Beckham, Essien, dan Sekelumit tentang Marquee Player

29 Maret 2017 15:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
David Beckham (Foto: David Beckham/instagram)
Kompetisi Major League Soccer (MLS) sedang akan memasuki tahun kesebelas penyelenggaraan ketika Los Angeles Galaxy memutuskan untuk mengontrak seorang megabintang bernama David Beckham. MLS, ketika itu, memang sedang berusaha keras untuk menaikkan popularitas.
ADVERTISEMENT
Sebelum Beckham, bintang terbesar yang pernah didatangkan MLS adalah Lothar Matthaeus yang bergabung dengan New York/New Jersey MetroStars. Namun, walau secara objektif kualitas Matthaeus ada di atas Beckham, popularitasnya jelas jauh di bawah suami Victoria Adams itu.
Kedatangan Beckham ke MLS itu, pada akhirnya, memang menandai sebuah era baru. Era di mana MLS mulai tampak menggiurkan, khususnya bagi bintang-bintang Eropa yang belum ingin pensiun tetapi sudah tidak mampu bersaing di level top.
Setelah Beckham datang, pemain-pemain seperti Thierry Henry, Robbie Keane, Frank Lampard, Steven Gerrard, Didier Drogba, Andrea Pirlo, dan David Villa pun menyusul. Kedatangan para pemain itu, selain dipelopori oleh Beckham, juga dibuat menjadi mungkin oleh Beckham.
Ketika Beckham datang ke Galaxy, aturan MLS pun diubah untuk menyesuaikan tuntutan yang turut hadir. Beckham, sebagai megabintang, tentu tidak sudi jika digaji sama dengan Kyle Veris.
ADVERTISEMENT
Tunggu dulu. Siapakah Kyle Veris? Ya, bukan siapa-siapa. Maka dari itu, tentu Beckham enggan disamakan dengan orang yang bukan siapa-siapa.
Seiring dengan kedatangan Beckham, dibuatlah Designated Player Rule. Lewat aturan yang populer dengan sebutan Beckham Rule ini, tim-tim waralaba MLS diperbolehkan untuk menggaji pemainnya di atas salary cap alias batasan gaji. Tujuannya, agar mereka mampu bersaing secara finansial dengan klub-klub dari negara lain.
Sebelumnya, memang sudah ada tiga pemain -- Eddie Johnson, Carlo Ruiz, dan Landon Donovan -- yang digaji di atas salary cap. Namun, ketika itu status mereka adalah pengecualian di mana prestasi menjadi pertimbangan utama. Lalu, ketika Beckham datang, resmilah MLS memiliki designated, atau marquee, player pertama.
***
ADVERTISEMENT
Istilah marquee player memang belakangan jadi populer di Indonesia setelah Michael Essien resmi dikontrak Persib Bandung. Selain itu, Persib juga masih mengincar Carlton Cole, mantan penyerang West Ham United, dan Peter Odemwingie yang pernah membela West Bromwich Albion dikabarkan akan bergabung dengan Madura United.
Ketika ditanya mengenai marquee player di Indonesia, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Edy Rahmayadi, mengatakan bahwa mereka haruslah pemain yang pernah bermain dalam tiga edisi Piala Dunia terakhir. Essien yang membela Ghana di Piala Dunia 2006 dan 2014 tentu memenuhi syarat tersebut. Pun demikian dengan Odemwingie yang jadi bagian skuat Nigeria di Piala Dunia 2010 dan 2014.
Lalu, bagaimana dengan Carlton Cole? Walaupun sukses mengantongi tujuh caps bersama Tim Nasional Inggris, tak satu pun pertandingan dia lakoni di putaran final Piala Dunia. Pada tahun 2010 lalu, pemain didikan akademi Chelsea ini kalah bersaing dari Wayne Rooney, Peter Crouch, Emile Heskey, dan Jermain Defoe.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pada pernyataan Edy saja, tentu Cole tidak memenuhi syarat. Namun, dalam kesempatan lain, Wakil Ketua PSSI, Joko Driyono, menjelaskan bahwa selain bermain di tiga edisi terakhir Piala Dunia, para marquee player juga bisa berasal dari mereka yang pernah bermain di liga top Eropa dan harus berusia di bawah 35 tahun. Dengan begini, Cole yang pernah malang melintang di Premier League dan masih berusia 33 tahun, jadi memenuhi syarat.
Tetapi, meski Carlton Cole memenuhi syarat, calon klubnya, Persib Bandung-lah yang tidak memenuhi syarat. Pasalnya, dalam kesempatan yang sama, Edy Rahmayadi juga sudah mengatakan bahwa jatah marquee player per klub hanya satu.
Pemain sepak bola asal Ghana, Michael Essien. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
"Hanya ada sedikit lah perubahan. Untuk pemain asing terutama, awalnya 2+1, sekarang plus satu, nah satunya ini khusus, namanya marquee player," ujar Edy kala itu.
