Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Gaya Hidup Digital: Saat Privasi Jadi Tontonan Publik
16 Maret 2025 18:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yessy Angelina Br Lingga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital, batas antara kehidupan pribadi dan ruang publik semakin kabur. Privasi yang dulu menjadi hak fundamental, kini secara sadar atau tidak, kita serahkan begitu saja kepada platform digital. Dari unggahan media sosial hingga data yang dikumpulkan oleh perusahaan teknologi, privasi kita perlahan menjadi konsumsi publik.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, penggunaan media sosial telah mencapai tingkat yang luar biasa. Menurut laporan We Are Social dan Meltwater (2024), ada 139 juta pengguna media sosial di Indonesia, dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 3 jam 14 menit per hari. Platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Di satu sisi, media sosial memberi ruang bagi ekspresi diri dan konektivitas. Namun, di sisi lain, kebiasaan berbagi yang berlebihan atau oversharing telah mengubah privasi menjadi komoditas yang terekspos ke publik, baik secara sengaja maupun tidak.
Privasi yang Menjadi Konsumsi Publik
Budaya Oversharing: Ketika Privasi Diserahkan Secara Sukarela
Di media sosial, banyak orang tanpa sadar membuka informasi pribadi mereka kepada publik. Mulai dari membagikan lokasi terkini, kebiasaan sehari-hari, hingga detail keluarga—semuanya bisa diakses oleh siapa saja yang melihat unggahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dikenal sebagai oversharing, di mana seseorang secara berlebihan membagikan informasi pribadinya di internet. Meski terlihat sepele, kebiasaan ini bisa berdampak serius. Misalnya, ketika seseorang mengunggah foto boarding pass pesawatnya, data dalam barcode tiket dapat dipindai dan digunakan oleh peretas untuk mendapatkan informasi pribadi lebih lanjut. Atau ketika seseorang membagikan lokasi rumahnya secara tidak sadar melalui unggahan media sosial, hal ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Tidak hanya itu, media sosial juga menjadi tempat berkembangnya doxing, yaitu penyebaran informasi pribadi seseorang tanpa izin. Salah satu kasus yang sempat ramai terjadi di Indonesia adalah ketika seorang influencer menghadapi serangan digital setelah berselisih dengan warganet, yang berujung pada tersebarnya alamat rumahnya di internet.
ADVERTISEMENT
Yang lebih mengkhawatirkan, banyak pengguna yang masih menganggap media sosial sebagai ruang yang aman dan tidak memahami bahwa setiap unggahan mereka bisa disimpan, disalin, atau bahkan dimanipulasi oleh orang lain.
Kebocoran Data: Saat Informasi Pribadi Diperjualbelikan
Selain masalah oversharing, risiko lain yang mengancam privasi adalah kebocoran data. Indonesia telah mengalami berbagai kasus kebocoran data dalam beberapa tahun terakhir, yang mengindikasikan lemahnya perlindungan informasi pribadi oleh institusi pemerintah maupun perusahaan swasta
contoh kasus besar yang pernah terjadi antara lain:
1. Peretasan Pusat Data Nasional (2024): Serangan siber terhadap pusat data pemerintah menyebabkan gangguan layanan di berbagai instansi dan bandara utama.
2 Kebocoran data wajib pajak (2024): Sebanyak 6 juta data wajib pajak, termasuk Presiden Joko Widodo, diduga bocor ke publik.
ADVERTISEMENT
Perusahaan Teknologi: Mengumpulkan Data Secara Legal
Selain ancaman dari kebocoran data akibat peretasan, ada satu hal lain yang perlu menjadi perhatian: data kita sebenarnya juga dikumpulkan secara legal oleh perusahaan teknologi.
Setiap kali kita menggunakan media sosial, melakukan pencarian di Google, atau bahkan sekadar berjalan dengan GPS aktif di ponsel, data kita terekam dalam sistem. Informasi ini kemudian digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari menargetkan iklan hingga memprediksi kebiasaan kita dalam mengambil keputusan.
Statista (2024) mencatat bahwa pasar data global diperkirakan bernilai lebih dari 1 triliun dolar AS, menunjukkan betapa besar bisnis di balik pengumpulan dan analisis informasi pengguna.
Meskipun pengumpulan data ini sering kali dibenarkan dengan alasan peningkatan layanan, kenyataannya banyak pengguna yang tidak menyadari sejauh mana informasi mereka dikumpulkan dan digunakan. Ini menunjukkan perlunya transparansi lebih besar dari perusahaan teknologi dalam memberikan opsi kepada pengguna untuk mengontrol privasi mereka.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi digital membawa manfaat besar, tetapi juga menuntut kita untuk lebih berhati-hati dalam menjaga privasi. Tanpa kesadaran yang cukup, kita bisa menjadi korban dari penyalahgunaan informasi, baik oleh individu, perusahaan, maupun pelaku kejahatan siber.
Untuk melindungi diri dari ancaman digital, ada beberapa langkah yang bisa kita ambil:
1. Bijak dalam berbagi informasi di media sosial. Jangan sembarangan mengunggah data pribadi, lokasi, atau kebiasaan yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain.
2. Gunakan pengaturan privasi dengan maksimal. Periksa kembali siapa saja yang bisa melihat unggahan Anda, gunakan autentikasi dua faktor, dan batasi akses aplikasi ke informasi pribadi.
3. Waspada terhadap serangan siber. Hindari mengklik tautan mencurigakan dan jangan sembarangan memberikan informasi sensitif di internet.
ADVERTISEMENT
4. Dorong pemerintah untuk memperketat regulasi perlindungan data. UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) 2022 harus ditegakkan secara ketat agar kebocoran data tidak terus berulang tanpa konsekuensi yang jelas.
5. Teknologi harus lebih transparan. Perusahaan digital harus memberikan opsi yang lebih jelas bagi pengguna untuk mengontrol bagaimana data mereka digunakan dan dengan siapa data tersebut dibagikan.
Privasi adalah hak fundamental yang harus dilindungi. Di dunia digital yang semakin terbuka, kita harus menjadi lebih sadar akan jejak digital yang kita tinggalkan dan lebih bijak dalam mengelola informasi pribadi. Jangan sampai kita baru menyadari pentingnya privasi setelah menjadi korban penyalahgunaan data.