Konten dari Pengguna

Keikhlasan dari Tanah Rencong

22 Desember 2017 17:20 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yasmin Izati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskusi bareng Ahmad Fuadi di kumparan. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi bareng Ahmad Fuadi di kumparan. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
ADVERTISEMENT
Kamis, 21 Desember 2017 ketika hujan sedang deras-derasnya. Aku bingung apakah harus pergi ke kantor kumparan atau tidak. Tapi aku berpikir sekali lagi. Ga bisaa.. pokoknya harus ke sana. Udah beruntung banget dapet email Talkshow Expert dan memang ngincer banget ketemu Uda Ahmad Fuadi. Berdoa aja deh semoga walaupun hujan masih sempet hadir di sana.
ADVERTISEMENT
Dengan motorku, aku berbecek-becek ria kecipratan air becek hujan. Namun yang di pikiranku hanya satu, sampai di sana segera. Motor kuparkirkan di Stasiun Pondok Ranji dan langsung memesan tiket. Kemudian, jalan menuju koridor bawah tanah dengan tersengal-sengal, dan jaketku yang basah akhirnya masuk juga ke dalam Peron.
Hingga sampailah di Stasiun Pasar Minggu. Namun, masih ada saja ujian menuju kesana. Hapeku yang batrainya agak hang dan aplikasi ojek yang lagi ngawur, mentang-mentang lagi hujan. Akhirnya aku memutuskan naik ojek pangkalan dan sampailah di lokasi.
Setelah masuk, aku langsung sumringah karena akhirnya kesampaian dateng di acara beliau dan melihat buku beliau yang lagi discount. Wah senengnya enggak tau kaya apa dan semana. Dan setelah masuk, akhirnya ngeliat orangnya langsung di depan mata! Alhamdulilah..
ADVERTISEMENT
setelah sesi pemaparan, sesi tanya jawab pun aku tidak kebagian (dalam hati mohon bersabar.. ini ujian). Akhirnya setelah foto bersama aku pun meminta tanda tangan kepada beliau. Aku pun menyodorkan buku dan pulpen.
“Namanya?”
"Yasmin Izati.”
“Yasmin dari mana?” tanya Beliau.
“Dari Trisakti, Cuma pernah merantau ke Aceh” jawabku.
”Oh..” sambil tersenyum.
“terimakasih ya Uda” akhirya aku pun pulang ke rumah dengan lega, gembira, dan lain-lain.
Ahmad Fuadi. (Foto: Nugraha Satia Permana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ahmad Fuadi. (Foto: Nugraha Satia Permana/kumparan)
Ya, Uda memang benar, apabila kita merantau ke suatu tempat, kita akan memiliki cerita berkesan yang pastinya akan menjadi sebuah cerita. Aku pun mundur kembali pada Juli 2016. Setelah aku dilema karena diterima di jurusan impian saat itu, Hubungan Internasional di Universitas Sulawesi Barat. Orangtuaku tak ada yang menyetujui. Hingga aku benar-benar ingin meledak.
ADVERTISEMENT
Sahabatku me-lobby papaku supaya diijinkan kuliah di Aceh untuk tes masuk. Karena tidak ada HI aku pun memilih Ilmu yang sesuai dengan minat dan hasrat otakku. Setelah diizinkan aku pun di antarkan ke bandara dan terakhir kalinya melihat mereka hingga terisak-isak meninggalkan anak perempuan pertamanya. Aku dan sahabatku sampai juga di Serambi Mekkah, Aceh. Hari pertama kulalui dengan berkeliling kampus yang menjadi sasaran. Aku kaget ketika orang-orang melihatku dengan tatapan yang berbeda. Aku pun akhirnya bercerita kepada kakak senior BEM yang kutumpangi kost-nya
”Kak, kenapa sih orang-orang ngeliatin aku terus?” tanyaku dan sahabatku Mita.
