Mengenal Bahaya Menikah Dini bagi Kesehatan dan Psikososial

Yessy Marga Safitri
Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN) dan Penyuluh Antikorupsi
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2021 16:15 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yessy Marga Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bahaya Pernikahan Dini (pic by www.pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Bahaya Pernikahan Dini (pic by www.pexels.com)

Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, pemerintah menetapkan batas usia minimal pernikahan yaitu 19 tahun.

ADVERTISEMENT
Batas usia minimal ini naik dari 16 tahun sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini dilakukan mengingat pernikahan bukan perkara yang mudah untuk dijalani, apalagi tanpa pertimbangan dan rencana yang matang. Bukan hanya itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menyarankan batas usia minimal pernikahan yaitu 21 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Pada usia ini, risiko pernikahan dapat lebih diminimalisir.
ADVERTISEMENT
Risiko atau bahaya menikah dini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek kesehatan dan psikososial. Organ reproduksi yang terlalu muda belum siap digunakan untuk aktivitas seksual sehingga lebih mudah terkena infeksi dan berisiko tinggi menimbulkan penyakit menular seksual dan kanker serviks. Selain itu, seorang wanita yang rahimnya belum matang berisiko tinggi mengalami keguguran akibat dinding rahim dan organ panggul yang belum kuat menahan beban janin. Keguguran yang berulang dapat menyebabkan rusaknya alat reproduksi hingga mandul.
Hamil di usia terlalu muda juga dapat menyebabkan preeklampsia, yaitu naiknya tekanan darah disertai adanya protein di dalam urine dan tanda kerusakan organ lainnya. Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan pusing, sakit berlebihan, dan perdarahan. Risiko luka serius pada saat melahirkan juga menjadi 4 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang melahirkan pada usia yang cukup sehingga meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi.
ADVERTISEMENT
Umumnya usia remaja dihabiskan dengan belajar dan bermain bersama teman-teman, namun ketika seseorang memutuskan untuk menikah di usia remaja, maka kesempatan mereka untuk belajar dan bermain menjadi jauh lebih berkurang karena adanya tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Hilangnya kesempatan belajar, khususnya, akan berujung pada hilangnya kesempatan untuk mencapai kondisi finansial yang lebih baik.
Bagi wanita yang menikah dini dan ikut pindah bersama suami, risiko depresi menjadi lebih tinggi akibat lingkungan yang tidak familiar, ditambah dengan ketidakhadiran orang tua untuk memberikan dukungan moral. Hal serupa juga terjadi kepada pria yang belum memiliki kesiapan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga dapat menimbulkan gangguan mental seperti gangguan kecemasan, stres, atau depresi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, gangguan mental pada pasangan yang belum matang secara mental dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Pasangan yang pemikirannya belum dewasa akan lebih sulit mengontrol emosi sehingga lebih mudah marah dan cenderung melampiaskannya melalui kekerasan. Dalam kondisi ekstrem, sering terjadinya konflik dalam keluarga dapat mengakibatkan perceraian.
Pernikahan bukanlah perkara yang sederhana. Oleh sebab itu, sebelum menikah pasangan harus sudah siap secara fisik dan mental agar pernikahan yang dijalani senantiasa langgeng dan bahagia.