ADVERTISEMENT
Jika Michael Essien dianggap sebagai marquee player dan Carlton Cole tidak, bagaimana dengan gaji yang akan diterima Cole? Sebagai pemain yang punya pengalaman lumayan di Premier League, apakah mungkin Cole mau menerima gaji sama dengan pemain non-marquee? Bukan berarti menganggap para pemain Persib lain buruk. Sama sekali tidak. Ini lebih ke apa yang bisa ditawarkan manajemen Persib kepada seorang Carlton Cole kalau dari gaji saja seharusnya sudah tidak memungkinkan.
Perlu dicatat bahwa Joko Driyono juga telah mencanangkan salary cap sejumlah 15 miliar rupiah per tahun untuk setiap tim. Essien, sebagai marquee player, tentu tidak termasuk di situ.
Jika Essien konon dibayar antara 8-9 miliar rupiah per tahun, tentu Cole setidaknya bakal dibayar separuh atau dua per tiga jumlah tersebut. Katakanlah, separuh. Berarti, kemungkinan gaji Cole bakal ada di kisaran 4-5 miliar rupiah per tahun. Bisa lebih tentunya.
ADVERTISEMENT
Dari situ saja, jatah salary cap sudah terpotong secara signifikan. Lalu, bagaimana dengan pemain-pemain bintang lain seperti Sergio van Dijk, Shohei Matsunaga, Vladimir Vujovic, Hariono, atau Lord Atep? Saat ini, Persib sudah punya 22 pemain dan perlu dicatat bahwa di Adelaide United dulu, Van Dijk adalah marquee player. Jadi, gaji Van Dijk pun tidak mungkin murah.
PSSI sendiri, lewat Joko Driyono, berencana akan mengumumkan detail aturan marquee player ini pada hari ini (29/3) atau besok (30/3). Dengan mencuatnya berita mengenai perekrutan Carlton Cole ini, PSSI berutang penjelasan pada seluruh penikmat sepak bola Indonesia.
***
Dalam kasus Beckham, Los Angeles Galaxy mendatangkan pria penggemar Tottenham Hotspur itu dengan alasan untuk menaikkan pamor tim dan liga. Di Indonesia pun, tujuannya kurang lebih sama. Hal itu sudah tercermin lewat pernyataan Essien ketika dia pertama kali menginjak Bumi Nusantara.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin menjadi awal bagi kedatangan pemain-pemain [kelas] dunia ke Indonesia," tutur Essien kala itu.
Namun, masalah marquee player ini tampaknya harus benar-benar dipikirkan dengan matang baik oleh PSSI maupun klub-klub Indonesia. Pasalnya, soal aturan saja, setidaknya sampai saat ini, belum jelas.
Selain itu, menilik kondisi persepakbolaan kita yang sampai saat ini (harus diakui) masih jalan di tempat, tentu tidak akan ada marquee player seperti di Liga Super China, misalnya. Ini berarti, nilai perjudiannya sangat besar. Di China saja, Carlos Tevez dan Ezequiel Lavezzi yang termasuk dua marquee player termahal, penampilannya angin-anginan. Tak heran jika kedatangan Essien pun sempat diliputi keraguan.
Michael Essien tiba di markas Persib. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Selain itu, karakter marquee player di sini dengan yang ada di MLS atau A-League (Australia) pun berbeda. Di kedua kompetisi tersebut, kebanyakan marquee player adalah pemain yang masih berkelas dunia bahkan di usia senja sekalipun. Lihat saja Andrea Pirlo di New York City FC dan Alessandro Del Piero di Sydney FC.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, mereka yang disebut marquee player di kedua liga tersebut tak selamanya merupakan pemain asing. Di MLS, ada nama-nama seperti Landon Donovan, Michael Bradley, dan Clint Dempsey. Kemudian, di A-League ada Harry Kewell dan Tim Cahill. Mereka adalah para pemain lokal yang sebelumnya pernah berprestasi di kancah lebih besar.
Indonesia memang tidak punya pemain seperti mereka. Akan tetapi, bagaimana dengan Cristian Gonzales, Bambang Pamungkas, atau Hamka Hamzah? Kelas mereka memang sebatas Asia Tenggara, tetapi siapa yang berani meragukan kemampuan mereka di kancah lokal?
Namun, terlepas dari segala pro-kontra dan berbagai kekurangan soal detail aturan yang masih perlu diselesaikan, kedatangan Essien memang berhasil untuk setidaknya menumbuhkan optimisme baru. Liga baru dengan pengurus PSSI baru ditambah kedatangan bintang sekelas Essien tentu membuat ekspektasi para pencinta sepak bola Indonesia membumbung.
ADVERTISEMENT
Kini, ada beberapa harapan yang bakal terus ditagih kepada seluruh pengurus persepakbolaan Indonesia. Pertama, bagaimana caranya agar seluruh janji pembenahan kompetisi, mulai dari soal wasit sampai salary cap, bisa benar-benar terlaksana. Kedua, dengan adanya marquee player dan salary cap ini, transparansi keuangan di klub-klub tentu harus jadi prioritas. Ketiga, bagaimana caranya agar kedatangan Essien ini tidak hanya manis di awal saja dan akhirnya benar-benar bisa menjadi lokomotif bagi gerbong yang berisikan pemain-pemain top dunia. Terakhir, dan yang paling penting, bagaimana caranya agar semua rencana perubahan itu mewujud di Timnas Indonesia.