Masih Percaya Sama DPR?

I Putu Yoga Saputra
S2 Magister Administrasi Publik, Universitas Nasional - Juru Bicara Muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
Konten dari Pengguna
7 April 2023 19:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Yoga Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semua mata menyaksikan dengan saksama apa yang terjadi di Rapat Dengar Pendapat Umum antara DPR RI komisi III bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM. Ada beberapa hal yang mungkin membuat penulis sedikit terheran-heran dengan para anggota DPR RI yang terhormat.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah saat momentum Mahfud MD meminta DPR RI dalam hal ini adalah ketua Komisi III Dr. Bambang Wuryanto, M.T. untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset.
Dalam momen tersebut, Dr. Bambang Wuryanto, M.T.—atau yang kerap disapa dengan Bambang Pacul—secara terbuka mengatakan bahwa jika ingin RUU Perampasan aset ini selesai, ia meminta untuk melobi para ketum-ketum partai, karena ia mengatakan Bahwa DPR RI yang ada di ruangan semuanya tergantung perintah ketua umum partai.
Hal tersebut menjadi polemik dan membuat penulis untuk mencoba menuliskan beberapa opini tentang apa yang terjadi pada saat RPDU antara DPR RI bersama Mahfud MD beserta jajaran. Asumsi dan pertanyaan awal yang terlontar adalah, sebenernya DPR RI ini mewakili rakyat atau mewakili ketua umum partai?
ADVERTISEMENT
Pasalnya, ketika ada aspirasi tentang RUU Perampasan Aset, pengusul malah diminta untuk melobi para ketua Umum Partai Politik. Mari kita coba tinjau kembali apa yang menjadi fungsi dan wewenang DPR RI, jika melihat fungsi legislasi terdapat enam poin.
Adapun keenam poin tersebut yaitu, Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah).
Kemudian, Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD, Menetapkan UU bersama dengan Presiden, dan Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU.
ADVERTISEMENT
Apapun itu alasannya, fungsi legislasi adalah untuk menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU). Dalam tugas legislasi tersebut, sama sekali tidak tercantum diksi Bahwa Rancangan Undang-Undang harus melalui persetujuan Ketua Umum Partai terlebih dahulu.
Tentu hal tersebut sangatlah menggelitik kita semua sebagai Masyarakat umum. Terlebih jika kita kembali melihat tugas dan wewenang DPR RI lainnya seperti, menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Juga tugas memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial, Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain, memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD, memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden, memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.
ADVERTISEMENT
Poin Penting dalam tugas dan wewenang DPR RI yang berkaitan dengan kasus pengusulan RUU Perampasan Aset adalah tentang menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.
Berdasarkan laporan Transparency Internasional terbaru menunjukkan indeks persepsi korupsi (IPK) tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022 yang menjadi negara terkorup ke-5 di Asia. Artinya, masalah korupsi di negara kita masih berstatus darurat dan dibutuhkan regulasi yang dapat membuat para koruptor kapok dalam melakukan kejahatannya.
RUU Perampasan aset dapat menjadi sebuah solusi di tengah status kedaruratan korupsi yang terjadi di negara kita. Karena dalam Rancangan Undang-Undang tersebut, memiliki kewenangan dalam merampas asset-aset para koruptor dan dikembalikan ke Negara menjadi sebuah aset Negara.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, koruptor di Indonesia itu tidak takut dengan hukuman-hukuman yang ada di negara kita, namun lebih takut jika para koruptor ini dimiskinkan. Logikanya, Jika para koruptor di penjara dengan nominal korupsi tertentu, namun hasil uang yang dikorupsi tidak disita oleh negara bukannya akan sama saja?
Hal tersebutlah yang membuat Rancangan Undang-Undang Perampasan aset dianggap menjadi hal yang penting dalam mengatasi kedaruratan negara dalam hal tindak pidana korupsi, pencucian uang dan harta pejabat yang tak wajar.
Namun apalah daya kita sebagai Masyarakat jika berharap banyak kepada DPR RI yang kita lihat sendiri bagaimana komitmen mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Dewan perwakilan rakyat.
Tulisan ini dibuat untuk menjadi pendiskusian kita bersama, bagaimana masa depan lembaga legislatif kita, bagaimana setiap aspirasi rakyat dapat tertampung dengan baik.
ADVERTISEMENT