“Oh karna klean beda kali dek penampilannya. Kayak artis kota gitu” jawab Kak Lili.
ADVERTISEMENT
“Seriusan? Perasaan aku cuma pake jeans, cardigan, wedges doang kok” bantah Mita.
“iya karena di sini pake rok semua jarang yang kayak Mita” sambungnya lagi.
"Oh gitu” jawabku.
Setelah beberapa hari aku singgah, aku pun bertempur dengan anak-anak Aceh lainnya. Aku pun sangat berharap diterima di Universitas ini dan gak kembali lagi ke Jakarta supaya harkat dan martabatku sebagai anak rantau tetap tinggi. Hingga akhirnya, “Selamat, Anda di terima di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala” dan Alhamdulilah.. aku pun langsung menelpon mamaku senja itu juga setelah lihat pengumuman di web.
“Halo mak, Assalamualaikum. Yasmin keterima nih di politik. Packing-in lagi ya barang-barang, jangan lupa laptop dibawa” kataku.
ADVERTISEMENT
Mamaku hanya bisa bersyukur akhirnya anaknya bisa berkuliah. Setelah setahun kelulusan, aku bekerja karena mengobati patah hatiku tidak lolos di seleksi PTN. Dalam hati, maaf ma, baru sebentar nyenengin kasih uang gaji sebentar udah nyusahin lagi kuliah jauh.
Seminggu kemudian, aku mendapatkan rekomendasi untuk bertemu Wakil Rektor di kampus karena waktu aku di Jakarta melihat di web Kampus harga UKT sekitar RP2.500.000. Namun setelah aku sampai di sini, harga UKT ditambahkan uang pangkal sekitar 4 juta yang memberatkanku dan Mita. Setelah Kami masuk kedalam ruangan, kami menjelaskan maksud kedatangan. Namun perkataan Wakil Rektor tersebut sungguh mengecewakan.
“Begini Pak maksud kedatangan Kami ingin menanyakan mengenai UKT, Saya lihat di web UKT-nya tidak segitu Pak, tapi setelah Kami sampai di sini mengapa dipungut uang pangkal Pak?” tanyaku.
ADVERTISEMENT
“Uang pangkal itu memang sudah ada dari dulu kok” jawab Wakil Rektor itu.
“Tapi Pak sebelum tanggal 22 ini, kami selalu memantau bahwa tidak ada uang pangkal, lalu kenapa di web baru muncul sekarang kalau sudah ada dari dulu?” tanya Mita menyangkalnya sambil mengecek web yang dimaksud di komputernya dan akhirnya dia pun melihatnya.
”Itu sudah terdapatkan SK Rektor bahwa kuliah ada uang pangkal. Lagian kalau gak punya uang ga bisa kuliah di sini” jawabnya.
Dalam hati ingin kumaki bapak itu, tapi aku menahan sabar. Akhirnya kuakhiri perbincangan tidak berguna itu. Setelah itu aku memberi tahu orangtuaku bahwa ada penambahan uang kuliah lagi. Dan aku merasa bersalah ternyata biaya merantau itu sangat besar, dan aku pun hanya mempersiapkan ini secara mendadak dan belum siap secara finansial.
ADVERTISEMENT
Mamaku akhirnya meminjam uang kepada temannya. Entah berapa banyak hutang yang harus kuganti kepada Mama. Namun aku bertekad untuk menyelesaikan kuliahku di sini. Aku pun mulai terbiasa dengan pakaian yang agak panjang dan dengan tradisi masyrakat setempat. Syariat Islam kental sekali di sini. Pengajian, suara adzan terdengar di sana-sini setiap harinya. Pada bulan April di Kampusku ada acara Koalisi (Kajian Orientasi Fisip), acara mentoring rohani. Semua perempuan wajib menggunakan kerudung panjang. Namun dari situ hatiku terpanggil, bukan hari ini saja aku harus menggunakan jilbab panjang dan besar ini, tapi seterusnya. Keesokan harinya aku pun diledekin teman-temanku karena anak Jakarta bisa hijrah juga. Aku hanya ketawa dan mengaminkan.
