap plastik dan juga pemerintah dirasa perlu untuk melakukan pemisahan sampah lebih kompleks (tidak hanya organik dan anorganik) beserta edukasinya bagi masyarakat dan pemberlakuan denda bagi masyarakat yang melebih batas wajar penggunaan sampah plastik harian.
ADVERTISEMENT

Referensi :

ADVERTISEMENT