Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
5 Dampak Nyata Kebijakan Trump yang Bikin Laba Shell Anjlok 35%
3 Mei 2025 15:28 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yudhi Mada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Raksasa minyak dan gas, Shell, melaporkan penurunan laba bersih sebesar 35% pada kuartal pertama 2025. Penurunan ini dipicu oleh pelemahan harga minyak global, yang sebagian besar disebabkan oleh kebijakan tarif kontroversial mantan Presiden AS, Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Laporan keuangan Shell yang dirilis pada Jumat menunjukkan bahwa laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham turun menjadi US4,8 miliar dari US7,4 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan total perusahaan juga mengalami penurunan sebesar 6%, dari US74,7 miliar menjadi US70,2 miliar.
"Para pelaku pasar khawatir bahwa tarif baru yang dikenakan oleh pemerintahan Trump akan menekan permintaan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya memukul harga komoditas seperti minyak," demikian penjelasan dalam laporan Shell, dikutip dari Reuters.
Kebijakan tarif Trump, yang dianggap "gila" oleh banyak pihak, telah menciptakan ketidakpastian di pasar global dan memicu kekhawatiran akan perlambatan ekonomi. Hal ini berdampak langsung pada harga minyak mentah, yang menjadi salah satu faktor utama penurunan laba Shell.
ADVERTISEMENT
Meskipun laba Shell mengalami penurunan signifikan, hasil kuartal pertama ini masih mampu melampaui ekspektasi analis. Dalam upaya untuk menjaga kepercayaan investor, Shell mengumumkan program pembelian kembali saham (buyback) sebesar US$3,5 miliar selama 3 bulan ke depan.
"Hasil ini memberikan kami kepercayaan diri untuk memulai kembali program buyback sebesar US$3,5 miliar selama kuartal berikutnya," ujar CEO Shell, Wael Sawan, dalam pernyataannya.
Penurunan laba Shell ini merupakan kelanjutan dari tren yang terjadi sepanjang 2024, di mana laba bersih tahunan perusahaan turun 17%, juga akibat dari harga minyak yang terus melemah. Untuk menjaga profitabilitas, Shell dan pesaing utamanya seperti BP telah mulai menarik diri dari sejumlah komitmen iklim dan berfokus kembali pada sektor minyak dan gas.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, Shell mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan memimpin pengembangan proyek-proyek angin lepas pantai (offshore wind) baru. Strategi ini menandai perubahan signifikan dari fokus sebelumnya yang lebih pro-lingkungan dan transisi energi.
Di sisi lain, BP, salah satu kompetitor utama Shell, juga melaporkan hasil yang tidak menggembirakan minggu ini. Perusahaan tersebut mencatatkan penurunan laba bersih hingga 70% pada kuartal pertama, hanya meraih US$687 juta. Penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh melemahnya penjualan gas.
Penurunan laba Shell dan BP menunjukkan dampak signifikan dari ketidakpastian ekonomi global, yang diperparah oleh kebijakan tarif Trump. Perusahaan-perusahaan energi besar ini terpaksa menyesuaikan strategi mereka untuk menghadapi tantangan pasar yang berubah dengan cepat
Aksi 'gila' Donald Trump dengan kebijakan tarif dan proteksionismenya terbukti memukul raksasa energi dunia. Baru-baru ini, Shell melaporkan penurunan laba bersih 35% di Q1 2025, dan ini adalah dampak langsung dari gejolak yang diciptakan Trump.
ADVERTISEMENT
1. Harga Minyak Dunia Anjlok Akibat Ketakutan Resesi
- Kebijakan tarif impor Trump 145% untuk barang China dan ancaman tarif baru ke Eropa picu kekhawatiran resesi global.
- Harga minyak mentah jatuh 18% sejak awal 2025 karena pasar khawatir permintaan energi melemah.
- Shell sebagai produsen terbesar ikut terpukul, pendapatan turun US$4,5 miliar dalam 3 bulan.
2. Shell Terpaksa Batalkan Proyek Energi Hijau, Kembali ke Minyak
- Tahun lalu, Shell hentikan investasi di offshore wind karena tidak ekonomis.
- Kini, mereka fokus lagi pada eksplorasi minyak & gas untuk selamatkan pendapatan.
- Strategi ini jadi bumerang karena harga minyak justru tertekan kebijakan Trump.
ADVERTISEMENT
3. Buyback Saham US$3,5 Miliar – Upaya Terakhir Tenangkan Investor
- Meski laba turun drastis, Shell paksakan pembelian kembali saham untuk jaga kepercayaan pasar.
