Beda Wajah Sinetron Indonesia Dulu dan Kini

28 Februari 2017 7:46 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Si Doel Anak Sekolahan (Foto: Youtube Hengky Christ)
“Penggemar sinetron enggak akan pernah habis. Mau apapun genrenya, pokoknya orang Indonesia itu suka sama yang berbau drama. Kalau ada yang disiksa, ada yang sedih, mereka pasti nonton,” ujar Ade Irwansyah, pengamat sinetron.
ADVERTISEMENT
Dunia sinema elektronika (sinetron) Indonesia memang selalu menghadirkan perdebatan. Alur cerita yang tak masuk akal kerap membuat kening berkerut. Isi cerita pun sering dianggap memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat.
Namun, jumlah penonton sinetron dari tahun ke tahun selalu menunjukkan tren positif. Judul-judul seperti Tukang Ojek Pengkolan, Anak Jalanan, dan Tukang Bubur Naik Haji The Series selalu bertengger di posisi teratas sebagai sinetron paling banyak ditonton di Indonesia.
Sinetron sendiri telah menjadi tontonan favorit di Indonesia sejak medio 90-an. Jumlah produksi sinetron kian hari kian bertambah seiring menjamurnya stasiun televisi swasta. Pada masa awal perkembangannya, sinetron bertema keluarga adalah salah satu yang paling diminati pemirsa. Sebut saja Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, dan Noktah Merah Perkawinan, amat dinanti-nanti oleh penggemar setianya.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, perkembangan ide dan narasi membuat sinetron dikemas lebih beragam. Kini, cerita di layar kaca tak melulu berhias adegan drama keluarga dan percintaan. Sutradara mulai menyasar tema-tema urban seperti kehidupan beragama dan tren sosial yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
Dari segi visual, sinetron modern memiliki kualitas lebih unggul dibanding sinetron era 90-an. Penggunaan teknologi full high definition (HD) televisi semakin memanjakan mata penonton. Sinetron tersaji dengan gambar yang tajam, jernih, dengan resolusi tinggi. Jadi, kualitas teknis jelas lebih baik daripada sinetron-sinetron terdahulu. Namun bagaimana dengan segi cerita dan konteks pesan yang ingin disampaikan?
Ade Irwansyah kepada kumparan, Jumat (24/2), berpendapat kualitas sinetron yang diproduksi beberapa tahun terakhir tergolong rendah. Menurut Ade, kebanyakan rumah produksi tidak lagi memerhatikan kualitas dan isi sinetron. Sinetron hanya diproduksi untuk mengejar rating lembaga pemeringkat televisi --yang berpengaruh terhadap pendapatan televisi dari iklan dan sponsor.
ADVERTISEMENT
Apa saja sih beda sinetron dulu dan kini?
1. Jumlah tayangan
Lokasi syuting Tukang Bubur Naik Haji. (Foto: Flickr U.S Embassy Jakarta)
Bagi generasi 90-an, menghafal jadwal mingguan sinetron adalah hal menyenangkan. Saat itu, tak ada yang namanya sinetron kejar tayang atau stripping. Satu judul sinetron ditayangkan satu kali setiap minggu.
Hal tersebut membuat rumah produksi leluasa bekerja. Mereka punya waktu cukup untuk membuat sinetron dengan matang, disertai tingkat ketelitian tinggi. Namun industri televisi kemudian melakukan revolusi. Awal tahun 2000, beberapa sinetron Ramadan yang tayang selama 30 hari berturut-turut mendapat respons baik dari penonton. Sejak saat itu, pegiat layar kaca berlomba-lomba menghasilkan cerita cepat saji yang bisa ditayangkan setiap hari.
Hal itu terbukti mampu mendongkrak rating televisi, dan sinetron stripping digdaya hingga kini. Masa bodoh dengan mutu dan kualitas yang hendak disampaikan kepada pemirsa. “Sekarang itu PH (production house) hanya punya waktu sehari untuk menggarap satu episode yang tayang untuk esok harinya. Jadi kebayang kan ribetnya bagaimana. Itu berpengaruh terhadap alur cerita. Coba lihat alur cerita sinetron sekarang: asal jadi dan tidak mendalam seperti zaman dulu,” ujar Ade.
ADVERTISEMENT
2. Pesan moral
Keluarga Cemara (Foto: Youtube Lamsihar Pardede)
Kisah Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil dalam sinetron Keluarga Cemara adalah bukti bagaimana sebuah rumah produksi bisa memberikan pesan moral yang baik bagi pemirsa. Alur dibuat mendekati realita asli, tanpa dijejali intrik dan konflik yang terlalu dibuat-buat.
Bandingkan dengan kebanyakan sinetron Indonesia saat ini. Cerita tidak jauh-jauh dari konflik percintaan sepasang remaja yang tak mendapat restu orang tua. Tidak jelas alur dan pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton. Cerita yang dibangun dijejali dengan bumbu-bumbu kehidupan yang jauh dari kenyataan. Paling parah: tidak jelas kapan cerita akan berakhir.
Bona Sardo Hasoloan Hutahaean, M.Psim, pengajar psikologi klinis Universitas Indonesia sepakat dengan Ade. Ia menganggap mayoritas sinetron masa kini jauh panggang dari api, sehingga berpotensi membawa masyarakat Indonesia hidup dalam dunia imajinatif. "Masyarakat bisa berimajinasi untuk meniru tokoh yang mereka idolakan. Kalau yang diidolakan baik, oke. Kalau tidak?" ujar Bona, melontarkan pertanyaan retoris.
ADVERTISEMENT
3. Kualitas aktor
Para pemain Tukang Bubur Naik Haji. (Foto: Flickr U.S Embassy Jakarta)
Kehadiran sinetron stripping membuat segalanya dikerjakan instan. Tak terkecuali dalam merekrut aktor dan aktris. Ini pun jadi berpengaruh terhadap minimnya waktu yang dibutuhkan pemeran untuk memahami dan mempelajari naskah yang diberikan sutradara. "Kalau zaman dahulu, para artis memiliki banyak waktu untuk memahami skrip. Kalau sekarang, baru dikasih langsung disuruh action," ujar Ade.
Selain itu, kriteria utama direkrutnya seseorang menjadi pemeran utama tak lagi bertitik berat pada pengetahuan, sikap, dan kemampuan akting yang dimiliki. Melainkan terbatas hanya pada kemampuan akting plus penampilan fisik belaka.
Itulah perbedaan sinetron Indonesia dahulu dan sekarang menurut Ade Irwansyah selaku pengamat sinetron.
Secara eksplisit, sinetron Indonesia terbukti telah membentuk pola pikir masyarakat. Sinetron bergenre drama dengan alur cerita jauh dari kenyataan tetap menjadi favorit para pemirsa dari masa ke masa.
ADVERTISEMENT
Dari sinetron itulah televisi mengeruk pundi-pundi iklan yang mereka gunakan untuk menghidupi ribuan karyawannya. Sekali lagi, Ade menyatakan soal absurditas penonton Indonesia.
“Penggemar sinetron enggak akan pernah habis. Pokoknya orang Indonesia suka sama yang berbau drama. Kalau ada yang disiksa, ada yang sedih, mereka pasti nonton,” kata dia.
Itu artinya, masuk akal atau tak masuk akal alur cerita jadi nomor dua. Yang penting: drama.