Indeks Kebahagiaan dan Pembangunan

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
27 Maret 2024 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Ilustrasi karyawan bahagia. Foto: ViDI Studio/Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi karyawan bahagia. Foto: ViDI Studio/Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun, keberhasilan pembangunan suatu negara cenderung diukur melalui indikator-indikator ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan per kapita. Namun, semakin banyak ahli dan pembuat kebijakan yang menyadari bahwa angka-angka ini tidak dapat menangkap gambaran utuh mengenai kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa beragam indeks pembangunan alternatif muncul, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Persepsi Korupsi, Indeks Demokrasi, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan lain-lain, termasuk Indeks Kebahagiaan Hidup. Indeks Kebahagiaan ini dianggap dapat melengkapi indeks-indeks tersebut dengan memberikan perspektif yang lebih subjektif dan holistik tentang kualitas hidup masyarakat.
Misalnya, sebuah negara mungkin memiliki IPM yang tinggi karena akses yang baik terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, tetapi jika masyarakatnya merasa tidak aman, tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, atau menghadapi masalah lingkungan yang parah, maka tingkat kebahagiaan mereka dapat tetap rendah.
Sebab, seringkali pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kebahagiaan, terutama jika pertumbuhan tersebut tidak disertai dengan pemerataan kesejahteraan yang adil dan merata.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangkan Indeks Kebahagiaan, pembuat kebijakan dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang tantangan-tantangan yang dihadapi dan merumuskan solusi yang lebih efektif.

Kritik Terhadap Indeks Kebahagiaan

Indeks Kebahagiaan mencoba menangkap tingkat kepuasan hidup dan kesejahteraan subjektif warga suatu negara. Beberapa faktor yang diukur meliputi pendapatan, harapan hidup, kebebasan untuk membuat pilihan hidup, kepercayaan terhadap pemerintah dan masyarakat, serta tingkat korupsi.
Dari studi terakhir, Indonesia menjadi negara paling bahagia ranking ke-80 dari 143 negara menurut World Happiness Report 2024 yang dirilis Rabu (20/3/2024). Peringkat ini berada di bawah negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Apakah benar kebahagiaan warga Indonesia serendah itu? Respons dari setiap survei tingkat kebahagiaan ini tentu bersifat sangat subjektif dan memiliki beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Misalnya, bias budaya dan makna dari konsep “bahagia” tentu berbeda di berbagai budaya dan kelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apa yang dianggap sebagai kebahagiaan oleh seseorang mungkin tidak sama dengan orang lain. Ini dapat menyebabkan bias dalam interpretasi dan respons terhadap pertanyaan survei.
Ada pula bias psikologis yang dipengaruhi oleh suasana hati sementara, pengalaman hidup terkini, atau bahkan cuaca saat survei dilakukan. Hal ini tentu dapat menyebabkan fluktuasi dalam persepsi kebahagiaan yang tidak mencerminkan kondisi jangka panjang.
Masalah pengukuran konsep kebahagiaan secara kuantitatif juga dapat menjadi tantangan, karena skala dan kuantifikasi kebahagiaan tentu tidak bisa sepenuhnya menangkap kompleksitas dan keragaman pengalaman subjektif individu. Demikian pula membandingkan tingkat kebahagiaan antar negara atau budaya dapat menjadi masalah. Apa yang dianggap "bahagia" di satu tempat mungkin tidak sama dengan tempat lain, sehingga menyulitkan perbandingan yang bermakna.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, survei subjektif seperti Indeks Kebahagiaan tetap memberikan wawasan berharga tentang kesejahteraan subjektif masyarakat, yang tidak dapat sepenuhnya ditangkap oleh indikator objektif seperti PDB atau IPM. Untuk meningkatkan keandalan dan validitas, survei ini harus dilakukan dengan metodologi yang ketat, pertanyaan yang dirancang dengan baik, dan dipadukan dengan indikator objektif lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencoba mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia melalui melalui Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali.
BPS menggunakan 3 (tiga) dimensi dalam mengukur dan membandingkan tingkat kebahagiaan: Kepuasan Hidup, Perasaan, dan Makna Hidup. Meski berbeda dengan negara lain, Pengukuran Indeks Kebahagiaan Hidup (IKH) BPS Ini merupakan upaya yang patut diapresiasi karena kita bisa memperoleh gambaran yang lebih holistik tentang kesejahteraan rakyat, di luar indikator ekonomi konvensional.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, tujuan utama dari pembangunan suatu negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Oleh karena itu, Indeks Kebahagiaan-dengan berbagai perbaikan yang memadai dan terus menerus-sangat layak menjadi indikator kunci dalam mengukur keberhasilan pembangunan, berdampingan dengan indikator-indikator lainnya.
Dengan mengintegrasikan Indeks Kebahagiaan ke dalam perumusan kebijakan, Indonesia dapat memastikan bahwa upaya-upaya pembangunannya tidak hanya berfokus pada angka-angka ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudah bahagiakah Anda hari ini?