Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
RUU ASN: Pendelegasian Kewenangan dan Celah Subjektivitas
25 April 2025 14:11 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Yudha Pradana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Wacana RUU ASN
Teks Pasal 30 UU No 20 Tahun 2023 (UU ASN Saat Ini)
ADVERTISEMENT
Analisis terhadap ayat-ayat dalam Pasal 30 ini mengungkapkan beberapa poin penting. Ayat (1) menunjukkan bahwa pendelegasian kewenangan dari Presiden bersifat diskresioner ("dapat mendelegasikan"), memberikan fleksibilitas namun juga potensi inkonsistensi atau pengaruh pertimbangan non-teknis dalam penentuan sejauh mana dan kepada siapa wewenang didelegasikan. Pejabat yang Berwenang (PyB) ini tersebar di berbagai level instansi, termasuk pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Ayat (2) dan (5) secara eksplisit mencantumkan Sistem Merit sebagai landasan pelaksanaan fungsi Manajemen ASN oleh PyB. Kewajiban untuk berkonsultasi dengan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yang biasanya adalah Menteri/Kepala Lembaga di tingkat pusat atau Kepala Daerah di tingkat daerah, juga diatur dalam Ayat (2). Ini merupakan safeguard formal yang bertujuan memastikan adanya koordinasi dan kepatuhan terhadap prinsip meritokrasi.
Namun, Ayat (3) dan (4) menunjukkan bahwa peran PyB seringkali bersifat mengusulkan atau memberikan rekomendasi kepada PPK, khususnya untuk pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian sebagian besar Pegawai ASN (di luar PPT Utama, Madya, dan Fungsional Tertinggi). Meskipun PyB memiliki peran signifikan dalam proses awal, keputusan akhir untuk banyak posisi ASN tampaknya masih berada di tangan PPK. Ini menciptakan dinamika hubungan antara PyB dan PPK yang bisa dipengaruhi oleh faktor selain merit.
ADVERTISEMENT
Usulan Revisi Pasal 30 dan Implikasinya
Wacana revisi UU ASN yang mengemuka pada tahun 2025 secara spesifik menargetkan perubahan pada Pasal 30. Fokus utama perubahan ini adalah menarik kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian untuk jabatan-jabatan strategis di tingkat daerah dan pusat, yaitu PPT Pratama (mencakup Kepala Dinas provinsi/kabupaten/kota, Sekretaris Daerah kabupaten/kota, Kepala Biro di kementerian, Direktur di bawah Dirjen) dan PPT Madya (mencakup Dirjen, Sekda Provinsi, Irjen, Deputi, Staf Ahli Menteri), menjadi kewenangan langsung Presiden. Saat ini, kewenangan untuk PPT Pratama di daerah berada di tangan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai PPK.
Implikasi dari usulan revisi ini sangat signifikan. Pertama, terjadi sentralisasi kekuasaan yang kuat dalam manajemen ASN. Kewenangan yang sebelumnya terdistribusi antara pusat dan daerah (PPK) ditarik ke satu titik, yaitu Presiden. Hal ini secara langsung memotong atau mengurangi peran otonomi daerah dalam mengelola sumber daya manusia birokrasinya sendiri, sebuah aspek penting dalam prinsip desentralisasi.
ADVERTISEMENT
Kedua, terdapat argumen pendukung di balik usulan ini. Beberapa pihak, termasuk dari Komisi II DPR, menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk menyeragamkan proses manajemen ASN secara nasional, memberikan kesempatan karier yang lebih luas bagi ASN daerah untuk berkiprah di tingkat pusat sebagai bentuk apresiasi kinerja, dan terutama untuk mengatasi masalah netralitas ASN dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Netralitas ASN eselon II di daerah dinilai sulit terwujud karena adanya tekanan loyalitas kepada kepala daerah petahana yang merupakan PPK mereka.
Ketiga, muncul pula argumen kontra yang kuat terhadap usulan revisi. Kritikus menilai bahwa sentralisasi ini bertentangan dengan semangat konstitusi UUD 1945 yang menjunjung tinggi desentralisasi dan otonomi daerah. Ada kekhawatiran bahwa potensi politisasi ASN tidak hilang, melainkan hanya bergeser dari tekanan politik lokal menjadi potensi politisasi oleh Presiden atau lingkaran kekuasaan pusat, yang dampaknya bisa lebih sistematis dan luas. Urgensi revisi ini juga dipertanyakan, mengingat UU ASN baru saja diubah pada 2023 dan alasan netralitas Pilkada dinilai kurang relevan karena sudah diatur dalam UU lain. Selain itu, sentralisasi ini dianggap akan merepotkan kepala daerah dalam membentuk tim kerja yang solid dan responsif, karena proses penggantian pejabat yang tidak berkinerja baik harus melalui mekanisme pusat yang mungkin lambat dan birokratis. Bahkan Menteri PANRB saat itu menyatakan bahwa sentralisasi ASN secara penuh memerlukan revisi UU Pemerintah Daerah, tidak cukup hanya UU ASN.
