Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pendidikan Politik Pemilu 2024
7 Februari 2024 5:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yandri Rama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melihat pendidikan politik yang seharusnya diberikan kepada masyarakat. Kampanye dan sosialisasi peserta pemilu harusnya memberikan edukasi permasalahan-permasalahan bangsa dan solusi yang ditawarkan
ADVERTISEMENT
Tanggal 14 Februari 2024 semakin dekat, di mana hari itu adalah puncak pemilihan umum. Pemilu kali ini memiliki suasana dan format yang berbeda dari pemilu sebelumnya. Tahun 2024 ini merupakan masa transisi menuju pemilu serentak, di mana pada bulan kedua masehi ini pemilih akan mencoblos lima surat suara. Pemilihan presiden yang tadinya memiliki jeda beberapa bulan dengan pemilihan anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Prov, DPRD Kokab), tahun 2024 dilaksanakan pada waktu dan hari yang sama.
Kondisi ini otomatis mengubah suasana dan peta kompetisi, di mana peserta pemilihan akan berlomba memperjuangkan setidaknya 4 surat suara untuk melenggang mendapatkan kursi kekuasaan. Perjuangan menjadi bagian dari kekuasaan ini memerlukan usaha di mana pendidikan politik sangat diperlukan untuk menyampaikan ide, gagasan atau nilai kepada calon pemilih. Tujuan jangka pendeknya yaitu memperoleh dukungan dalam bentuk suara sebanyak-banyaknya. Tapi apakah proses pendidikan politik yang ideal itu berjalan dengan baik dalam perhelatan pemilu 2024 ini?
ADVERTISEMENT
Perhelatan pemilu kali ini, seperti halnya pemilihan sebelumnya, semua peserta berlomba meraih simpati pemilih dengan memanfaatkan kampanye. Kegiatan kampanye menurut PKPU no. 15 tahun 2023 dilaksanakan dengan beberapa metode, antara lain: pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, hingga pemanfaatan media elektronik dan media sosial.
Secara konsep kampanye merupakan sarana untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat terutama kepada pemilih pemula yang akan berpartisipasi memberikan mandat kepada peserta pemilu.
Terjebak Polarisasi
Dalam sebuah opini yang ditulis oleh Diatyka Widya pada laman Tirto.id, pemilih pemula merupakan kelompok yang rentan dalam kebijakan politik nasional. Disebutkan bahwa kerentanan terhadap pemilih pemula ini ada pada lingkaran industri kampanye politik dengan peran memobilisasi pemilih kepada narasi yang memecah belah.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat ini, bahwa pemilih pemula merupakan komoditas yang tidak mendapatkan pendidikan politik yang optimal, tetapi justru yang menggiring pemilih pemula lainnya dalam pemahaman yang dangkal.
Polarisasi ‘cebong-kampret’ pada pemilu 2019 bisa menjadi contoh edukasi politik yang buruk, di mana ketika dihadapkan kepada dua kekuatan politik, masyarakat juga dihadapkan dengan pelabelan hitam dan putih, benar dan salah secara mutlak ketika berpihak kepada salah satu calon. Sedangkan khalayak tidak mendapatkan data dan pemahaman yang mendalam terkait esensi permasalahan bangsa yang bisa diselesaikan bersama melalui jalur politik kebangsaan.
Pada pemilu serentak 2024 polarisasi ini bisa jadi tidak muncul di awal. Hal ini melihat kepada peta politik yang memunculkan tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Kekuatan yang muncul ini juga lebih cair karena komposisi koalisi partai menyebar, di mana pada pemilu 2019 beberapa partai berada pada kubu yang berseberangan.
ADVERTISEMENT
Namun bukan tidak berpotensi terjadi polarisasi lagi jika pemilihan presiden berlanjut pada putaran kedua. Kemungkinan akan tercipta koalisi besar untuk menghadapi siapa pasangan calon yang menang pada putaran pertama.
Masyarakat umum harus mendapatkan edukasi oleh komponen peserta pemilu maupun dari unsur terkait agar konflik antar pendukung tidak menjadi problematika tercorengnya kualitas demokrasi kita.
Mendebat Perdebatan
Dalam rangka pendidikan politik menjelang pemilu, debat merupakan salah satu sarana pendidikan politik yang bisa menjangkau khalayak secara masif. Selain publik bisa mengukur kompetensi dan kapasitas calon, debat juga menyuguhkan berbagai permasalahan kenegaraan. Dari forum debat kita juga akan melihat ide dan solusi dari setiap calon untuk menjawab berbagai tantangan yang sedang dan akan dihadapi oleh negara ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, dalam kacamata penulis, debat yang dilaksanakan oleh KPU masih belum memenuhi ekspektasi sebagai forum pendidikan politik. Pasalnya, debat yang berlangsung merupakan ajang gagah-gagahan dan waktu untuk menguliti kompetitor dari sudut personal. Sedangkan permasalahan inti dari debat terkait problematika negara belum cukup memberikan pencerdasan politik kepada khalayak, apalagi pemilih pemula.
Selain itu, forum debat justru melahirkan perdebatan baru dan dalam durasi yang panjang di tengah-tengah masyarakat. Debat panjang ini berlangsung dalam berbagai jaringan sosial media. Perbincangan dari pasca debat ini tidak jauh dari keunggulan atau kekurangan personal dari setiap peserta debat.
Pada akhirnya, pemilih tidak pernah mendapatkan pemahaman yang mendalam dan utuh terkait masalah yang ada. Pemilih juga tidak bisa menakar secara valid kapasitas dari setiap calon, apakah mereka benar-benar putra terbaik bangsa yang menjadi solusi dan pelanjut estafeta kepemimpinan negara atau hanya penghibur yang tampil untuk sekadar menyenangkan hati pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Membuat atau Mengatasi Kisruh?
Proses edukasi ini memainkan posisi penting dalam kualitas demokrasi untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Selama ini praktik politik yang dilakoni oleh masyarakat terkungkung sebagai partisipan yang dikendalikan oleh kepentingan elite. Adanya politik identitas, money politic, pasukan nasi bungkus, ‘cebong dan kampret’ merupakan sedikit bukti bahwa proses penyadaran akan peran masyarakat dalam aktivitas politik ada dalam kendali elite politik. Padahal sejatinya kedaulatan negara ini adalah kedaulatan rakyat.
Hal sederhana dari pendidikan politik saat ini adalah bagaimana menyadarkan peran masyarakat dan bertanggung jawab atas pilihan politiknya. Selain itu, kita juga mengharapkan suasana politik yang lebih guyub dengan mencerminkan karakter kekeluargaan bangsa Indonesia.
Dalam perhelatan pemilihan yang ada dalam era kemajuan teknologi, kita juga mengharapkan penyelenggara pemilihan yang beradaptasi dengan teknologi tingkat tinggi untuk menghadirkan proses pemilihan yang adil dan transparan sehingga hasilnya dapat memacu Indonesia menjadi negara besar yang disegani dunia internasional.
ADVERTISEMENT