Konten dari Pengguna

Pendidik Tanpa Podium

Yudhi Mada
Ebook author, data analisis, gold trading dosen MJ UTM
5 Mei 2025 14:28 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudhi Mada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bukan Hanya di Ruang Kelas: Merayakan Hari Pendidikan Nasional Bersama Para "Pendidik Tanpa Podium"
Guru dan Dosen sumber yudhimada
zoom-in-whitePerbesar
Guru dan Dosen sumber yudhimada
Indonesia tengah bersiap menyongsong era keemasan di tahun 2045. Generasi muda yang unggul dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tumpuan harapan. Namun, Indonesia Emas tidak akan hadir begitu saja. Ia adalah buah dari kerja keras kita hari ini, dari setiap orang tua, anggota masyarakat, guru, dan dosen yang menanamkan nilai dan ilmu dengan penuh cinta. Esensinya, ia lahir dari para pendidik yang mampu menginspirasi mimpi besar, kebijakan pemerintah yang cerdas, dan keberanian setiap anak muda untuk melampaui batas diri.
ADVERTISEMENT
Di bulan Mei ini, Hari Pendidikan Nasional kembali kita peringati. Namun, di tengah gegap gempita perayaan, mari kita sejenak merenung: bagaimana kabar pendidikan kita sesungguhnya? Siapakah yang lebih "jagoan" dalam mendidik bangsa ini? Apakah hanya para guru dan dosen dengan segala dedikasinya, atau justru termasuk pula sosok sederhana seperti penjual sate di sudut gang dengan kesabarannya yang luar biasa?
Guru dan dosen adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah ungkapan yang sayangnya masih terasa pahit mengingat kesejahteraan mereka yang seringkali belum ideal. Di sisi lain, para penjual sate, meski tak pernah mengenyam pelatihan formal tentang metode pendidikan abad ke-21, terus bekerja keras dengan ketekunan yang patut diacungi jempol. Coba perhatikan bagaimana mereka dengan sabar membimbing asistennya menyalakan arang yang sulit, atau bagaimana mereka mengatur irisan daging dengan presisi layaknya kartu ATM. Jika guru dan dosen mengajarkan teori ekonomi di kelas, para penjual sate mempraktikkannya langsung di lapangan, berjuang dengan modal terbatas untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika guru atau dosen mengupas filosofi ketekunan ala Kierkegaard, para penjual sate justru mempertunjukkannya setiap malam, tak gentar dengan dinginnya angin dan rintik hujan. Oleh karena itu, di Hari Pendidikan Nasional ini, sudah selayaknya kita mengucapkan terima kasih bukan hanya kepada para guru dan dosen, tetapi juga kepada para "pendidik tanpa podium" seperti penjual sate, penjual bakso, sopir ojek, angkot, dan bus. Mereka adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita tentang esensi belajar dan berusaha sebagai tugas yang tak pernah usai, jauh melampaui batas kelulusan ujian.
Kita sering mendengar bahwa pendidikan adalah kunci utama membangun generasi emas. Namun, pendidikan sejati bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan. Ia adalah proses pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas, dan memantik semangat inovasi. Pendidikan kita harus mampu membekali generasi muda dengan keterampilan abad ke-21: berpikir kritis, berkomunikasi efektif, berkolaborasi, dan berinovasi. Tak kalah penting, pendidikan karakter yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, akhlak mulia, dan jiwa nasionalis harus menjadi fondasi utama.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang pendidik, terkadang muncul refleksi diri, bahkan mungkin sedikit rasa "bersalah" ketika melihat betapa idealnya tuntutan dunia pendidikan di tengah keterbatasan fasilitas. Guru dan dosen seringkali diharapkan menjadi "superman" di tengah kondisi yang serba "lilliput". Padahal, mendidik adalah tanggung jawab kolektif. Penjual sate dengan bara apinya pun turut mendidik bangsa ini tentang arti kerja keras, kesetiaan pada kualitas, dan ketulusan dalam melayani.
