Konten dari Pengguna

Refleksi Bernegara Hukum Kita

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
6 Mei 2025 15:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi undang-undang. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Bangunan negara (hukum) kita masih nampak terhuyun-huyun menyokong berbagai gempuran masalah hukum. Meski kita sudah punya bangunan konsep negara hukum sendiri, tapi konsep itu belum tentu seirama dengan realitanya.
ADVERTISEMENT
Pasal 1 ayat (3) Konstitusi menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum. Rumusan baru yang diangkat dari Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan, yang terkandung substansi bahwa kiblat negara hukum kita lebih condong pada konsep Rechtstaat. Yaitu konsep negara hukum yang dipraktikkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental, seperti Belanda.
Negara hukum yang berkarakter legalistik, positivistik, dan administratif itu berimbas pula ke dalam tata kelola negara penganutnya. Betapa legal formalnya sistem peradilan, pelayanan pemerintahan, dan penyelenggaraan negara yang sangat administratif itu.
Imbas pengaruh konsep Rechtstaat yang dibawa oleh kolonialisme Belanda ini menjadikan manusia Indonesia sejak lahir sampai dengan mati pun mesti berurusan dengan beragam urusan teknis administrasi pemerintahan dan peradilan.
Mengapa?
Dalam literatur hukum, dikenal berbagai varian konsep negara hukum. Selain Rechtstaat, ada “the rule of law”. Berkembang pada sistem hukum Anglo Saxon. Amat jarang praktik berhukum “the rule of law” dilaksanakan dengan pendekatan legal formal dan administratif seperti pada “rechtstaat”.
ADVERTISEMENT
Seperti tiadanya peradilan administrasi negara (Administrative rechtsspraak). Peradilan khusus yang menangani sengketa administrasi antara perseorangan/badan hukum perdata dengan Badan/Pejabat pemerintah tidak ada di negara penganut “the rule of law”.
Penganut "the rule of law" menganggap setiap orang derajatnya sama. Sehingga apabila terjadi sengketa antara penduduk biasa dengan pejabat pemerintahan cukup diselesaikan lewat peradilan umum. Tetapi lain dengan negara penganut atau dipengaruhi oleh konsep “rechtstaat”.
Seperti di Indonesia saat ini. Ketika ada penggusuran rumah warga atas dasar Keputusan Bupati misalnya. Bagi warga yang tidak menerima penggusuran itu, mesti menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan terlebih dahulu memohon penyelesaian ke pejabat yang bersangkutan. Lewat upaya administratif namanya.
Negara Hukum Kita
ADVERTISEMENT
Sejatinya, tidak semua bangsa dan negara di dunia ini memiliki kosmologi yang sama. Seperti diyakini dan digunakan oleh bangsa-bangsa dari mana hukum modern berasal (Rahardjo, 2010). Intinya, bangsa kita sebetulnya memiliki konsep negara hukumnya sendiri.
Pilihan frasa “...negara hukum” dalam rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 diyakini menyerap substansi rechtstaat sekaligus the rule of law. Pun juga menyerap nilai-nilai berhukum yang sudah sekian lama dianut oleh bangsa kita. Yaitu hukum adat atau hukum lokal sesuai kearifan, kebijaksanaan, dan kesepakatan yang dianut masing-masing masyarakat.
Perbedaan cara bangsa-bangsa berhukum dan mencari keadilan dipengaruhi pebedaan kulturalnya. But culture and individual differ in the grounds for seeking justice (Hamilton & Sanders, 1992). Bagaimana bangsa kita menyikapi suatu sengketa, konflik, perkara, atau masalah-masalah hukum?
ADVERTISEMENT
Kalau bangsa-bangsa Barat yang berkosmologi individualistis, biasanya lebih gemar berperkara dengan pendekatan hukum formal. Bahkan ketika mengalami masalah hukum, mereka dengan bangga menyatakan “I want to see my lawyer first”. Maka tak heran apabila jasa pengacara profesional di sana sungguh sangat berharga.
Lain halnya dengan bangsa-bangsa Timur dengan basic “kekeluargaan” yang telah melekat dalam sanubari masyarakatnya. Justru lebih gemar menjaga keharmonisan daripada berlarut-larut dalam berperkara. Bahkan akan menangis dalam hati apabila harus berhadapan dengan para penegak hukum (Rahardjo, 2010).
Masyarakat kita dianggap lebih gemar menyelesaikan masalah hukum secara kekeluargaan. Sehingga, berkembanglah di Indonesia berbagai konsep penyelesaian masalah hukum non litigasi. Secara restoratif, diversi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, arbitrase. Maka, jasa mediator, konsiliator dan arbiter profesional menjadi sangat krusial.
ADVERTISEMENT
Ketika ada pencurian di kampung misalnya, biasanya diselesaikan oleh pak lurah di balai desa. Pelaku yang terbukti mencuri diperintahkan mengembalikan/mengganti barang curiannya, disertai sanksi sosial tertentu. Maka tak heran, kalau Pak lurah di desa merangkap jadi mediator bahkan hakim secara informal.
Di samping itu, sengketa keperdataan antar orang (seperti wanprestasi, perbuatan melawan hukum, perceraian) yang akan diselesaikan lewat peradilan pun kini diwajibkan untuk menempuh mediasi. Tapi ini perlu diriset, seberapa banyak dan efektifnya penyelesaian sengketa keperdataan yang selesai lewat mediasi ini.
Atau jangan-jangan kewajiban mediasi itu sekedar formalitas belaka?
Asumsi itu tidak keliru. Sebab, imbas dari konsep negara hukum rechtstaat yang cenderung administratif tadi, sedikit banyak mempengaruhi benak masyarakat kita. Bahwa penyelesaian secara kekeluargaan itu memerlukan legitimasi formal. Karena putusan hakimlah yang dianggap lebih mengikat dan berkepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Sehingga, penyelesaian secara kekeluargaan lewat mediasi, negosiasi, itu kadang dianggap kurang greget. Celakanya, kalau yang diajak negosiasi itu justru aparat penegak hukumnya. Polisinya, jaksanya, paniteranya, hakimnya.
Refleksi
Kultur berhukum masyarakat kita, biasanya jarang melibatkan aparat penegak hukum formal. Karena, penyelesaian secara kekeluargaan dianggap lebih menyelesaikan masalah. Sekaligus secara sosial dinilai lebih menimbulkan efek jera. Bahkan dirasa lebih mendekati keadilan menurut persepsi masyarakat.
Apakah itu keliru? Jawabannya yaa tergantung. Kalau dari segi legal formal sistem peradilan negara, yaa bisa saja itu keliru. Apalagi tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), pemerasan, dan berbagai tindakan persekusi lainnya tetap saja potensi terjadi. Tapi kalau dari segi selesainya masalah. Mungkin saja praktik hukum seperti itu yang cenderung efektif dan mampu menciptakan keseimbangan sosial.
ADVERTISEMENT
Tapi sekali lagi, negara hukum kita ini hasil 'perkawinan' antara yang formal dan informal. Sehingga, kombinasi keduanya masih relevan dan diperlukan. Sejatinya, yang terpenting adalah terwujudnya keadilan. Yaa., keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Suka tidak suka, inilah bangunan konsep negara hukum yang sedang kita bangun. Dan sembari kita terus mencari pola yang wangun (pas/tepat).
Yuniar Riza Hakiki