Konten dari Pengguna

Sharenting dan Privasi Anak: Sampai Mana Batas Berbagi di Era Digital?

Yona May Rahayu
MA Digital Technology, Communication, and Education - University of Manchester ll Education and Learning Content Specialist.
17 Agustus 2023 10:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yona May Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto anak di media sosial. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto anak di media sosial. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sebuah fenomena baru yang muncul di tengah pesatnya era digital adalah 'sharenting' atau sharing parenting. Di mana orang tua sering membagikan kegiatan anak-anak mereka di media sosial untuk dibagikan kepada khalayak umum atau pengguna media sosial lainnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini terlihat sebagai sesuatu yang membanggakan dan membahagiakan bagi orang tua. Namun, sejauh mana sebenarnya dampak dari tindakan para orang tua tersebut dalam melakukan sharenting?
Di balik banyaknya 'like' dan juga komentar dalam konten anak yang dibagikan di media sosial, terdapat pertimbangan mendalam terkait privasi, keamanan, dan dampak jangka panjang pada kesehatan mental anak.
Di Indonesia sendiri, konten yang berkaitan dengan anak banyak tersebar di berbagai media sosial, seperti TikTok, Instagram, Facebook, maupun Twitter. Tak jarang, konten yang berkaitan dengan anak tersebut justru diunggah oleh orang tua dari si anak. Mulai dari foto dan video anak saat dalam kandungan yang ditandai dengan maternity photoshoot, lalu newborn photoshoot saat si anak baru saja lahir di dunia, dan juga family photoshoot yang dilakukan bersama seluruh anggota keluarga.
ADVERTISEMENT
Seluruh foto dan video tersebut mengekspos raut wajah, aktivitas, bahkan tak jarang juga data-data penting seperti tanggal kelahiran dan juga alamat lengkap yang diunggah oleh orang tua sebagai konten di media sosial.
Padahal, hal tersebut juga memiliki ancaman terhadap data dan keamanan anak. Sudah banyak studi yang menyebutkan bahwa anak-anak merupakan individu yang paling rentan terhadap eksploitasi di dunia maya, karena mereka belum bisa memberikan persetujuan sendiri sejauh mana foto atau video mereka dapat diunggah di media sosial. Selain itu, mereka juga belum terlalu paham atas dampak yang dapat ditimbulkan dari konten tersebut.
Dalam hal ini, orang tua memiliki peran yang sangat penting, yaitu selaku guardian bagi anak untuk memberikan persetujuan atau consent yang mewakili anak atas perlindungan data mereka di dunia digital.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara seperti Indonesia dan United Kingdom, orang tua memiliki peran sebagai guardian sampai usia anak mencapai 13 hingga 18 tahun atau paling tidak sampai anak mengerti bagaimana memberikan persetujuan terhadap data mereka sendiri.
Namun, ironisnya, yang menjadi sebuah isu adalah orang tua yang seharusnya menjadi pelindung terhadap data-data anak justru cenderung mengumbarnya di media sosial yang menjurus pada eksploitasi konten anak pada akun media sosial mereka pribadi.

Motif Orang Tua Membagikan Konten Anak di Media Sosial

Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
Beberapa penelitian (Latipah et al., 2020; Briazu et al., 2021) menyebutkan ada beberapa faktor terjadinya Sharenting serta motif dari orang tua untuk membagikan foto atau video anak-anak mereka di media sosial.
ADVERTISEMENT
Motif yang paling sering dilakukan oleh orang tua adalah untuk mencari komunitas di dunia maya, dengan tujuan para orang tua bisa saling memberikan komentar dan masukan tentang dunia parenting.
Orang tua juga membutuhkan support system dalam membesarkan dan mendidik anak mereka, sehingga mereka juga perlu saling belajar dengan orang tua lainnya. Dengan media sosial, mereka merasa akan lebih mudah untuk berbagi cerita tentang anak-anak mereka.
Selain itu, faktor kedua yang menyebabkan orang tua membagikan foto atau video anaknya di media sosial adalah untuk mendapatkan validasi dari orang lain. Layaknya manusia biasa yang membutuhkan validasi dan eksistensi, orang tua juga butuh pengakuan tersebut dari dunia luar melalui likes dan juga komentar pada konten mereka.
ADVERTISEMENT
Bagi orang tua, menjadi figur yang bisa diteladani dalam membesarkan anak-anak mereka melalui ilmu parenting adalah hal yang membanggakan karena sejatinya mereka juga ingin diakui menjadi ibu dan ayah yang baik. Oleh sebab itu, cara pintas yang bisa dilakukan adalah dengan membagikan momen tumbuh kembang anak mereka di platform media sosial yang mereka miliki.
Selain itu, motif selanjutnya dari sharenting adalah bahwa orang tua ingin menyimpan momen tumbuh kembang anaknya dalam digital gallery. Jika dulu banyak orang menyimpan foto atau video di galeri ponsel masing-masing dan hanya dapat dilihat secara pribadi, maka saat ini rekaman tersebut bisa disimpan secara online dan dibagikan dengan orang sekitar.
Hal tersebutlah yang mendorong para orang tua mengunggah foto atau video anak mereka di media sosial dengan alasan hanya untuk menyimpannya di dunia maya, sehingga dapat mereka bagikan ke keluarga dan juga teman secara online.
ADVERTISEMENT
Beberapa motif tersebut memang beragam; orang tua memiliki alasan tersendiri mengapa mereka ingin mengunggah dan membagikan konten anak-anak mereka di media sosial. Namun, yang menjadi pertimbangan di sini adalah, apakah mereka juga telah memikirkan dampak dari tindakan mereka tersebut?