ADVERTISEMENT
Perbandingan Pasal 30 UU ASN (UU 20/2023 vs. Usulan Revisi)
Identifikasi Potensi Celah Subjektivitas
Baik dalam kerangka Pasal 30 saat ini maupun dalam usulan revisinya, terdapat potensi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif, termasuk favoritisme dan 'like-dislike'.
Dalam Pasal 30 Saat Ini:
Interaksi PyB-PPK: Proses konsultasi antara PyB dan PPK (Ayat 2) serta pemberian rekomendasi/usulan (Ayat 3) merupakan arena potensial bagi masuknya subjektivitas. Hubungan personal, afiliasi politik, atau dinamika kekuasaan antara kedua pejabat ini dapat memengaruhi substansi rekomendasi dan keputusan akhir, mengesampingkan pertimbangan merit.
Pengawasan Implementasi Merit: Meskipun Ayat (5) mewajibkan PyB menerapkan Sistem Merit, efektivitas pengawasan terhadap kewajiban ini di lapangan seringkali menjadi pertanyaan. Tanpa pengawasan yang kuat dan sanksi yang jelas, kewajiban ini bisa menjadi sekadar formalitas.
ADVERTISEMENT
Dalam Usulan Revisi
Sentralisasi Subjektivitas: Penarikan kewenangan ke Presiden memindahkan potensi subjektivitas dari level daerah/instansi ke level pusat. Keputusan Presiden, atau pejabat tinggi yang ditunjuk untuk membantunya, bisa sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik nasional, kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, atau bahkan preferensi personal ('like-dislike') terhadap calon pejabat.
Risiko Politisasi Pusat: Argumen bahwa revisi ini akan mengatasi politisasi lokal perlu diimbangi dengan kesadaran akan risiko politisasi dari pusat. Sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan yang tersentralisasi dapat digunakan untuk konsolidasi politik. Presiden dapat menggunakan wewenang barunya untuk menempatkan orang-orang loyal di posisi strategis di seluruh negeri, yang mungkin lebih sistematis daripada politisasi lokal yang sporadis.
Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pengambilan keputusan yang sangat terpusat pada Presiden berpotensi menjadi kurang transparan dan lebih sulit diakses atau diawasi oleh publik, masyarakat sipil, atau bahkan lembaga perwakilan di daerah. Mekanisme akuntabilitasnya menjadi lebih buram.
ADVERTISEMENT
Paradoks Sentralisasi dan Subjektivitas
Usulan revisi Pasal 30 ini menghadirkan sebuah paradoks yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Di satu sisi, narasi yang dibangun adalah bahwa sentralisasi ini bertujuan untuk menyeragamkan standar dan memperkuat meritokrasi secara nasional dengan cara mengurangi atau menghilangkan pengaruh politik dan subjektivitas di tingkat lokal. Logika ini mengasumsikan bahwa keputusan di tingkat pusat akan lebih objektif dan berbasis merit.
Namun, di sisi lain, dengan memusatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang begitu krusial pada satu titik (Presiden), revisi ini justru secara signifikan meningkatkan potensi dampak jika subjektivitas (apakah itu favoritisme berdasarkan kedekatan personal, pertimbangan politik partisan, atau 'like-dislike') berhasil menyusup ke dalam proses di tingkat pusat. Jika keputusan Presiden atau lingkaran dalamnya bias, maka bias tersebut akan bereplikasi secara nasional, memengaruhi pengisian jabatan PPT Pratama dan Madya di seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Berbeda dengan subjektivitas lokal yang dampaknya mungkin terbatas pada satu instansi atau daerah, subjektivitas di tingkat pusat memiliki jangkauan yang jauh lebih luas.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pengawasan terhadap pelaksanaan wewenang yang tersentralisasi ini menjadi lebih krusial, namun pada saat yang sama mungkin menjadi lebih sulit. Mengawasi keputusan ratusan PPK di daerah dan instansi memang kompleks, tetapi melibatkan banyak aktor pengawas potensial (internal, KASN, Ombudsman, DPRD, media lokal, masyarakat sipil lokal). Sebaliknya, mengawasi keputusan Presiden atau pejabat yang bertindak atas namanya menghadirkan tantangan politik yang jauh lebih besar bagi lembaga pengawas seperti KASN. Dengan demikian, upaya untuk mengatasi satu bentuk potensi subjektivitas (lokal) melalui sentralisasi dapat secara tidak sengaja membuka pintu bagi bentuk subjektivitas lain (pusat) yang dampaknya bisa lebih merusak dan lebih sulit dikendalikan. Ini adalah pertukaran risiko (risk trade-off) yang fundamental dan perlu dipertimbangkan secara mendalam sebelum revisi dilakukan.
ADVERTISEMENT
Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun pada Senin pagi (21/4) akibat stroke dan gagal jantung. Vatikan menetapkan Sabtu (26/4) sebagai hari pemakaman, yang akan berlangsung di alun-alun Basilika Santo Petrus pukul 10.00 pagi waktu setempat.