Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ketika Sekolah Justru jadi Penghambat: Sistem Pendidikan yang Tertinggal
4 Mei 2025 12:57 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Yudhi Mada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika Sekolah Justru Jadi Penghambat: Refleksi Mendalam atas Sistem Pendidikan yang Tertinggal

Kemudahan akses informasi dan menjamurnya institusi pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi, seharusnya menjadi angin segar bagi kemajuan bangsa. Namun, ironisnya, sistem pendidikan yang ada saat ini justru terasa kontradiktif. Alih-alih menjadi lokomotif pembangunan manusia seutuhnya yang berorientasi pada masa depan, institusi yang kita sebut "sekolah" justru terperangkap dalam zona nyaman masa lalu, bahkan berpotensi menjadi penghambat kemajuan.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya para pengelola institusi pendidikan melakukan refleksi besar-besaran. Jangan sampai sekolah, yang dulunya mengantarkan kita menuju gerbang modernisasi, kini tanpa sadar justru menggerus kreativitas, ekspresi, motivasi, bahkan membunuh kecenderungan dan bakat para siswanya. Cara belajar yang kita praktikkan saat ini akan menentukan kualitas hidup kita dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang. Sementara itu, kebutuhan hidup setiap individu semakin beragam, bahkan mungkin jauh berbeda dengan apa yang saat ini diajarkan di bangku sekolah.
Pergeseran zaman dari era industri telah membawa perubahan fundamental pada mentalitas kita. Perlahan, kesadaran akan keterbatasan model pendidikan reduksionis mulai tumbuh. Kita mulai merasakan adanya ketidaksesuaian dalam arus utama pendidikan kita. Sistem pendidikan kita saat ini, sejatinya, dirancang oleh pengaruh era industri yang membutuhkan buruh untuk menjalankan mesin pabrik. Sekolah kala itu erat kaitannya dengan penyeragaman demi memenuhi tuntutan produksi massal.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai era industri masih terasa kental dalam praktik pendidikan kita. Pengklasifikasian siswa berdasarkan kelas dan angkatan, pengaturan waktu dengan bunyi bel, adalah contoh nyata. Sistem ini jelas bertolak belakang dengan kebutuhan riil di era pasca-industri. Alih-alih menghargai keberagaman dan mendorong pembelajaran mandiri, penyeragaman masih menjadi primadona. Hafalan lebih diutamakan ketimbang kreativitas, kebebasan berpikir, dan daya kritis. Kompetisi dan individualisme lebih didukung daripada kolaborasi dan kerja kolektif. Kesuksesan menjadi fokus utama, mengabaikan pentingnya menghadapi masalah dan membangun ketangguhan dalam menghadapi kegagalan. Kemampuan analitik dan kognitif mendominasi, sementara sensitivitas, empati, dan kecerdasan emosional terpinggirkan.
Dunia pasca-industri menuntut serangkaian kompetensi baru yang lebih komprehensif dari dunia pendidikan. Mau tidak mau, kita harus memasuki gerbang baru yang mampu mengeksplorasi pandangan holistik serta mendorong desentralisasi pendidikan. Ini adalah proses penyempurnaan dari sekadar mengandalkan keterampilan kognitif mekanis dan rutin menuju tata kelola berpikir yang lebih kompleks dan metodologi kerja yang rumit, yang tentu saja memerlukan sistem pendidikan dengan kaliber yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Memahami bahwa perubahan dunia tidak selalu linier dan menyadari adanya perbedaan sudut pandang adalah modal berharga. Kapasitas adaptif, kreativitas, serta kemampuan penalaran kualitatif dalam mengintegrasikan teori dan praktik menjadi esensial. Semua itu adalah serangkaian kompetensi manusia yang sangat dibutuhkan di era otomasi.
Ekosistem pendidikan yang lebih luas diperlukan untuk memberikan kesempatan pengembangan diri secara holistik. Meskipun kita menyadari adanya permasalahan dalam pendidikan dan berupaya memperbaikinya, tanpa disadari, kita seringkali masih melihatnya dengan kacamata lama. Sistem, paradigma, dan struktur berpikir yang usang justru terus dilanggengkan dan dipraktikkan setiap hari.
Sistem pendidikan kita cenderung berkembang secara terpusat, fokus pada apa yang terjadi di dalam "kotak" ruang akademik seperti sekolah, universitas, dan perpustakaan. Proses belajar dipusatkan di ruang tertutup ini. Pendekatan semacam itu mungkin relevan di era kelangkaan informasi. Namun, di era di mana sumber daya pengetahuan begitu mudah diakses, pendekatan ini terasa semakin tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya kita meruntuhkan tembok-tembok pembatas ruang belajar. Pendidikan seharusnya tidak hanya terbatas pada gedung sekolah, tetapi meluas ke berbagai lingkungan dan pengalaman. Kita perlu mendorong pembelajaran yang lebih kontekstual, relevan dengan kehidupan nyata, dan berpusat pada potensi unik setiap individu. Refleksi mendalam dan perubahan paradigma yang berani adalah kunci agar institusi pendidikan kembali menjadi agen perubahan yang sesungguhnya, bukan sekadar penjaga status quo yang tertidur lelap dalam buaian masa lalu.
