Sinema, Propaganda, Sempurna

YASMINE AMALIA RUSNANDHA
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII
Konten dari Pengguna
22 Desember 2020 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari YASMINE AMALIA RUSNANDHA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri sinema atau film merupakan salah satu bentuk industri yang tidak ada matinya. Film merupakan salah satu media komunikasi yang memiliki banyak penikmat. Dengan adanya bantuan audio dan visual, pesan dalam sinema lebih mudah diterima. Secara tidak langsung, ketika kita menonton sebuah film sebenarnya dapat mempengaruhi pola pikir kita. Tak jarang sebuah sinema digunakan sebagai alat kepentingan politik. Disinilah propaganda dalam sinema bekerja. Di era orde baru, sinema digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk menjatuhkan suatu ormas. Saat era reformasi pun propaganda dalam sinema tidak hilang, melainkan berubah konteks menjadi media untuk mem-framing seorang politikus.
ADVERTISEMENT
Teknik propaganda dalam sinema ini telah sering digunakan di masa lampau, contohnya oleh Hitler dan Menteri Penerangan Joseph Goebbels. Mereka mendirikan sebuah departemen perfilman pada tahun 1933 yang bertujuan untuk menyebarkan pandangan sosialis-nasional kepada seluruh rakyat Jerman. Pemutaran film pun sering terjadi, terutama di daerah perkotaan. Dua sinema Nazi yang paling terkenal antara lain Leni Riefenstahl’s Triumph of the Will yang didokumentasikan di rapat raksasa Nuremberg [1934] and The Wandering Jew [1940]. Menurut Hitler bahwa "Gambar ... termasuk film, punya kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, ketimbang bacaan untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu." hal itulah yang ia tulis dalam Mein Kampf.

Propaganda Sinema Masa Orde Lama

Tak hanya di Jerman, teknik propaganda dalam sinema juga sukses digunakan di Indonesia. Teknik propaganda pada mulanya dilakukan pada masa Orde Lama. Pada tahun 1950-an muncul kritik-kritik moral dan politis terhadap film dari Amerika. Menurut Krishna Sen, dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order hal itu lah yang menjadi awal mula pergerakan anti-film Amerika yang dipimpin oleh golongan kiri dan didukung juga oleh pemerintahan Soekarno. Hal itu menyebabkan menurunnya impor film dari Amerika. Para seniman film di Indonesia pun tidak melihat bahwa film-film impor merupakan ancaman bagi mereka. Namun, ancaman yang paling nyata adalah sensor film. Film seharusnya digunakan sebagai bentuk kebebasan untuk berekspresi dan menyampaikan opini ke publik. Tetapi dengan adanya sensor membuat negara ikut campur tangan mengenai isi dari sebuah film.
ADVERTISEMENT

Propaganda Sinema Masa Orde baru

Pada masa Orde Baru ini sangat berbeda dengan kebijakan Orde Lama, setelah Oktober 1965 pasar film terbuka luas terhadap film impor sehingga pada tahun 1967 Krishna Sen, dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order mencatat impor film menyentuh angka 400. Selain itu, hal yang paling membedakan adalah di masa Orde Baru pemerintah yang berkuasa aktif memproduksi film dokumenter. Film-film tersebut diputar setiap hari di TVRI dengan tema yang berbeda-beda Mayoritas bertemakan semangat pembangunan, mulai dari rencana pembangunan dan hasil pembangunan, dan ada juga propaganda kinerja para menteri kabinet pembangunan, serta menayangkan tentang partai Golongan Karya yang berhasil membangun Indonesia dan selalu memenangkan Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam kepemimpinannya pun Soeharto memproduksi film yang menjadi kontroversi hingga hari ini yaitu film Pengkhianatan G30S/PKI. Film ini menceritakan peristiwa gerakan 30 September. Dalam film ini anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya dibingkai menjadi dalang tunggal peristiwa tersebut. Hingga saat ini, film tersebut ditayangkan setiap malam 30 September di televisi. Soeharto menggunakan film ini untuk menumpas paham komunisme yang pada kala itu salah satu paham yang kuat di Indonesia. Adegan-adegan yang ada dalam film tersebut tidak semuanya nyata dan hanya dibuat dramatisir agar mengesankan bahwa PKI dan komunisme merupakan ancaman bagi negara Indonesia.

Popaganda Sinema Masa Reformasi

Berbeda dengan propaganda sinema dalam masa reformasi. Kebanyakan sinema propaganda dalam masa reformasi digunakan untuk mem-framing seorang politikus. Hal tersebut terlihat dari dua sinema yang tayang bersamaan di waktu menjelang Pemilu presiden 2019. Dua sinema tersebut adalah Hanum dan Rangga yang merupakan film menceritakan kisah nyata dari Hanum yang merupakan calon legislatif dan pendukung capres dan cawapres 02. Sedangkan “A Man Called Ahok” merupakan film bercerita mengenai kisah nyata Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) yang merupakan pendukung capres dan cawapres 01. Meskipun kedua film tersebut tidak menceritakan mengenai capres dan cawapres secara langsung, tetapi para penonton dapat menghubungkan kedua film tersebut dengan capres dan cawapres yang sedang bertanding karena hubungannya yang termasuk dekat juga. Dengan begitu, kedua pemutaran film dapat mempengaruhi pilihan penonton dalam memilih capres dan cawapres pada Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT