Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Defoe Tidak Pernah Pergi, Kalianlah yang Berhenti Peduli
27 Maret 2017 14:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
"It's not a revival. You just stopped paying attention."
ADVERTISEMENT
Evan Thomas Weiss adalah salah satu alasan mengapa musik emo kembali mencuri perhatian. Sebelumnya, perlu ditegaskan bahwa emo di sini bukanlah emo yang biasa kalian dengar di MTV dulu. Emo yang ini adalah bagian tak terpisahkan dari jagat musik independen. Emo yang dilahirkan lewat jemari Ian MacKaye dan Joe Picciotto serta dibesarkan oleh falcetto Jeremy Enigk.
Dengan unit yang dia namai Into It. Over It., Weiss berusaha membangkitkan kembali subgenre musik satu itu setelah dikorup habis-habisan oleh Fall Out Boy dan sejawatnya. Upaya Weiss itu berhasil karena sejak 2014 lalu, muncullah apa yang disebut sebagai "Emo Revival". Kebangkitan kembali emo.
Namun, kata Weiss kepada kolomnis Pitchfork, Ian Cohen, "It's not a revival. You just stopped paying attention."
ADVERTISEMENT
Itu bukan kebangkitan kembali. Kalian saja yang berhenti peduli.
Dan benar. Sejatinya, meski sudah dikorup dan dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab oleh industri, ia tidak pernah enyah. Weiss, buktinya, sudah memulai itu semua sejak 2007, saat emo masih identik dengan eyeliner dan poni lempar. Atau Brand New. Unit veteran itu malah merilis magnum opus-nya, The Devil and God Are Raging Inside Me, pada era yang sama, tahun 2006 silam.
Setelah Fall Out Boy dan kawan-kawan perlahan lenyap dari peredaran, orang menganggap emo sudah tidak ada lagi dan mereka, tentu saja salah. Ia selalu ada jika kalian mau benar-benar mencari.
***
Jermain Defoe pun seperti itu. Pemanggilan kembali penyerang Sunderland itu dianggap sebagai sebuah kelahiran kembali. Namun, Defoe sebenarnya tidak pernah pergi ke mana-mana dan tidak pernah dilahirkan kembali. Kita saja yang berhenti peduli.
ADVERTISEMENT
"Kejatuhan" seorang Defoe terjadi ketika kariernya bersama Tottenham Hotspsur usai pada awal 2014 lalu. Ketika itu, Defoe sudah berusia 32 tahun dan memutuskan untuk bergabung dengan klub Major League Soccer (MLS), Toronto FC.
Kontrak empat tahun ketika itu disetujui pihak Toronto dan Defoe. Namun, hanya setengah musim berjalan, Defoe memutuskan kembali ke Inggris dan bergabung dengan Sunderland.
Dari Tottenham ke MLS lalu ke Sunderland. Keputusan karier yang diambil Defoe pada tahun 2014 ini juga tidak banyak membantu dirinya. Masalahnya, MLS adalah kompetisi untuk para bintang Eropa yang akan pensiun, sementara Sunderland adalah langganan zona degradasi. Defoe boleh jadi memang belum habis, tetapi dia ternyata sudah tidak mampu bersaing di level tertinggi lagi.
ADVERTISEMENT
Well, setidaknya begitulah anggapan khalayak dan rupanya, mereka salah besar. Bersama Sunderland yang tak berhenti saling menggoda dengan Divisi Championship, Defoe justru menjadi satu dari dua penyerang terbaik Inggris bersama Harry Kane.
Sebagai seorang pemain, Jermain Defoe memang tidak pernah jadi luar biasa. Dia tidak berada di level yang sama dengan Alan Shearer, Gary Lineker, atau bahkan Harry Kane. Namun, di sisi lain, dia juga tak pernah mengecewakan. Setidaknya begitu kalau dia diberi kesempatan. Dia seperti anak sekolah yang pintar sekali tidak, bodoh sekali juga tidak. Anak yang biasa-biasa saja, dan karena itulah dia jadi mudah terlewatkan.
Defoe, sejak dulu sebenarnya selalu konsisten, meski juga tidak spektakuler. Satu-satunya musim di mana dia tampil buruk adalah 2014/15 lalu, ketika dia pertama kali pindah ke Sunderland. Pada musim itu, dia tampil sebanyak 17 kali di Premier League, tetapi hanya mampu mencetak empat gol. Dengan 1.457 menit bermain, dia butuh 364 menit (sekitar empat pertandingan) untuk mencetak satu gol.
ADVERTISEMENT
Namun, hal itu dapat dia benahi pada dua musim terakhir. Koleksi 29 golnya sejauh ini menjadi bukti. Dari 5.063 menit bermain yang sudah dilalui, Defoe butuh 174 menit untuk mencetak satu gol. Catatan ini hampir menyamai rekor miliknya di Tottenham dulu. Sejak 2009/10 sampai 2013/14, Defoe bermain dalam 9.347 menit dan butuh 167 menit untuk menyarangkan satu gol. Kalau pun catatannya di Sunderland sedikit lebih buruk, itu wajar karena Sunderland adalah tim papan bawah, sementara Tottenham selalu ada di sepuluh besar.
Perjalanan karier Defoe ini sebetulnya mirip dengan apa yang membuat dirinya begitu menakutkan. Dengan perawakan kecil, teknik olah bola yang biasa saja, dan kecepatan yang walau ada tetapi tidak utama, dia jadi mudah untuk tak diacuhkan. Tetapi, ketika lawan lengah, dia akan selalu ada untuk menghukum.
ADVERTISEMENT
Defoe sendiri merupakan bagian dari generasi emas akademi West Ham United yang melahirkan Joe Cole dan Michael Carrick. Sebelumnya, dari sana juga sudah muncul Rio Ferdinand dan Frank Lampard. Dari semua nama itu, hanya Defoe-lah yang belum pernah merasakan gelar juara liga. Prestasi terbaik Defoe hanyalah juara Piala Liga pada tahun 2009 lalu bersama Tottenham.
Lagi-lagi, Defoe memang tidak buruk, tetapi dia jauh dari kata eksepsional. Bahkan, Joe Cole pun pernah dianggap sebagai salah satu gelandang serang terbaik di Eropa. Sementara, kapasitas Carrick, Lampard, dan Ferdinand sudah tak perlu lagi diperdebatkan. Walau begitu, terlepas dari segala kekurangan dan keterbatasannya, Jermain Defoe adalah sosok penyerang yang dapat diandalkan. Keberhasilan Sunderland lolos dari degradasi musim lalu pun tak bisa dilepaskan dari peran pemain 34 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang pun, Sunderland masih amat bergantung kepadanya. Ada 24 gol yang sudah dibikin "Si Kucing Hitam" musim ini dan 16 di antaranya (14 gol dan 2 assist) lahir karena peran Defoe.
Performa ini akhirnya membuat Defoe kembali dilirik oleh Timnas Inggris. Dengan absennya Harry Kane akibat cedera engkel, manajer Gareth Southgate tak punya pilihan lain kecuali untuk kembali peduli. Dan, karena Defoe adalah Defoe, saat kesempatan itu datang, dia pun tidak menyia-nyiakannya. Ditemani maskot baru Timnas Inggris, Bradley Lowery, saat berjalan ke lapangan, satu gol berhasil dia torehkan pada laga melawan Lithuania, Senin (27/3) dini hari tadi.