Konten dari Pengguna

Banjir Politik dalam Politik Banjir di Ibu Kota

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
3 Januari 2020 7:13 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Hertanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi banjir. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi banjir. Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Meluap! Awal tahun baru diiringi dengan hujan lebat. Walhasil limpasan air liar bergerak dari hulu. Tidak hanya Ibukota, wilayah sekitarnya pun bernasib serupa. Sekurangnya, beberapa titik di Tangerang, Depok dan Bekasi ikut terendam.
ADVERTISEMENT
Kita perlu sampaikan simpati pada seluruh korban banjir, serta mendorong pengerahan bantuan untuk dapat sampai ke lokasi sasaran yang terdampak
Meski begitu, tampaknya hanya di Ibukota, fenomena banjir mendapat sorotan yang sangat kuat. Momentum banjir mendapatkan muara politik. Wajar saja. Luapan air bercampur sumpah serapah terlihat di sosial media.
Tidak pelak, banjir ini seolah membuka kembali luka yang membekas sisa kontestasi Pilkada DKI 2017. Gubernur Anies menjadi bahan bully, bahkan diplesetkan menjadi Gabener, lebih jauh lagi disebut Wan Abud, Kadrun bahkan Onta Arab. Caci maki adalah normalitas kita saat ini, memilukan.
Batas intoleransi dan rasisme, sedemikian tipis, sering bertukar posisi selaras dengan tekanan kepentingan. Tentu menjadi bahan lelucon dan olok-olok adalah bagian dari resiko pemimpin, sekaligus moment of truth ujian kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Manajemen Krisis
Jika merujuk linimasa media sosial, berbagai tagar menunjukkan perdebatan publik. Pembela dan pencela memberikan basis argumentasinya. Dalam pendekatan komunikasi publik, bencana alam berdekatan dengan periode krisis.
Dengan begitu perlu dilakukan penanganan yang terpadu dalam melewati fase krisis. Publik memiliki hak dalam menilai. Tetapi bila tidak mampu direspon dengan sigap, bisa jadi bencana alam berubah menjadi bencana politik.
Peran public relations menjadi penting. Terlebih, karena intensi Ibukota sebagai etalase dari wajah sebuah negara melekat. Harus disadari fase krisis, merupakan kombinasi dari ancaman sekaligus peluang (Firsan Nova, PRWar, 2014). Jika dapat ditangani dengan baik, citra merek tidak hanya akan pulih tetapi mendapatkan simpati positif, demikian pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Perang opini publik terjadi. Entitas yang terbelah, di sosial media, relatif dipenuhi dengan sentimen dominan yang negatif pada kinerja Gubernur. Bahkan mencoba melakukan perbandingan atas kerja Gubernur sebelumnya. Bersikap pasif dalam situasi krisis tentu dapat berakibat fatal.
Dibutuhkan pengelolaan krisis yang terpadu secara koordinatif bagian-bagian terkait. Perlu ditunjuk dan ditugasi untuk memberikan informasi secara reguler. Pengelolaan seluruh langkah-langkah taktis dan teknis, harus diinformasikan secara meluas ke publik, termasuk update apa yang telah dan akan dilakukan.
Sebaiknya, merangkul sebanyak mungkin media, termasuk di sosial media. Bersikap defensif sama buruknya dengan terlalu ofensif. Pemerintah daerah, harus mampu membangun relasi terbaiknya untuk mengamplifikasi tindakan melalui media. Bila tidak, periode krisis menjadi pertaruhan brand image.
ADVERTISEMENT
Wajah Ibu kota
Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor (kanan) saat meninjau lokasi rencana ibu kota baru di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kaltim. Foto: Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
Mengapa kepemimpinan begitu mendapatkan sorotan tajam? Tentu saja karena beban tanggung jawab yang terletak di pundaknya. Bahwa penyebab banjir adalah aspek multidimensi adalah soal yang berbeda, sebab publik hanya akan terfokus pada apa yang dilakukan pemimpin. Begitu logika rasionalnya.
Banjir kali ini perlu serius ditangani. Bukan tidak mungkin, atas musabab banjir tersebut, akan terdapat alasan kuat untuk membenarkan pilihan pemindahan Ibukota, sebagai konsekuensi mengatasi beban berat Jakarta. Opsi solusi yang melompat, terlampau menyederhanakan persoalan.
