Konten dari Pengguna

Flexploitation dan Prekariatisme Pekerja Industri Kreatif

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
31 Desember 2024 5:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Generasi muda pelaku seni tampil dalam festival taka di Penajam Paser Utara (Dok. Penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Generasi muda pelaku seni tampil dalam festival taka di Penajam Paser Utara (Dok. Penulis)
ADVERTISEMENT
Flexploitation, sebuah istilah yang menggabungkan “flexibility” dan “exploitation,”. Konsep ini mencerminkan kondisi kerja yang sangat fleksibel namun cenderung dieksploitasi, di mana pekerja berada dalam posisi rentan tanpa perlindungan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks industri seni dan kreatif, pekerjaan seringkali berbasis proyek, kontrak jangka pendek, atau bahkan tidak formal, flexploitation memunculkan tantangan serius terhadap kesejahteraan pekerja, atau yang dikenal dengan prekariatisme, sebuah situasi di mana pekerja menghadapi ketidakpastian ekonomi, minimnya jaminan sosial, dan kurangnya perlindungan hak-hak pekerja.
Industri kreatif seringkali dipandang sebagai sektor yang penuh peluang dan inovasi. Dengan berkembangnya platform digital, pekerja seni memiliki akses yang lebih luas untuk memamerkan karya mereka kepada audiens global. Namun, di balik gemerlap dunia kreatif ini, ada realitas kerja yang jauh dari ideal. Menurut survei SINDIKASI dan Indonesia Cinematographers Society pada 2023, misalnya, rata-rata pekerja film bekerja 16-20 jam per hari. Sebuah kondisi overwork yang tentu berdampak tidak sehat secara fisik maupun mental.
ADVERTISEMENT
Banyak pekerja seni dan kreatif yang harus menerima bayaran rendah, jadwal kerja tidak menentu, serta tekanan untuk terus menciptakan karya baru dalam waktu singkat. Model kerja ini sering kali memanfaatkan kecintaan para pekerja terhadap seni sebagai alat untuk membenarkan eksploitasi, dengan anggapan bahwa pekerjaan mereka adalah panggilan jiwa, bukan sekadar profesi.
Penari Hudoq (tarian bertopeng) khas Dayak, Kalimantan Timur (Dok. Penulis)
Beberapa di antaranya bekerja tanpa kontrak tertulis atau perlindungan hukum yang memadai, sehingga hak-hak mereka menjadi sulit untuk diperjuangkan. Tidak adanya akses terhadap jaminan sosial, seperti asuransi kesehatan, jaminan hari tua dan dana pensiun, menambah beban bagi para pekerja kreatif yang harus menghadapi risiko keuangan tinggi. Hal ini menciptakan kondisi di mana mereka harus bergantung pada jaringan informal atau mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
ADVERTISEMENT
Industri kreatif di Indonesia, sejauh ini didominasi oleh subsektor kuliner dengan proporsi pekerja mencapai 56,86%. Subsektor fesyen (19,45%) dan kriya (18,12%) menyusul sebagai kontributor terbesar dalam jumlah pekerja kreatif. Sebaliknya, subsektor seperti seni pertunjukan (0,75%), aplikasi dan game developer (0,6%), serta musik (0,33%) memiliki proporsi pekerja yang jauh lebih kecil (BPS, 2021). Data ini menunjukkan adanya disparitas besar antara sub sektor yang membutuhkan keterampilan teknis tinggi atau karya orisinal dan subsektor yang lebih berbasis pada produksi massal atau utilitas sehari-hari.
Ketimpangan ini juga menjadi cermin dari tingkat eksposur pekerja terhadap prekariatisme. Pekerja di subsektor yang lebih kecil, seperti seni pertunjukan, musik, dan seni rupa, sering kali menghadapi tantangan yang lebih berat. Mereka tidak hanya bekerja dalam skala ekonomi yang kecil, tetapi juga cenderung kurang diakui secara formal oleh sistem ekonomi yang lebih besar. Banyak dari mereka yang beroperasi tanpa kontrak atau perlindungan sosial, sehingga rentan terhadap eksploitasi.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, subsektor seperti kuliner, fesyen, dan kriya yang mendominasi proporsi pekerja cenderung menawarkan lebih banyak peluang kerja, tetapi tetap tidak lepas dari masalah flexploitation. Pekerjaan di subsektor ini sering kali berbasis pada tenaga kerja informal dengan jam kerja panjang dan upah rendah, menciptakan dinamika kerja yang penuh tekanan.
Di sisi lain, subsektor dengan proporsi pekerja kecil, seperti aplikasi dan game developer, film, animasi, video (0,31%), serta desain (0,15%), menghadirkan tantangan lain: persaingan ketat untuk mendapatkan proyek dan tekanan untuk terus berinovasi dalam teknologi yang terus berkembang.
Meskipun subsektor ini dianggap sebagai wajah modern industri kreatif, pekerja di bidang ini tetap menghadapi risiko flexploitation dalam bentuk jam kerja yang tidak menentu dan kontrak proyek yang tidak pasti.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Spesifik
Flexploitation juga memperburuk ketimpangan gender di industri kreatif. Perempuan, misalnya, sering kali menghadapi diskriminasi dan stereotip yang menghambat mereka untuk maju. Selain itu, beban kerja domestik yang masih dominan pada perempuan membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan dan eksploitasi dalam pekerjaan kreatif.
Ketimpangan di atas juga memperlihatkan adanya kebutuhan akan kebijakan yang lebih spesifik untuk melindungi pekerja di subsektor kecil namun bernilai tinggi seperti seni pertunjukan, seni rupa, dan musik. Kebijakan yang lebih inklusif, seperti pengakuan formal terhadap semua subsektor ekonomi kreatif, perlu didorong untuk memastikan semua pekerja mendapatkan hak dan perlindungan yang setara.
Upaya untuk mengatasi flexploitation dan prekariatisme memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Regulasi yang lebih kuat untuk melindungi hak pekerja di sektor ini sangat diperlukan, seperti pengakuan atas status pekerja freelance sebagai bagian dari tenaga kerja formal. Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan literasi keuangan dan negosiasi di kalangan pekerja kreatif, sehingga mereka dapat lebih memahami hak-haknya dan memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Seni dan kreativitas adalah bagian penting dari identitas budaya dan perekonomian suatu negara. Sangat tidak layak jika flexploitation dan prekariatisme menjadi harga yang harus dibayar oleh insan-insan kreatif di tanah air. Sebaliknya, kerja kreatif seharusnya bisa menjadi simbol kebebasan, inovasi, dan keamanan ekonomi sekaligus.
Namun, tanpa perlindungan sosial yang memadai bagi para pekerjanya, industri ini justru berisiko menjadi ruang yang penuh ketidakadilan. Menghadirkan kebijakan yang adil dan inklusif adalah langkah penting untuk memastikan bahwa pekerja seni dan kreatif tidak hanya bertahan, tetapi juga dapat berkembang dalam lingkungan kerja yang sehat, aman dan berkelanjutan.