Tanpa disadari, interaksi kita dengan para "pendidik tanpa podium" ini mengajarkan kita tentang hakikat kehidupan. Bahwa sesungguhnya, kehidupan itu sendiri adalah sekolah yang paling keras, dan kita semua adalah muridnya.
Pada Hari Pendidikan Nasional ini, kita tentu menyadari bahwa masih banyak guru dan dosen yang bergulat dengan gaji pas-pasan namun dibebani tumpukan administrasi. Sementara itu, persoalan pendidikan seringkali lebih banyak dibahas di ruang rapat yang nyaman daripada dipikirkan secara mendalam di lapangan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, mari kita peringati Hari Pendidikan Nasional ini sambil mengajukan pertanyaan reflektif: siapakah sebenarnya yang paling gigih mendidik bangsa? Apakah hanya guru dan dosen, ataukah termasuk pula penjual sate di sudut jalan yang mengajarkan tentang kesabaran, inovasi, dan manajemen risiko yang mungkin lebih efektif daripada sekadar teori kewirausahaan di bangku kuliah?
Guru mungkin sibuk mengajarkan rumus matematika yang seringkali menguap dari ingatan siswa tak lama setelah ujian. Dosen disibukkan dengan pengisian laporan kinerja dan berbagai tuntutan administrasi, di samping tugas pengajaran, penelitian, dan pengabdian, bahkan dituntut publikasi di jurnal internasional bereputasi tinggi. Sementara itu, penjual sate, tanpa beban satuan kredit semester (SKS) atau supervisi badan akreditasi, setiap hari menyajikan pelajaran nyata tentang pengelolaan modal, pengaturan waktu, menjaga kualitas produk, membaca pasar, dan membangun loyalitas pelanggan melalui racikan sambal dan bumbu kacang spesialnya.
ADVERTISEMENT
Sungguh ironis, pendidikan yang seharusnya memerdekakan justru terkadang terasa menjerat dengan kurikulum yang kaku, sistem birokrasi yang rumit, dan target-target yang terasa absurd. Murid belajar demi lulus ujian, guru mengajar demi administrasi, dan dosen meneliti demi angka kredit. Lalu, kapan kita benar-benar belajar untuk hidup?
Di sisi lain, di bawah tenda plastik sederhana, penjual sate mengajarkan prinsip hidup yang esensial: siapa yang malas, akan lapar; siapa yang kreatif, akan bertahan; dan siapa yang sabar, akan meraih kemenangan.
Dengan demikian, pendidikan sejati tidak hanya lahir di ruang kelas yang formal, tetapi juga di bawah tenda sate yang berasap, di antara bara api dan dinginnya angin malam. Jika guru dan dosen mengajarkan teori kehidupan, para penjual sate memberikan contoh nyata tentang bagaimana menjalaninya. Mereka adalah "guru kehidupan" kita yang sesungguhnya, jika kita mau membuka mata dan belajar.
ADVERTISEMENT
Sekolah memang mengajarkan kita cara lulus ujian, tetapi penjual sate mengajarkan kita cara bertahan dalam kerasnya kehidupan. Kita membutuhkan keduanya, bukan hanya mereka yang bergelar tinggi, tetapi juga mereka yang mampu mendidik dengan ketulusan dan memberikan teladan yang benar. Sebab, hakikat pendidikan adalah sikap dan tindakan nyata, bukan sekadar "pameran gelar".
Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga di tahun-tahun mendatang, panggung seminar nasional tidak hanya diisi oleh para profesor dan doktor, tetapi juga oleh para "pendidik tanpa podium" seperti penjual sate. Agar kita kembali diingatkan dan menyadari bahwa pendidikan adalah upaya untuk menghidupkan manusia secara utuh, bukan sekadar mencetak lulusan yang memenuhi standar formal.
Salam hormat dan bangga kepada seluruh guru, dosen, dan para penjual sate – para pendidik tanpa podium yang telah menyadarkan kita bahwa pendidikan bukan semata-mata soal ijazah, tetapi tentang bagaimana cara membakar semangat dan menjalani hidup dengan sabar dan tekun, layaknya membakar sate di atas bara api. Bahkan, pelajaran tentang hidup yang tulus seringkali justru kita dapatkan dari mereka.