Sistem Pendidikan yang Terjebak di Masa Lalu: Refleksi untuk Transformasi
Di era ketika informasi dan sumber pengetahuan semakin mudah diakses, serta institusi pendidikan—mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi—tumbuh menjamur, sistem pendidikan yang ada justru terlihat kontradiktif. Institusi yang seharusnya berperan dalam membangun manusia seutuhnya untuk masa depan malah terjebak dalam zona nyaman masa lalu.
ADVERTISEMENT
Sekolah, sebagai garda terdepan pendidikan, semestinya melakukan refleksi besar-besaran. Alih-alih menjadi motor penggerak kemajuan, banyak institusi pendidikan justru menjadi penghambat pertumbuhan manusia.
Sekolah: Dari Gerbang Modernisasi ke Pembunuh Kreativitas
Memang, di masa lalu, sekolah berhasil membawa kita ke gerbang modernisasi. Namun, ironisnya, sistem pendidikan saat ini tanpa disadari menggerus kreativitas, ekspresi, dan motivasi siswa. Bahkan, ia kerap menjadi "pembunuh" bakat alami anak-anak.
Cara belajar hari ini akan menentukan kebutuhan hidup 5 hingga 10 tahun ke depan. Padahal, kebutuhan setiap individu semakin beragam, bahkan mungkin sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di sekolah saat ini.
Warisan Zaman Industri yang Usang
ADVERTISEMENT
Sistem pendidikan kita saat ini masih dirancang berdasarkan model era industri, di mana pabrik membutuhkan buruh terampil untuk menjalankan mesin. Sekolah saat itu berfungsi untuk menyeragamkan, memenuhi kebutuhan produksi massal.
Ciri-ciri pendidikan era industri masih terlihat jelas:
- Klasifikasi berdasarkan kelas dan angkatan – Siswa dikelompokkan berdasarkan usia, bukan minat atau kemampuan.
- Penyeragaman melalui lonceng sekolah – Waktu belajar diatur ketat, seolah-olah kreativitas bisa dibatasi oleh bunyi bel.
- Hafalan lebih diutamakan daripada pemikiran kritis – Sistem ujian masih menguji ingatan, bukan kemampuan analisis.
- Kompetisi individualistik– Kolaborasi dan kerja kolektif kurang dikembangkan.
Pendidikan seperti ini sangat bertolak belakang dengan kebutuhan dunia pascaindustri, yang menuntut kreativitas, adaptasi, kolaborasi, dan pemecahan masalah kompleks.
ADVERTISEMENT
Dunia Baru Membutuhkan Pendekatan Baru
Dunia pascaindustri memerlukan kompetensi baru yang lebih holistik. Pendidikan harus beralih dari sekadar mengasah keterampilan kognitif mekanis menuju pengembangan:
- Berpikir kompleks dan analitis
- Kreativitas dan inovasi
- Kecerdasan emosional dan empati
- Kemampuan beradaptasi dan resilien
- Kolaborasi lintas disiplin
Sayangnya, meski kita menyadari masalah ini, sistem pendidikan masih terjebak dalam paradigma lama. Struktur berpikir usang terus dilanggengkan, sementara dunia bergerak semakin cepat.
Membangun Ekosistem Pendidikan yang Lebih Luas
Pendidikan tidak boleh hanya terkurung dalam ruang kelas. Di era digital, belajar bisa terjadi di mana saja—melalui internet, komunitas, atau pengalaman langsung. Sekolah harus berani bertransformasi:
ADVERTISEMENT
1. Personalized Learning – Setiap anak memiliki cara belajar berbeda, kurikulum harus fleksibel.
2. Project-Based Learning – Belajar melalui proyek nyata, bukan sekadar teori.
3. Kolaborasi dengan Dunia Nyata– Keterlibatan industri, seni, dan masyarakat dalam proses belajar.
4. Pendidikan Karakter & Kecerdasan Emosional– Tidak hanya fokus pada nilai akademik, tetapi juga empati dan kepemimpinan.
Kesimpulan: Saatnya Bangun dari Tidur Panjang
Jika sekolah terus mempertahankan model lama, ia akan semakin tertinggal. Pendidikan harus berani keluar dari kotak, menghargai keberagaman, dan mempersiapkan generasi muda untuk dunia yang terus berubah.
Transformasi pendidikan bukan sekadar mengganti kurikulum, tetapi mengubah cara berpikir seluruh pemangku kebijakan. Sekolah harus menjadi tempat manusia berkembang, bukan terkekang.
ADVERTISEMENT
Mari kita bangun sistem pendidikan yang tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga pencipta, pemikir, dan pemecah masalah masa depan