Mengevaluasi Kabinet Indonesia Maju

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII Yogyakarta
Konten dari Pengguna
9 Juli 2020 10:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Kabinet Indonesia Maju. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sudah hampir 9 bulan sejak dilantik pada hari Rabu 23 Oktober 2019 lalu, kabinet Indonesia Maju Jokowi-Ma’ruf Amin bekerja. Sejumlah sorotan terhadap pemerintah nampak cukup mengemuka ditengah berbagai persoalan yang masih melanda bangsa Indonesia. Sedari denyut lambat penanganan Covid-19, pelemahan pemberantasan korupsi, nihilnya penegakan dan penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia, kenaikan berbagai biaya/tarif, hingga ancaman melambatnya pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Formasi kabinet dari kalangan profesional, yang meliputi pengusaha, purnawirawan TNI/Polri, akademisi, hingga pakar/ahli mestinya menjadi ‘energi’ pemacu kinerja kabinet. Rakyat tentu juga masih berharap ada kreasi dan inovasi (perbaikan) dari pemerintah melalui kinerja para menteri yang terbilang berpengalaman sebagai kreator dan profesional. Meski demikian, mengamati sejumlah masalah bangsa yang belum tertangani secara efektif, apakah momentum 9 bulan kerja ini memungkinkan dilakukannya reshuffle?
Evaluasi
Presiden memang harus terus mengevaluasi kinerja para menteri pembantunya secara serius. Hal ini mengingat bahwa Presiden dalam menjalankan kewajiban pemerintahannya dibantu oleh satu orang Wakil Presiden dan para menteri negara (Pasal 17 UUD NRI 1945). Maka, para menteri itu sejatinya diangkat untuk bekerja dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara Presiden bertanggungjawab langsung kepada Rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Presiden dalam konteks ini sebagai pemegang hak prerogatif manajemen kementerian. Termasuk memanajemen ketepatannya meletakkan seseorang pada jabatan tertentu. Karena kekeliruan menempatkan pejabat juga berpotensi memicu kinerja pemerintah yang tidak efektif. Ungkapan Lawson dan Garrod (2002) patut menjadi rujukan, bahwa prestasi (kompetensi) pejabat merupakan kunci bagi suksesnya organisasi (pemerintahan), dan bukan karena faktor kedekatan, apalagi kekayaan (modal).
Ketegasan Presiden untuk terus mengevaluasi jajaran kabinetnya tentu bermanfaat dalam berbagai sisi. Kinerja pemerintah akan terus terpantau, berkaitan dengan apa yang sudah dan belum tercapai, penanganan dan pencegahan terhadap berbagai persoalan bangsa dapat selalu terkendali, adanya penghargaan (reward) bagi Menteri yang berkinerja baik akan memacu peningkatan kinerja seluruh jajaran kabinet, pun demikian adanya hukuman (punishment) bagi Menteri yang berkinerja buruk juga akan menjadi shock therapy tersendiri bagi kabinet.
ADVERTISEMENT
Kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, lantas apakah 9 bulan kerja kabinet ini memungkinkan dilakukannya reshuffle? Meski masih terlalu dini, tentu hal ini bisa saja dilakukan oleh Presiden, terutama untuk kebutuhan mengevaluasi penempatan pejabat, penyegaran kabinet, bahkan untuk kebutuhan politik Presiden. Karena agenda reshuffle mestinya juga tidak hanya identik dengan pemberhentian menteri/pejabat pemerintah, melainkan juga termasuk menata ulang penempatan pejabat pada tiap jabatan. Pun demikian juga bisa termasuk pembentukan, pembubaran, atau peleburan kementerian.
Menata Kabinet
Penempatan pejabat/menteri yang tidak sesuai dengan kompetensi & keahlian memang menghambat efektifnya kinerja dan pencapaian visi Presiden. Mengingat ada sebagian menteri/pejabat yang terbilang baru menjabat di birokrasi pemerintahan, bahkan sebelumnya juga belum teruji memimpin birokrasi sesuai dengan bidang keahliannya. Aspek ‘kinerja’ ini sering menjadi alasan Presiden untuk memberhentikan dan mengganti menterinya. Untuk itu, ada baiknya para menteri harus selalu “waspada” dan berupaya memacu kinerja terbaiknya.
ADVERTISEMENT
Belum mampunya Presiden mengakomodasi permintaan parpol dalam penyusunan kabinet dapat juga menjadi pemicu reshuffle. Dari 38 formasi jabatan kabinet, 13 jabatan yang diisi dari kalangan parpol. Itupun 2 formasi dialokasikan bagi parpol yang sebelumnya merupakan rival Presiden dalam Pemilu 2019. Ini mengindikasikan ada sejumlah alokasi kursi bagi parpol pendukung Presiden yang masih “dikorbankan” atau ‘ditunda’ untuk diberikan dalam sisa waktu masa jabatan Presiden.
Kebutuhan menata kembali susunan kementerian juga patut dipertimbangkan Presiden. Kementerian mana yang beban kerjanya terlampau besar, maupun yang beban kerjanya terlampau kecil atau tidak urgen perlu ditata ulang. Presiden juga perlu memikirkan urgensi dibubarkan atau dibentuknya kementerian/badan baru agar mengefektifkan pencapaian visinya. Sebagai contoh, dahulu sempat muncul wacana pembentukan Badan/Pusat Legislasi/Kementerian Perundang-undangan, Badan Otorita Pemindahan Ibu Kota, dsb.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari ada atau tidak adanya reshuffle kabinet, menteri/pejabat harus memperbaiki kinerjanya. Sejumlah permasalahan yang berpotensi menimbulkan dampak luas terhadap kehidupan masyarakat harus menjadi prioritas untuk segera ditangani. Hak prerogatif Presiden juga harus dipertanggungjawabkan dengan cara memimpin kabinetnya secara efektif, memacu integritas dan semangat kerja, dan tidak segan untuk mencopot menteri/pejabat yang terbukti bermasalah.
Yuniar Riza Hakiki,
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII