Drama Kasus Agen Skripal yang Tak Kunjung Usai

Yudho Priambudi
Pengamat Sepakbola Inggris
Konten dari Pengguna
8 April 2018 14:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudho Priambudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PM Theresa May berpose dengan Presiden Vladimir Putin. Sumber foto: http://en.kremlin.ru/events/president/news/52822
ADVERTISEMENT
Kasus percobaan pembunuhan mantan agen rahasia Sergei Skripal dan putrinya Yulia di kota Salisbury, Inggris, pada 4 Maret 2018 berbuntut saling usir diplomat Rusia dan Inggris. Tidak lama kemudian, AS dan sejumlah negara lainnya kemudian turut terlibat dalam drama saling usir diplomat dengan Rusia.
Kasus agen Skripal agaknya lepas dari perhatian masyarakat Indonesia pada umumnya. Tapi bagi penggemar novel dan film agen James Bond 007 karya Ian Fleming serta film seri Mission Impossible, kasus di atas mempunyai daya tarik tersendiri.
Sampai hari ini, para peneliti Inggris yang bertugas pada Defence Science and Technology Laboratory, yang lebih dikenal sebagai laboratorium Porton Down, belum dapat memastikan bahwa zat saraf yang digunakan untuk meracuni Skripal dan Yulia diramu di Rusia. Dengan demikian, Pemerintah Inggris belum bisa menunjukkan bukti konklusif tentang keterlibatan Rusia dalam percobaan pembunuhan Skripal, terutama mengenai asal-usul serta tempat pembuatan zat saraf mematikan yang kerap dirujuk sebagai ‘Novichok’.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya untuk mengarahkan telunjuk kepada Rusia, Perdana Menteri (PM) Inggris, Theresa May, pernah mengatakan bahwa zat saraf yang digunakan adalah "tipe yang biasa dikembangkan oleh Rusia" dan "Rusia sebelumnya telah menghasilkan zat ini dan masih mampu melakukannya."
Pernyataan tersebut memang secara implisit menuduh Rusia dan bukan negara lain sebagai sumber zat saraf Novichok tersebut. Namun pernyataan PM May juga tidak mengesampingkan kemungkinan adanya negara atau entitas tertentu yang bertanggung jawab atas pembuatannya.
Perkembangan terkini dari kasus percobaan pembunuhan terhadap Skripal dan putrinya tidak hanya memicu memanasnya hubungan diplomatik antara Rusia – Barat, namun juga menimbulkan keraguan tentang kepatuhan negara pihak terhadap Konvensi Senjata Kimia.
Berdasarkan Konvensi tersebut, Inggris seharusnya bekerja sama dengan negara-negara lain, termasuk Rusia, dan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) untuk menyelidiki masalah ini. Inggris memang pada akhirnya melakukan kerja sama teknis dengan OPCW, namun hal itu baru dilakukannya setelah mengarahkan opini bersalah kepada Rusia.
ADVERTISEMENT
Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW)
Para tentara yang menjadi korban senjata kimia pada Perang Dunia I.
Sumber foto: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:British_55th_Division_gas_casualties_10_April_1918.jpg
OPCW adalah badan internasional yang bertanggung jawab atas penerapan Konvensi Senjata Kimia. Semua negara di dunia kecuali Mesir, Israel, Korea Utara dan Sudan Selatan kini telah menjadi negara pihak pada konvensi tersebut.
Konvensi Senjata Kimia melarang akuisisi dan penggunaan senjata kimia dan mengharuskan negara-negara pihak untuk menghancurkan stok dan fasilitas produksi yang ada ketika bergabung. AS saat ini adalah satu-satunya negara pihak yang masih belum memenuhi persyaratan tersebut (pemerintahnya dijadwalkan akan melakukannya pada tahun 2023).
Negara-negara pihak tetap diizinkan untuk memproduksi dan menguji sejumlah kecil zat kimia, namun hal tersebut hanya diperbolehkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang bersifat damai, seperti mengembangkan penawar atas zat-zat pembunuh. Maka dari itu, pembuatan Novichok untuk tujuan pengujian bukan merupakan sebuah pelanggaran, jika pertimbangannya adalah untuk memudahkan diidentifikasinya zat tersebut dalam situasi seperti yang ada pada kasus Skripal.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2017, OPCW pernah mengumumkan bahwa mereka telah memverifikasi selesainya proses penghancuran program senjata kimia Rusia. Tentu saja, hal ini tidak benar-benar menghilangkan kemungkinan bahwa Rusia terus memiliki stok dan/ atau fasilitas produksi senjata kimia, dan juga tidak menutup kemungkinan adanya alih teknologi kepada negara/ pihak lain.
Mungkinkah Rusia Terlibat?
Upaya pembunuhan terhadap Skripal dan putrinya memang lebih mudah dituduhkan kepada Rusia, mengingat Skripal dahulunya adalah agen mata-mata Rusia yang kemudian menjadi double agent untuk Inggris. Indikasi kedua adalah bahwa zat saraf Novichok yang digunakan untuk meracuni Skripal merupakan zat saraf yang sejauh ini diketahui hanya diproduksi di Rusia. Namun di era digital ini tidak ada yang tidak mungkin. Penguasaan/ pencurian teknologi bisa saja dilakukan oleh pihak lain untuk memojokkan Rusia.
ADVERTISEMENT
Jika memang Presiden Rusia Vladimir Putin yang memerintahkan serangan tersebut, ia pasti sudah siap mengantisipasi segala bentuk risiko yang akan terjadi. Tapi mengapa harus menunggu hingga tahun 2018 sebelum mencoba untuk mengeksekusi Skripal, padahal pada tahun 2006, ia pernah divonis hukuman di Rusia karena bekerja untuk Inggris? Dan mengapa, setelah 12 tahun menunggu, serangan tersebut dilakukan 2 minggu sebelum pemilihan presiden dan 4 bulan sebelum Piala Dunia diselenggarakan di negeri Beruang Merah? Dan mengapa harus menggunakan zat saraf yang kerap diasosiasikan dengan Rusia untuk mengeksekusi pengkhianat atau lawan politik?
Pertanyaan-pertanyaan serta berbagai kemungkinan sebagaimana dipaparkan di atas kini menjadi PR bagi kantor MI6, CIA, dan agen-agen negara Barat lainnya. Para penggemar novel dan espionase James Bond mungkin dapat ikut menganalisa arah cerita kasus percobaan pembunuhan Skripal. Dan pecandu film Mission Impossible boleh mengharapkan segera dibuatnya film espionase serupa, kali ini based on a true story petualangan agen ganda Sergei Skripal.
ADVERTISEMENT
Yudho Priambudi
Bekasi, 8 April 2018