Mimpi Ibukota, adalah puncak tertinggi dari imajinasi kota-kota. Dimana Ibukota memiliki keistimewaan lebih dari sebuah kota, yang menjadi lingkup interaksi dan teritori sosial. Ibukota menampilkan wajah representasi atas kompleksitas seluruh sendi kehidupan. Mulai dari ranah ekonomi, sosial bahkan politik.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, seluruh harapan terbaik terletak pada Ibukota. Beban yang dipikulnya semakin berat. Pada kajian mengenai berbagai Ibukota, ketidakmampuan untuk mewujudkan visi komunal perkotaan, mengakibatkan kegagalan pembangunan, baik fisik maupun manusianya.
Konversi lahan serapan, batas antara ruang ekonomi dan residensial yang tidak direncanakan secara matang, mengakibatkan tumpang tindih wilayah pengembangan, adalah tantangan terbesarnya. Termasuk soal kepentingan ekonomi politik, dari para aktor yang bercokol di Ibukota.
Konsekuensi logis, perkembangan kota menjadi Ibukota, adalah daya tarik dan daya pikat bagi arus massif urbanisasi -urban sprawl. Maka densitas penduduk akan semakin mengalami kepadatan, batas ruang akan semakin bercampur, disertai berkurangnya wilayah spasial ruang publik.
Pada persoalan itu, leadership mendapatkan ujian. Menyeimbangkan kapasitas ruang, dan mengoptimalisasi fungsi wilayah, ditambah dengan keharusan untuk melakukan pendekatan manusiawi pada seluruh penduduk yang datang.
ADVERTISEMENT
Populasi di Ibukota adalah social capital yang harus dapat dipergunakan secara baik. Bila jumlah yang bertambah tersebut tidak di maksimalisasi, bisa berubah menjadi hal yang destruktif. Kepadatan penduduk dapat menimbulkan tingkat stress yang tinggi, bahkan gesekan sosial (Eko Laksono, Metropolis Universalis, 2013).
Banjir menjadi periode belajar yang mahal bagi semua. Mengubah diri dari blaming culture menjadi learning culture. Termasuk kepada free rider yang menggunakan momen banjir sebagai arena pertarungan kepentingan.
Refleksi Politik
Banjir di Ibukota kali ini bukan sekedar genangan. Sekaligus luapan. Sisipan politik tidak dapat dihindarkan. Momentum bencana, sekaligus momen politik. Menempatkan citra semata adalah kesalahan. Tampilan heroik dan dramatik yang diskenariokan, tidak perlu dimunculkan.
Kali ini, ketulusan dan kejujuran menjadi modalitas penting. Kapitalisasi isu oleh buzzer sosial media, perlu direspon melalui aksi nyata. Dibutuhkan penempatan juru bicara dari penanganan bencana banjir, lintas bagian secara terstruktur.
ADVERTISEMENT
Peranan media mainstream tidak kalah pentingnya, untuk membantu menjelaskan duduk perkara. Terutama guna menjawab, terkait berbagai tuduhan yang mengakibatkan terjadinya bencana. Memenangi opini dan persepsi publik, mengatasi bias informasi.
Lebih jauh dari itu, orientasi kepada bantuan bagi korban terdampak banjir harus disegerakan, tersalurkan dan tersampaikan mengatasi beban penderitaan. Agar harapan di tahun yang baru, tidak hilang tersapu gelombang banjir yang melanda.
Sejatinya pemimpin, harus mampu menempatkan langkah konkrit mengatasi masalah banjir, dengan bertumpu pada kepentingan korban sebagai aspek tertinggi dari nilai kemanusiaan. Hal tersebut perlu diingatkan, lebih dari sekedar polesan citra politik.
Sehingga dapat mengubah wajah metropolis, tidak menjadi parasitopolis - kota penuh kejahatan sosial, atau tiranopolis -kota tirani absolut, bahkan necropolis -kota kematian, karena kekuasaan melupakan persoalan kemanusiaan. Menjadikan Ibukota yang memanusiakan manusia! Jelas dibutuhkan kerja lebih keras.
ADVERTISEMENT