Konten dari Pengguna

Potensi Pengenaan Cukai Pada Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK)

Yasmin Arnetta Firza
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
2 Januari 2022 13:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yasmin Arnetta Firza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi MBDK. Sumber: Shuttershock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi MBDK. Sumber: Shuttershock
ADVERTISEMENT
Cukai merupakan salah satu komponen penerimaan negara yang dinilai cukup strategis dan potensial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengingat angka penerimaannya cenderung yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada dasarnya tujuan utama dari pengenaan cukai terhadap barang tertentu adalah sebagai instrumen pengendali terhadap pola perilaku atas konsumsi suatu barang yang menimbulkan eksternalitas negatif. Namun, untuk menjadikan sebuah komoditi atau barang dapat dijadikan barang kena cukai, maka barang tersebut tentunya harus memenuhi karakteristik tertentu.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, karakteristik kelompok barang yang dapat dijadikan sebagai barang kena cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu pengawasan, dan atas konsumsinya menimbulkan eksternalitas negatif sehingga diperlukan adanya pungutan negara (Rosdiana & Irianto, 2014). Hingga saat ini tercatat hanya ada 3 (tiga) jenis barang yang dikategorikan sebagai barang kena cukai di Indonesia yaitu hasil tembakau, etil alkohol, dan Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) (Fachrudin, 2018). Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai memiliki barang kena cukai yang paling sedikit (Murwani, Karmana, Hasibuan, & Sriyanto, 2020).
Menanggapi hal tersebut, sejumlah kalangan mendorong pemerintah untuk segera melakukan ekstensifikasi pengenaan cukai agar dapat mengendalikan eksternalitas negatif yang ditimbulkan barang tersebut dan juga dapat meningkatkan penerimaan cukai. Indonesia harus berkaca pada negara-negara tetangga yang telah berhasil menerapkan pengenaan cukai atas kelompok barang yang lebih beragam seperti pada kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, minuman manis dalam kemasan, dan komoditi lainnya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Indonesia merupakan negara dengan penyandang penyakit diabetes sebesar 10 juta jiwa atau kurang lebih setara dengan 5% dari jumlah penduduk di Indonesia (Setyawan, 2018). Salah satu penyebab penyakit diabetes adalah tingginya kadar gula darah akibat adanya konsumsi gula yang melampaui kebutuhan yang dilakukan secara terus-menerus dalam jangka panjang.
Biasanya, konsumsi gula yang berlebihan diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). MBDK merupakan salah satu jenis minuman yang mengandung pemanis buatan yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi secara berlebih sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 (Murwani et al., 2020). Konsumsi MBDK yang berlebihan akan berimplikasi pada beberapa penyakit kronis seperti kelebihan berat badan (overweight), osteoporosis, serta penyakit diabetes melitus.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut, tentu MBDK dapat dikategorikan sebagai salah satu barang yang menimbulkan eksternalitas negatif bagi kesehatan sehingga hal tersebut merupakan masalah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Dengan adanya eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh MBDK, maka konsumsi MBDK perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan. Dalam hal ini, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengenakan cukai terhadap MBDK sebagai salah satu instrumen pengendali terhadap pola perilaku atas konsumsi MBDK.
Sebagai salah satu negara yang memiliki pasar yang sangat besar dalam bidang industri barang konsumsi, tren penjualan MBDK di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri MBDK terus berkembang dalam satu dasawarsa terakhir, di mana setiap tahunnya mengalami peningkatan permintaan hingga mencapai angka 30% (Ardiansyah, 2017). Tingginya permintaan tersebut juga berimplikasi pada pertumbuhan angka konsumsi MBDK di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Selama hampir 20 (dua puluh) tahun ke belakang angka konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan di mana angka peningkatan tersebut berasal dari berbagai jenis MBDK mulai dari air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman karbonasi, dan minuman isotonik (Ardiansyah, 2017). Zat pemanis yang digunakan pada MBDK terdiri atas pemanis alami yaitu gula pasir, gula cair, sirup jagung yang memiliki kadar fruktosa yang tinggi, serta pemanis buatan.
Beberapa peneliti terdahulu telah menemukan bahwa hubungan antara konsumsi MBDK memiliki pengaruh positif terhadap kenaikan berat badan hingga berisiko obesitas (Ardiansyah, 2017). Lebih lanjut dijelaskan bahwa nantinya hal tersebut dapat berimplikasi pada penyakit diabetes dan sindrom metabolisme. Hal ini dapat diibaratkan seperti seseorang yang mengonsumsi MBDK sebanyak satu sampai dua kaleng per hari maka orang tersebut memiliki potensi terkena diabetes sebanyak 26 persen lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang jarang mengonsumsi MBDK.
