Konten dari Pengguna

Feminisme dalam Seni Tari: Membebaskan atau Membatasi?

Yessa Salsabila
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana
25 Februari 2025 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yessa Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Feminisme dalam Seni Tari: Membebaskan atau Membatasi?

Edited by : Yessa Salsabila
zoom-in-whitePerbesar
Edited by : Yessa Salsabila
ADVERTISEMENT
Seni tari telah lama menjadi cerminan dari adanya struktur sosial dan budaya yang berkembang di suatu masyarakat. Pada dasarnya, tari merupakan suatu bentuk gerak tubuh yang bergerak berdasarkan irama alunan musik. Sedangkan menurut Aristoteles, “seni tari merupakan gerakan ritmis yang akan menghadirkan suatu karakter manusia ketika mereka bertindak” (Putri, 2022). Jika dilihat dari segi sejarah, tari seringkali menjadi sarana dalam berekspresi yang memperkuat norma-norma gender yang ada. Gerakan-gerakan itu memiliki kekuatan kehidupan, keestetikan, dan memiliki kekhasan tersendiri dengan tujuan tertentu. Namun jika dilihat dari konteks feminisme, tarian bukan sekadar menunjukkan ekspresi artistik, tetapi juga menjadi media untuk menantang stereotip gender, menuntut kesetaraan, dan merayakan keberagaman identitas perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia tari, banyak gaya yang berbeda dimana juga memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap peran yang harus dijalani oleh perempuan atau laki-laki. Stereotip gender selalu ada dan kini semakin banyak orang yang mendobrak batasan dan menantang norma-norma masa kini. Banyak beberapa kasus dimana seorang perempuan mendapat kesenjangan dalam cara pandang penari dan perannya dalam dunia tari. Namun, stereotip kini semakin berkurang dan semakin banyak orang yang berpikiran terbuka tetapi masih terdapat kesenjangan antara penari bahkan koreografer perempuan dan laki-laki. Gagasan kaum perempuan tampaknya diabaikan dan tidak dianggap serius ketika mereka terjun ke sisi kreatif dan benar-benar membuat karya tari. Justru kaum pria lebih dipandang sebagai sisi yang kreatif dan terdepan dalam dunia tari (Mollie Clarke-Smith, 2017). Hal ini membuat adanya kesempatan bagi laki-laki saja dalam menciptakan karya dan memamerkan karyanya ke dunia.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan adanya stereotip terhadap gender dalam dunia tari, membuat perempuan perlu mendapatkan fokus terhadap pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan ini dapat menjadi langkah penyadaran serta pembentukan kapasitas terhadap para partisipasi yang lebih besar, seperti dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan transformasi yang mengarah pada perwujudan persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki (Nadia, 2021). Dalam menciptakan budaya masyarakat yang adil, maka perempuan menggunakan tarian sebagai bentuk pemberdayaan dengan menjadikan media ekspresi mereka, mengklaim kedaulatan atas tubuh mereka, serta menyuarakan suara yang sering terabaikan. Pemberdayaan ini terlihat dalam berbagai jenis tarian, dari tradisional, modern, hingga kontemporer. Sebagai contoh adalah tarian Belly Dance atau biasa dikenal tari perut, menjadi bentuk ekspresi tubuh dalam merayakan feminitas. Tari ini dipercaya digunakan sebagai cara untuk meningkatkan kepercayaan diri dan merangkul tubuh mereka tanpa rasa malu (Dragon, n.d.). Di sisi lain, tari kontemporer juga sering digunakan untuk mengeksplorasi isu-isu sosial, seperti kekerasan berbasis gender, hak reproduksi, dan adanya ketidaksetaraan. Gerakan seperti hentakan kaki yang kuat, postur tubuh yang tegak, dan ekspresi wajah yang serius menjadi bentuk perlawanan terhadap anggapan bahwa perempuan harus selalu tunduk pada ketidakadilan sosial dan tuntutan. Tari kontemporer menjadi pengaruh besar dalam mengubah pandangan serta meruntuhkan batasan yang yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Panggung tari kini telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar tempat pertunjukan artistik; ia menjelma menjadi media ruang inklusif yang merangkul keberagaman dan menjadi simbol perjuangan kesetaraan gender. Di atas panggung, tubuh tidak lagi dikekang oleh standar kecantikan atau norma gender yang kaku. Sebaliknya, setiap gerakan menjadi pernyataan hak untuk eksis, berekspresi, dan menuntut kesetaraan. Di sinilah perempuan menemukan suara mereka—tidak melalui kata-kata, tetapi melalui ritme yang menggetarkan dan gerakan yang kuat, simbolis dan emosional.
Dalam tarian, perempuan dirayakan, bukan disingkirkan. Panggung menjadi tempat di mana tubuh gemuk, kulit gelap, atau gerakan yang tidak sesuai dengan stereotip feminitas justru dipandang sebagai kekuatan, bukan kekurangan. Setiap langkah yang diambil di atas lantai pertunjukan adalah tapak perjuangan, sementara setiap gestur yang melawan gravitasi adalah simbol pembebasan dari norma yang menindas. Tarian menjadi pengingat dunia bahwa perjuangan untuk kesetaraan masih terus berdenyut, satu gerakan pada satu waktu. Pada akhirnya tarian memberikan kebebasan bagi perempuan dengan menghadirkan ruang untuk mengekspresikan diri, bukan justru membatasi. Melalui gerakan, perempuan dapat melampaui norma sosial yang sering mengendalikan tubuh dan peran mereka. Jadi, tarian disini menjadi simbol kekuatan, identitas, dan pemberdayaan, di mana perempuan bebas menentukan narasi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Dragon, A. (n.d.). Feminism and Belly Dance. people.uncw.edu. https://people.uncw.edu/deagona/raqs/feminism.htm
Mollie Clarke-Smith. (2017, Juni 6). Different Gender Stereotypes in Dance. voicemag.uk. https://www.voicemag.uk/blog/2514/different-gender-stereotypes-in-dance
Nadia, S. (2021, Desember 16). Pemberdayaan Perempuan untuk Kesetaraan. djkn.kemenkeu.go.id. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pontianak/baca-artikel/15732/Pemberdayaan-Perempuan-untuk-Kesetaraan.html
Putri, V. K. M. (2022, August 1). 10 Definisi Seni Tari Menurut Para Ahli. Kompas.com. Retrieved February 21, 2025, from https://www.kompas.com/skola/read/2022/08/01/093000569/10-definisi-seni-tari-menurut-para-ahli