Bulan Juni tiba, saatnya liburan semester 2 dan menyambut lebaran. Aku pun kembali ke Jakarta. Akhirnya aku melihat kota yang kurindukan ini setelah setahun terpisah. Mama menyambutku dengan penuh haru. Setelah aku tinggal di rumah sebulan karena libur panjang, mamaku pun berbicara kepadaku bagaimana kuliahnya apakah masih mau lanjut di sana atau pindah ke sini. Mamaku tidak punya banyak uang untuk mengirim uang setiap bulannya dan papaku pun tidak begitu sanggup kalau harus membayar uang kuliah, asrama, dan tiket pesawat PP.
ADVERTISEMENT
Aku pun hanya diam dan berpikir. Kenapa kuliahku bisa seberantakan ini? Kenapa karena kertas uang itu bisa mengubah nasib begini. Setelah lebaran aku berkumpul dengan keluarga besarku, ada oma,tante, dan sepupuku. Di sanalah aku diceramahin dan dinasehati. Bahwa hidup di perantauan sana bukanlah perkara yang mudah. Ilmu politik bukanlah hal yang murah. Banyak terjadi paradoks di dunia nyata, orang saling sikut-sikutan untuk mendapatkan kursi tahta. Begitulah ceramahnya. Oma menyarankan aku untuk kuliah kelas karyawan malam supaya aku bisa membantu mamaku menjahit. Aku pun seperti ditodongkan pistol di kepala.
“Iya atau tidak kuliah disini.. 1..2..3 apa jawabannya?” tanya nya. Akhirnya aku menjawab “iyaaa”. Dan akhirnya inilah nasibku sekarang. Kembali ke tempat asal Jakarta. Aku pun enggak habis pikir seperti apa masa depanku nanti di acak-acak seperti ini. Aku sudah nyaman merantau meskipun dengan gembel sekalipun. Aku tak mau lagi menyusahkan orangtua dengan kuliah sungguh-sungguh di sana sehingga IP bisa diatas 3 lebih. Namun sekarang.. sangat menurun gairahku apalagi aku harus pindah ke Fakultas Ekonomi. Sugguh di luar dambaan.
ADVERTISEMENT
Namun aku harus memulai lembar baruku lagi di kota ini. Hingga aku akhirnya resmi menjadi mahasiswa baru di kampus baruku. Teman-temanku pun syok dengan kepergianku tanpa pamit karena rencananya aku pulang hanya untuk berlibur. Dan sekarang aku pun membantu orangtua dengan menjahit pakaian muslim untuk dijual oleh mamaku dan berjualan snack di kelas pada malam hari.
Memang semua itu di luar khayalanku setelah aku lulus SMA. Sekali lagi maafkan, lupakan, ikhlaskan, setahun itu memang perjalanan yang berharga yang tidak bisa dianggap sebelah mata. Aku hanya bisa mendoakan untuk sahabatku dan teman-temanku di perantauan sana semoga sukses. Hingga aku berpikir untuk mencari hikmahnya, dan setelah kudapat, mungkin Allah membuatku menjadi mahasiswa baru yang utuh supaya aku menjadi orang yang tegar, sabar, dan tekun setelah belajar tentang kehidupan di Aceh selama setahun itu.
ADVERTISEMENT
Dengan menjadi mahasiswa baru, aku masih punya kesempatan untuk belajar serta mempersiapkan beasiswa S2 ke luar negeri. Hebatnya, novel Anak Rantau mengobati patah hatiku dan menjadi sebuah ketegaran hatiku untuk terus bersabar dan tekun. Aku akan menjalani dan tidak menyia-nyiakan kesempatanku kali ini.
Ah sudahlah, maafkan.. lupakan..ikhlaskan.