Dampak Sharenting di Media Sosial pada Anak

Ilustrasi Ayah mengambil foto anak. Foto: LightField Studios/Shutterstock
Dampak sharenting pada anak tidak hanya terjadi pada saat anak masih kecil, namun juga memiliki efek jangka panjang. Sejumlah studi menyebutkan bahwa dampak pada anak dapat berbentuk dua hal besar, yaitu keamanan dan kesehatan mental mereka.
Keamanan menjadi hal yang utama karena berkaitan dengan data pribadi anak yang telah disebarluaskan di media sosial. Data-data tersebut yang seharusnya dirahasiakan menjadi data sensitif; data yang jika tersebar tanpa persetujuan dapat menimbulkan efek berbahaya, justru disebarluaskan oleh orang tua di platform global yang dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Dengan demikian, keamanan anak menjadi taruhan atas tindakan orang tua yang kurang waspada terhadap data-data mereka.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dampak jangka panjang yang kurang disadari oleh orang tua adalah isu kesehatan mental pada anak. Ketika orang tua membagikan aktivitas anak mereka di media sosial, si anak belum mengerti dan paham sehingga mereka tidak dapat memilih konten mana yang boleh atau tidak boleh dibagikan.
Namun, saat anak dewasa, mereka melihat jejak digital yang cenderung bersifat permanen, akan selalu ada kemungkinan bahwa mereka merasa tidak nyaman atau bahkan malu. Menurut studi dari Adawiah et al., (2021) dan Lavorgna et al., (2023), konten anak yang orang tua bagikan di media sosial cenderung menjadi bahan 'bullying' bagi anak nantinya.
Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi kesehatan mental anak di usia dewasa. Terlebih, jika ternyata tumbuh kembang anak mengalami keterlambatan, mereka akan cenderung menjadi bahan perbandingan dengan anak lain, dan hal tersebut dapat memberikan efek inferioritas pada anak dan menggerus kepercayaan diri mereka.
ADVERTISEMENT

Apa yang Bisa Orang Tua Lakukan?

Ilustrasi kedekatan orang tua dan anak. Foto: LightField Studios/Shutterstock
Hal-hal semacam ini harus menjadi pertimbangan mendalam bagi orang tua sebelum membagikan foto atau video anak di media sosial. Orang tua perlu memitigasi risiko yang bisa ditimbulkan. Selain memiliki literasi digital, orang tua juga perlu memiliki kesadaran penuh atas pemilihan konten yang akan mereka bagikan.
Memang, membagikan momen kebersamaan antara orang tua dan anak atau mengabadikan momen tumbuh kembang anak adalah sesuatu yang membahagiakan. Namun, sudah saatnya orang tua dapat memilah konten apa yang akan mereka unggah atau menjadi koleksi pribadi demi keamanan dan kesehatan mental anak di masa depan.
Seperti, menghindari mengunggah data pribadi anak yang sensitif dan tidak mengekspos wajah anak secara berlebihan. Orang tua juga bisa membatasi visibilitas konten anak, misal hanya dibagikan dalam fitur "close friends", memfilter pengikut di media sosial, atau menggunakan fitur pribadi.
ADVERTISEMENT
Orang tua perlu mempertimbangkan persetujuan dari anak sebelum membagikan konten tentang si anak, jika mereka sudah dapat dimintai persetujuan.
Jika anak belum bisa dimintai persetujuan, maka orang tua perlu mengkaji ulang konten yang akan mereka bagikan. Tindakan-tindakan tersebut diharapkan dapat menjaga data pribadi, keamanan, dan kesehatan mental anak di masa depan.