ADVERTISEMENT
Mengingat angka konsumsi MBDK di Indonesia sangat tinggi dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, urgensi untuk mencari instrumen dalam mengendalikan tingkat konsumsi MBDK yang memiliki dampak pada obesitas dan diabetes sangat nyata adanya. Berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, biaya kesehatan yang ditanggung oleh BPJS terkait penyakit diabetes dan gangguan metabolisme mengalami peningkatan setiap tahunnya. Maka atas hal tersebut, pemerintah harus memperhatikan tingkat prevalensi penyakit obesitas dan diabetes yang dialami oleh masyarakat Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan penyakit diabetes merupakan salah satu jenis penyakit mematikan yang dapat menyerang setiap organ tubuh (Selvi, Sitorus, Handayani, & Maesiwi, 2020). Pemerintah perlu melakukan intervensi dalam mengendalikan permasalahan tersebut agar nantinya tidak menimbulkan dampak negatif secara terus-menerus di masa yang akan datang. Memang penerimaan cukai atas MBDK dinilai tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan jenis BKC yang sudah ada saat ini, namun fokus utama dari pengenaan cukai terhadap MBDK adalah untuk mengendalikan konsumsi MBDK. Pengenaan cukai terhadap MBDK ini dinilai sebagai kebijakan yang win-win solution bagi pemerintah maupun masyarakat dalam rangka mengurangi eksternalitas negatif.
ADVERTISEMENT
Pengenaan cukai kepada MBDK akan mengakibatkan harga jual MBDK menjadi lebih tinggi, sehingga bagi masyarakat atas kenaikan harga tersebut akan membuat masyarakat beralih kepada jenis minuman lain yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat. Sedangkan bagi pemerintah, dengan adanya kebijakan pengenaan cukai terhadap MBDK ini akan menambah penerimaan negara serta menghemat pengeluaran biaya kesehatan yang dibebankan akibat pasien penyakit diabetes.
Mekanisme yang dapat digunakan oleh pemerintah dalam teknis pengenaan cukai terhadap MBDK adalah dengan menempelkan tanda pelunasan cukai berupa sticker/barcode pada saat proses keluar dari pabrik atau gudang penyimpanan BKC. Jika mekanisme pelunasan cukai dengan menggunakan metode pembayaran, maka sistem pengawasannya akan jauh lebih sulit terlebih lagi jumlah produksi MBDK yang mencapai angka miliaran rupiah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lalu, dalam menetapkan tarif pemerintah dapat menggunakan tarif spesifik berdasarkan volume mengingat volume minuman berbanding lurus dengan kadar gulanya. Maka dalam hal ini, minuman yang memiliki kadar gula lebih tinggi yang mana akan lebih berisiko menyebabkan penyakit diabetes akan dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan dengan minuman yang memiliki kadar gula lebih rendah.
Pengenaan cukai pada MBDK dinilai cukup fleksibel baik dari segi ekonomi maupun segi administrasi perpajakannya. Jika dilihat dari segi ekonomi, pengenaan cukai pada MBDK tidak akan menyebabkan penurunan permintaan yang signifikan. Sedangkan dari sisi administrasi perpajakan, pengenaan cukai pada MBDK telah mampu menerapkan sistem administrasi yang baik di mana dapat dilihat dari prosedur pelunasan cukai dan penetapan tarifnya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa fokus utama pengenaan cukai pada prinsipnya adalah sebagai instrumen pengendali konsumsi, sedangkan adanya tambahan penerimaan negara hanya merupakan bonus dari pengenaan cukai tersebut.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Ardiansyah, B. G. (2017). Analisis Fisibilitas Pengenaan Cukai Atas Minuman Berpemanis (Sugar-Sweetened Beverages). Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 1(3), 229–241. https://doi.org/10.31685/kek.v1i3.291
Daeli, W. A. C., & Nurwahyuni, A. (2019). Determinan Sosial Ekonomi Konsumsi Minuman Berpemanis di Indonesia: Analisis Data Susenas 2017. Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia, 4(1). https://doi.org/10.7454/eki.v4i1.3066
Fachrudin, M. (2018). Analisis Fisibilitas Minuman Berpemanis Sebagai Obyek Cukai Dan Penerapan Pemungutannya Di Indonesia, 5.
Murwani, S., Karmana, I. W., Hasibuan, H. D., & Sriyanto, A. (2020). URGENSI PENGENAAN CUKAI PADA MINUMAN RINGAN BERPEMANIS, 4(1), 1–19.
Mutaqin, Z. (2018). Dinamika Aspek Kesehatan dan Ekonomi dalam Kebijakan Pengendalian Minuman Berkarbonasi di Indonesia. Quality Jurnal Kesehatan, 1(1), 26–37.
Rosdiana, H., & Irianto, E. (2014). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
ADVERTISEMENT
Selvi, Sitorus, E., Handayani, S., & Maesiwi, P. (2020). Kajian Kebijakan Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis. Transparansi : Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, 3(2), 195–204. https://doi.org/10.31334/transparansi.v3i2.1177
Setyawan, B. (2018). Kajian Pengenaan Cukai Terhadap Gula. Indonesian Treasury Review Jurnal Perbendaharaan Keuangan Negara Dan Kebijakan Publik, 3(4), 284–295. https://doi.org/10.33105/itrev.v3i4.73