- CEO Wael Sawan bilang ini langkah "darurat" karena prospek 2025 suram.
- Tapi analis meragukan efektivitasnya jika harga minyak terus jatuh.
4. BP & Exxon Juga Terkapar, Industri Energi Global Kacau
- BP laba turun 70%, Exxon merosot 40% – semua karena efek domino kebijakan Trump.
- Produsen minyak AS sendiri terancam karena tarif bikin biaya produksi melambung.
- OPEC+ disebut akan potong produksi lagi untuk stabilkan harga.
5. Trump Beri Sinyal Tarif Baru, Ancaman Tambah Besar
ADVERTISEMENT
- Pemerintah AS akan umumkan skema tarif khusus untuk impor minyak & gas dalam beberapa minggu.
- Jika diterapkan, Shell bisa kehilangan US$2 miliar lebih di pasar AS.
- Harga BBM dunia berpotensi naik, tapi pendapatan produsen malah makin tertekan.
Raksasa energi global, Shell, mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 35% pada kuartal pertama 2025. Kondisi ini dipicu oleh melemahnya harga minyak mentah dunia, yang semakin tertekan akibat kebijakan tarif impor agresif dari mantan Presiden AS Donald Trump
Laba Jeblok, Pendapatan Turun
Dalam laporan keuangan yang dirilis Jumat (3/5/2025), laba bersih Shell yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham merosot dari US$7,4 miliar (tahun sebelumnya) menjadi US$4,8 miliar. Pendapatan perusahaan juga turun 6% dari US$74,7 miliar menjadi US$70,2 miliar
ADVERTISEMENT
Penurunan ini terjadi seiring dengan anjloknya harga minyak dunia, yang dipengaruhi kekhawatiran pasar atas dampak kebijakan tarif Trump terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Para pelaku pasar khawatir bahwa tarif baru yang dikenakan oleh pemerintahan Trump akan menekan permintaan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya memukul harga komoditas seperti minyak,"demikian penjelasan dalam laporan Shell, dikutip dari Reuters.
Meski laba turun tajam, hasil kuartal I-2025 ini masih melebihi ekspektasi analis Untuk menjaga kepercayaan investor, Shell mengumumkan program pembelian kembali saham (buyback) senilai US$3,5 miliar dalam tiga bulan ke depan.
Hasil ini memberikan kami kepercayaan diri untuk memulai kembali program buyback sebesar US$3,5 miliar selama kuartal berikutnya," ujar CEO Shell, Wael Sawan
ADVERTISEMENT
Dampak Kebijakan Trump & Tren Pelemahan Harga Minyak
Kinerja Shell yang tertekan ini merupakan kelanjutan dari tren sepanjang 2024, di mana laba bersih tahunannya turun 17% akibat harga minyak yang terus melemah.
Untuk mempertahankan profitabilitas, Shell dan pesaing utamanya seperti BP mulai mundur dari sejumlah komitmen iklim dan kembali fokus pada bisnis minyak dan gas konvensional.
- Shell tahun lalu mengumumkan tidak lagi memimpin proyek angin lepas pantai (offshore wind) baru, menandai pergeseran strategi dari transisi energi ke bisnis fosil.
- BP, kompetitor utama Shell, juga melaporkan penurunan laba bersih 70% pada kuartal I-2025, hanya meraup US$687 juta.
Prospek ke Depan: Ketidakpastian Global & Strategi Bertahan
ADVERTISEMENT
Pasar energi global saat ini dihadapkan pada ketidakpastian tinggi akibat:
1. Kebijakan tarif Trump yang berpotensi memperlambat permintaan minyak.
2. Pergeseran strategi perusahaan energi dari energi hijau kembali ke minyak dan gas.
3. Fluktuasi harga komoditas yang dipengaruhi ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi.
Meski menghadapi tantangan berat, Shell tetap berupaya menjaga stabilitas keuangan melalui efisiensi operasional, buyback saham, dan fokus pada proyek minyak-gas yang lebih menguntungkan
Kesimpulan
Laba Shell yang anjlok 35% menjadi bukti betapa kebijakan ekonomi-politik AS, seperti tarif impor Trump, dapat memengaruhi pasar global. Jika kebijakan proteksionisme AS terus berlanjut, bukan tidak mungkin perusahaan energi lain akan menghadapi tekanan serupa di kuartal-kuartal mendatang.
ADVERTISEMENT