Fuang Kelas Sumber yudhimada
Setiap tahun, pada tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara dan semangat pendidikan Indonesia. Namun, di balik seremonial ini, ada pertanyaan mendasar: Apa kabar pendidikan kita hari ini?
ADVERTISEMENT
Pendidikan: Bukan Hanya Transfer Ilmu, Tapi Cetakan Generasi Emas 2045
Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud dengan sendirinya. Ia adalah hasil kerja keras kolektif—dimulai dari orang tua, guru, dosen, pemerintah, hingga anak muda yang berani melampaui batas. Pendidikan bukan sekadar menghafal teori, melainkan membentuk generasi unggul yang berpikir kritis, kreatif, berkarakter Pancasila, dan berjiwa nasionalis.
Namun, apakah sistem pendidikan kita sudah sepenuhnya mendukung hal itu?
Guru dan Dosen: Pahlawan yang Terjebak Birokrasi
Guru dan dosen kerap disebut pahlawan tanpa tanda jasa Namun, realitanya, mereka masih berjuang dengan gaji pas-pasan, beban administrasi menumpuk, dan tuntutan publikasi ilmiah demi kenaikan pangkat. Mereka dituntut menjadi Superman, sementara fasilitas pendidikan masih jauh dari ideal.
ADVERTISEMENT
Di tengah tekanan kurikulum yang kaku dan target birokratis, guru mengajar untuk memenuhi administrasi, dosen meneliti demi angka kredit, dan murid belajar sekadar untuk lulus ujian. Kapan kita benar-benar belajar untuk hidup?
Penjual Sate: Guru Kehidupan Tanpa Gelar
Di sudut jalan, ada sosok lain yang tanpa disadari ikut mendidik bangsa: penjual sate. Mereka mungkin tak pernah ikut seminar pendidikan, tapi setiap hari mengajarkan:
- Ekonomi praktis: Bagaimana bertahan dengan modal Rp200 ribu.
- Manajemen risiko: Mengatur arang yang sulit menyala dan daging yang harus diiris sempurna.
- Ketekunan ala Kierkegaard: Berdiri berjam-jam di tengah gerimis, tetap tersenyum melayani pelanggan.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah bukti bahwa pendidikan sejati terjadi di lapangan bukan hanya di ruang kelas. Jika guru mengajarkan teori, penjual sate memberi contoh nyata tentang kerja keras, kesabaran, dan inovasi.
Pendidikan yang Memerdekakan vs. Pendidikan yang Membelenggu
Ki Hajar Dewantara menginginkan pendidikan yang memerdekakan tapi ironisnya, sistem saat ini justru kerap membelenggu:
- Siswa belajar untuk ujian, bukan untuk memahami kehidupan.
- Guru terjebak dokumen, bukan mengembangkan kreativitas mengajar.
- Dosen dikejar publikasi, tapi jarang menyentuh masalah riil masyarakat.
Sementara itu, di bawah tenda sate, pendidikan berlangsung alami: "Siapa malas, lapar. Siapa kreatif, bertahan. Siapa sabar, menang.
ADVERTISEMENT
Hardiknas 2024: Belajar dari Semua Guru Kehidupan
Di Hari Pendidikan Nasional ini, mari kita berterima kasih bukan hanya pada guru dan dosen, tapi juga pada:
- Penjual sate yang mengajarkan ketekunan.
- Sopir angkot yang menunjukkan arti disiplin waktu.
- Pemulung yang mengingatkan kita tentang ketangguhan.
Pendidikan bukan sekadar gelar atau ijazah, tapi tentang membangun semangat belajar seumur hidup. Seperti bara api sate yang tak pernah padam, pendidikan harus terus menyala—membakar hasrat untuk tumbuh, berinovasi, dan berkontribusi bagi negeri.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2024.
Salam untuk semua guru kehidupan—di kelas, kampus, dan sudut-sudut jalan.
ADVERTISEMENT