Untitled Image

3,8 Juta Pelajar Terancam Gangguan Asap

Yusra Tebe
Fellow di Resilience Development Initiative (RDI) https://www.rdi.or.id/home & https://www.predikt.id/beta/.
16 September 2019 9:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tulisan ini akan mengulas dampak asap terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Dampak kesehatan bagi anak, juga akan menyampaikan apa saja upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi persoalan ini, serta apa solusi yang dapat dilakukan.
Sebaran kebakaran hutan. Sumber: BNPB
Asap akut terjadi lagi di tahun 2019. Dampaknya begitu luas: Kerugian ekonomi, kesehatan yang menurun, terganggunya jadwal penerbangan, hingga terhentinya sebagian proses belajar-mengajar di sekolah di beberapa daerah. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 13 September 2019, asap ini disebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 328 ribu hektare, yang tersebar di 5.000 titik di seluruh Indonesia.
Titik panas terbesar ada berada di lima provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Kualitas udara di daerah ini juga sudah masuk ke dalam kategori tidak dan sangat tidak sehat menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Kualitas udara akibat asap. Sumber: BMKG
Kejadian karhutla ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Dalam skala yang masif telah terjadi sejak 1997 atau sejak 22 tahun yang lalu. Jika merujuk kepada data Bank Dunia melalui penelitian yang berjudul “Kerugian dari Kebakaran Hutan, Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran Tahun 2015”, 2.611 hektare lahan terbakar dengan kerugian yang ditimbulkan mencapai USD 16 miliar atau 221 triliun rupiah, hal ini dua kali lebih besar dari biaya rekonstruksi Aceh pasca-tsunami pada tahun 2004
ADVERTISEMENT
Pertanyaan utama adalah, kenapa karhutla ini terus terjadi selama 22 tahun terakhir, bahkan hampir setiap tahun dengan skala yang berbeda beda. Berbagai analisa dan pendapat telah disampaikan pemerintah dan Lembaga nonpemerintah. Di antaranya, kepala BNPB menyebut 99 persen penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah ulah manusia, dan hanya 1 persen diakibatkan gejala alam.
Hal ini diperkuat oleh analisa yang dikeluarkan oleh Green Peace Indonesia yang menyatakan “kita telah kehilangan hutan di Indonesia sebanyak 24 juta hektare yang disebabkan terutama karena perluasan industri perkebunan sawit, industri kertas, dan bubur kertas, serta illegal logging yang saat ini mulai mengancam hutan-hutan terakhir kita”.
Lebih jauh, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyampaikan hasil penelitian mereka pada 2015, yang menyebutkan beberapa penyebab utama karhutla, di antaranya: kontrol dan pengawasan pemerintah yang lemah dalam mengawasi proses eksplorasi perusahaan, penegakan hukum yang diskriminatif bagi pengusaha yang terlibat pembakaran dan penebangan hutan secara liar, pendudukan lahan, dan deforestasi hutan Indonesia. Hal lain yang sering mengemuka adalah disebabkan oleh alasan ekonomi dan karena kemarau yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT

Asap Mengganggu Dunia Pendidikan

Berdasarkan data pokok pendidikan yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terdapat 3,8 juta siswa-siswi di 6 provinsi terdampak, mulai dari jenjang Pendidikan anak Usia Dini (PAUD) hingga tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Angka ini tentu akan semakin besar jika memasukkan jumlah siswa yang berada di madrasah dan pesantren. Artinya seluruh anak yang berada di provinsi tersebut terancam akibat asap. Namun jika melihat pengalaman 2015, dan masih merujuk kepada penelitian Bank Dunia di atas, pada saat itu ada 4,6 juta siswa yang terdampak, dengan kerugian Rp 540 miliar. Di beberapa tempat, Sekolah bahkan libur hingga 34 hari.
Asap ini sangat berpengaruh buruk terhadap sektor pendidikan dan kesehatan. Karhutla telah menyebabkan kualitas udara yang sangat berbahaya. Dengan sebaran yang cukup luas membuat ruang gerak siswa menjadi lebih terbatas di beberapa daerah.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat kita lihat melalui website monitoring karhutla, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “SiPongi”. Melalui website tersebut kita dapat memantau.
Berbagai gangguan serius lain telah terjadi terhadap dunia pendidikan. Karenanya beberapa pemerintah daerah, melalui dinas pendidikan, telah mengambil inisiatif dan kebijakan untuk meliburkan sementara kegiatan belajar mengajar (KBM). Seperti yang dilaporkan oleh kumparan, pemerintah Kabupaten Sintang, dan kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat telah meliburkan aktivitas KBM untuk jenjang PAUD sampai SMP.
Perkembangan terbaru yang disampaikan oleh Kemendikbud pada 16 September 2019, dalam rapat terbatas tentang “Penanganan Layanan Pendidikan Pada Sekolah Terdampak Asap Karhutla” menyebut pemerintah di Provinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat telah mengeluarkan surat edaran maupun instruksi untuk meliburkan sekolah yang terdampak asap. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan penyakit yang dapat timbul akibat asap.
ADVERTISEMENT
Meliburkan sekolah tentu akan mengganggu proses belajar mengajar jutaan siswa di 6 provinsi yang terdampak langsung. Selain mereka kehilangan hak belajar, hak bermain, juga akan berpotensi sakit parah. Seperti yang disampaikan oleh Departemen Kesehatan melalui buku 'Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk Anak Sekolah' yang menyebutkan ada 5 penyakit utama yang disebabkan oleh asap, di antaranya; Infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), penyakit Asma, mengurangi/memperburuk kinerja paru-paru, penyakit jantung, dan iritasi.
Laporan kumparan menyebutkan seorang anak di provinsi Jambi telah mengalami iritasi mata akibat asap. Dan berbagai kejadian dan penyakit juga terpantau di beberapa daerah lain. Jika hal ini dibiarkan, maka kondisi bisa semakin parah, terutama terhadap anak.
Upaya melindungi diri dari asap. Sumber: Depkes RI

