Konten dari Pengguna

Watak dan Siasat Berdamai dengan UU ITE

Yuniar Riza Hakiki
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII
20 Februari 2021 22:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yuniar Riza Hakiki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekejap mengubah cara hidup manusia.
Yang mungkin para pendahulu kita, dulu menyampaikan dan mengakses informasi harus dengan ketukan kentongan. Kini kita memasuki masa di mana untuk menyampaikan dan mengakses informasi cukup hanya dengan ketikan digital. Dan ketukan itu kini betul-betul telah bertansformasi menjadi ketikan.
ADVERTISEMENT
Untuk menyampaikan pesan, dialog, berdiskusi saja kita tak lagi perlu bertemu langsung empat mata. Bahkan, tanpa harus sibuk mencari informasi, setiap saat telepon pintar kita bisa mengirim notifikasi berita. Pun demikian, kini para pedagang dan pembeli tak mesti bertemu di pasar untuk melakukan transaksi dagangnya. Begitulah hari-hari ini.
Ketika jutaan bahkan miliaran penduduk bumi saling melintas di ruang digital
maka silang sengkarut risiko saling bertubrukan pun sangat potensial terjadi. Pantas saja bila ruang digital ini, selain memberikan berbagai efek kemudahan bagi kehidupan manusia, ternyata juga bisa menjadi area yang berisiko tinggi (high risk area).
Maka lazim bila berbagai otoritas negara membentuk hukum (undang-undang) untuk mengatur dan mengendalikan lalu lintas ruang digital dari berbagai risiko yang rentan terjadi. Di Indonesia, undang-undang itu diberi label
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
ADVERTISEMENT
Hukum Berwatak Ganda
Hukum di negara mana pun memang cenderung berwatak ganda. Begitupun UU ITE. Sudah lama para ahli pikir masa lalu mengenalkan bahwa hukum itu memuat perintah, larangan, sanksi. Demikian pula berbagai ajaran Agama mana pun juga mengajarkan begitu. Tiga muatan itulah, yang kemudian menjadikan ada sesuatu hal yang wajib dilakukan, boleh dilakukan, atau dilarang untuk dilakukan.
Oleh karena itu, tak heran bila suatu undang-undang adakalanya berwatak 'baik', adakalanya pula terkesan 'jahat'. Begitupun UU ITE, di satu sisi ia bisa berperan 'baik', karena bisa menjaga dan merawat martabat kemanusiaan di ruang digital, di sisi lain justru bisa juga mengancam hakikat manusia sebagai makhluk yang sejatinya diciptakan 'merdeka'.
UU ITE yang lahir di era demokratisasi, digagas agar menjadi salah satu instrumen hukum yang bisa mengendalikan potensi kecelakaan pada lalu lintas digital. Sehingga peradaban luhur, moral dan etika komunikasi bangsa Indonesia tidak rusak karena serangan hama fitnah, asusila, penghinaan/pencemaran nama baik, ujaran kebencian, pemerasan, maupun pengancaman yang memang sejak lama diakui menjadi risiko ruang digital ini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, metode yang kini digunakan UU ITE untuk melawan hama-hama tersebut justru cenderung represif. 'Borgol' dan 'jeruji besi' menjadi langkah perdana para otoritas penegak hukum untuk menindaknya.
Oleh karena itu, kentaralah watak kedua dari undang-undang ini. Ia terkesan 'jahat' terhadap setiap orang yang bermaksud memanfaatkan media digital sebagai sarana kritik terhadap otoritas, atau terhadap pihak/kelompok tertentu. Demikian pula terkesan 'jahat' terhadap para influencer yang dalam peranannya biasa menggunakan beragam gaya dan metode komunikasi.
Gagasan Presiden Jokowi untuk kembali mengkaji kemungkinan UU ITE bisa direvisi, mengesankan bahwa undang-undang ini memang seolah telah menjadi ‘predator’ yang musti ‘dijinakkan’.
Siasat Berdamai
Seirama dengan itu, agar atmosfer ruang digital tak kunjung keruh, maka terhadap realitas UU ITE ini perlu disiasati dengan tiga upaya damai.
ADVERTISEMENT
Pertama, memperbaiki substansi undang-undang yang masih memuat teks yang cenderung 'abstrak' dan 'multitafsir'. Seperti, frasa "...yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik...". Ada baiknya disertai kejelasan indikator/paramater yang cukup spesifik, sehingga tidak memicu konflik implementasi.
Kedua, menata ulang metode penindakan yang masih cenderung represif, menjadi metode yang lebih berorientasi pada upaya pemulihan (restorative). Pendekatan 'pemenjaran' nampaknya perlu ditelaah relevansinya sebagai sarana treatment hama ruang digital, agar tak memantik reaksi kontraproduktif.
Ketiga, mencegah dominasi otoritas tunggal negara dalam penggunaan UU ITE yang bisa 'mengancam' warga negara yang bertindak kritis/kontra pada negara. Bentuk pemerintahan 'republik' tentu tidak sama dengan 'monarkhi absolut' yang meletakkan Raja/Ratu sebagai otoritas tunggal. Maka komitmen saling kontrol antar cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudisial) menjadi 'taruhan' terwujudnya upaya ini.
ADVERTISEMENT
Ketiga upaya di atas berpangkal pada spirit 'konstitusionalisme' yang dianut dalam konsep bernegara Indonesia. Yakni prinsip yang meletakkan dasar pelindungan dan penghormatan terhadap hak-hak konstitusional warga negara, serta pembatasan kekuasaan negara.
Upaya berdamai dengan realitas hidup di bawah rezim UU ITE tersebut, menjadi ikhtiar merawat keseimbangan kemudi demokrasi. Dan, kehendak politik yang baik (the good political will) merupakan kunci terwujudnya siasat ini.
Yuniar Riza Hakiki, peneliti dan pemerhati hukum.