KB (Bukan Ketawa Berencana)

Yahya Cholil Staquf
Katib 'Aam PBNU & Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Mantan Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Konten dari Pengguna
5 Februari 2017 18:08 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yahya Cholil Staquf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keluarga Berencana (Foto: (istimewa))
Pada zaman Orde Baru dulu, kalangan pesantren disambati oleh Pemerintah Soeharto untuk membantu kampanye KB. Pesantren mau, bahkan tampil sebagai salah satu ujung tombaknya. Tapi bukan berarti tanpa perdebatan internal.
ADVERTISEMENT
Kiai Misbah Mustofa, Bangilan, dalam kitab tafsir “AL IKLIL” karyanya, menganggap program KB –dengan penyebarluasan penggunaan alat-lat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan– sama saja dengan perogram “zero population”-nya Fir’aun yang diterapkan pada Bani Israel dulu. Maka Kiai Misbah mengharamkan KB. Di pihak lain, Kiai Bisri Mustofa, Rembang, kakak kandungnya, menulis sebuah risalah pendek berjudul “Risalah Keluarga Berencana” yang isinya memuji program ini sebagai tindakan bijaksana. Kiai Bisri menganalogikan orang bikin anak itu seperti mengundang hajatan. Berapa tamu yang hendak diundang harus diperhitungkan dengan kemampuan untuk menjamu dan menghormati mereka nantinya. Kalau mampunya menjamu orang cuma 20, ya, jangan ngundang 40. Kalau mampunya memelihara anak dengan layak cuma 2, ya, jangan bikin banyak-banyak.
ADVERTISEMENT
*   *   *
Seorang dokter Madura menegur pasien yang hendak melahirkan anak ke-8,
“Kok ta’ maso’ KabBih, sampiyan?!” (Kok tidak masuk KB, Sampeyan?)
“Neka pon maso’ kabbih, Pak Dokter! ‘Mon ta’ maso’ kabbih, ta’ nyaaman, ta’iye!” (Ini sudah masuk semua, Pak Dokter! Kalau tak masuk semua, tak sedap la yauw!)
*   *   *
Seorang sepupu perempuan menikah dengan Ketua MWC (pengurus tingkat kecamatan) NU Rembang. Sepupuku itu telah masyhur sebagai perempuan yang teramat subur. Beberapa tahun yang lalu kudapati ia datang sendirian ke rumah sakit dengan tertatih-tatih ketika hendak melahirkan anaknya yang ke sebelas(!) dalam usia 45 tahun(!!!).
ADVERTISEMENT
Suatu sore aku berkunjung ke rumahnya yang di depannya terpasang papan nama “PENGURUS MWC NU KECAMATAN KOTA REMBANG”. Dikerubuti keponakan-keponakanku, aku pun memanggil tukang bakso dan memesan delapan mangkok untuk delapan keponakan (dari 11) yang sudah bisa makan bakso.
Gerobak bakso parkir didepan rumah dan si tukang bakso meracik dagangannya. Beberapa jurus kemudian, setelah kuperkirakan racikan bakso selesai, kusuruh keponakan-keponakanku keluar untuk mengambil sendiri mangkok jatah masing-masing.
Saat aku membayar, si tukang bakso bertanya dengan mimik keheranan,
“Itu tadi anaknya semua ya, Pak?”
“Iya. Memang kenapa?”
“Ooo…” tukang bakso manyun, “Waktu Bapak pesan tadi, saya kira ada rapat…”
*   *   *
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, hari itu Mbah Kiai Wahab Hasbullah (Pesantren Tambak Beras, Jombang) rahimahullah, melayani banyak tamu di rumah beliau. Satu per satu tamu-tamu itu beliau tanggapi hajatnya. Yang bertanya dijawab, yang mengeluh dihibur, yang minta suwuk, disuwuk… Sampai akhirnya tinggal seorang anak muda yang sudah datang sejak awal tapi belum pamit juga, padahal tamu lain sudah pulang semua.
“Sampeyan pundi?” (Sampeyan dari mana?) Mbah Wahab bertanya.
“Sangking mriki mawon”. (Dari daerah sini)
“Paring asmo?” (Siapa namanya?)
“Adib”
“Bin?” (Anaknya siapa?)
“Wahab Hasbullah…”
Ternyata anak muda itu adalah putera beliau sendiri yang pulang dari pesantren…
__________________
Resep KB paling alami: Naik dari sebelah kiri, turun ke sebelah kanan.
ADVERTISEMENT
Catatan: Jangan mampir!