Penanganan Jangka Panjang vs Jangka Pendek

Warga menggunakan masker saat berada di objek wisata bantaran Sungai Kahayan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (15/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rendhik Andika
Sikap pemerintah daerah untuk meliburkan sekolah, selain faktor keamanan, juga merujuk kepada surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), yang telah diterbitkan sejak 2015. Surat tersebut berisi, "jika indeks standar pencemaran udara (SPU) di atas ambang berbahaya, maka kegiatan belajar mengajar di satuan Pendidikan harus ditiadakan dan siswa belajar di rumah".
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti saat ini, tentu Kemendikbud perlu melakukan pendataan secara cepat dan terkoordinir di antara lintas direktorat internal Kemendikbud, maupun dengan berbagai lembaga eksternal, di bawah koordinasi Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SEKNAS SPAB). Hal ini diperlukan, untuk mendapatkan informasi berapa banyak sekolah dan anak yang terdampak, di mana saja, dan apa kebutuhan mendesak saat ini.
Dengan informasi tersebut tentu akan dapat disimpulkan kondisi terkini, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat perencanaan respons jangka pendek, seperti distribusi masker, pembuatan sekolah atau ruang kelas aman asap, melaksanakan bimbingan belajar di rumah yang lebih terencana yang disosialisasikan juga kepada orang tua atau pendamping anak, melakukan kampanye di lingkungan sekolah akan bahayanya asap, serta membuat rencana jangka Panjang yang berorientasi kepada kesiapsiagaan bencana.
Apa yang dapat dilakukan di sekolah. Sumber: Depkes RI
Hal ini tentu tidak menyelesaikan persoalan secara menyeluruh, karena diperlukan kebijakan dan tindakan yang lebih terencana dan terukur. Misalnya dengan melanjutkan dan mengembangkan inovasi model sekolah aman asap yang telah dikembangkan dan telah di uji di beberapa sekolah oleh Kemendikbud dan Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 2015, mungkin diperlukan evaluasi apa kekurangan dan kelebihan teknologi ini.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya melatih dinas Pendidikan, siswa, dan guru soal bagaimana melakukan bimbingan belajar dis aat bencana dengan menggunakan pedoman pendidikan dalam situasi bencana secara offline atau dinas dan guru dapat belajar secara daring bagaimana membuat model sekolah aman asap dengan biaya murah melalui video membuat sekolah aman asap yang telah di produksi oleh Kemendikbud.
Untuk jangka Panjang, dapat melakukan pelatihan pengurangan risiko bencana untuk staf Dinas Pendidikan, Guru, dan siswa dengan menggunakan modul satuan pendidikan aman bencana yang telah dikembangkan oleh Kemendikbud dan Unicef.
Model sekolah aman asap. Sumber: Kemendikbud
Dalam perencanaan penanganan bencana jangka Panjang, Kemendikbud tentu tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Karena penyebab asap adalah karhutla, sehingga penangan asapnya tentu di luar kewenangan Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
Diperlukan kerja sama dengan BNPB, kemensos, Kemenag, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menlhk), Pemerintah Daerah, dan berbagai kementerian lembaga yang terkait lainnya. Sedangkan untuk penindakan hukum tentu harus diserahkan kepada Kepolisian, dengan bantuan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada prinsipnya, pemerintah perlu segera mengatasi persoalan ini melalui tiga tahap.
Pertama, melakukan berbagai penangan darurat yang diperlukan, terutama untuk sektor pendidikan.
Kedua, membuat rencana penanganan jangka panjang yang berorientasi kepada pengurangan risiko bencana yang responsif, dengan melakukan penindakan hukum yang kepada para pihak yang melakukan pembakaran hutan dan lahan secara ilegal.
Ketiga, melakukan kampanye dan penyadaran kepada berbagai pihak, soal bahaya asap akibat karhutla. Tindakan ini sangat krusial dilakukan segera demi menyelamatkan anak sebagai generasi bangsa yang terpapar penyakit akibat asap.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten