Konten dari Pengguna

Thrift Shop: dari Budaya Hemat Hingga Keberlanjutan

Yustine Juneytalenta
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret 2024
12 Desember 2024 15:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yustine Juneytalenta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Beberapa Baju yang Dijual Thrift Store di Pinggir Jalan (Sumber: Potret Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Beberapa Baju yang Dijual Thrift Store di Pinggir Jalan (Sumber: Potret Pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebagai warga baru kota Surakarta, saya cukup dikejutkan dengan menjamurnya thrift store yang ada. Dari Jebres sampai ke Slamet Riyadi–bahkan tempat-tempat lain yang saya sendiri belum tahu namanya–saya sering menjumpai orang-orang berjualan barang secondhand yang tidak hanya terdiri dari celana ataupun baju, namun juga barang-barang lain seperti jam tangan, sepatu, tas, digital camera, kaset, dan buku. Bahkan tak sedikit penjual yang tak mau repot menggantungkan 'sandhangan' yang ia jual pada rel pakaian dan sekedar digantungkan kepada pagar di sekitar ia berjualan. Sedikit berbeda dengan kota saya berasal, yang mana thrift store sendiri masih sedikit adanya dan tidak sampai menjamur di tepian jalan dan paling-paling hanya menyediakan celana, baju, dan jaket bekas. Tak memungkiri, bagi sebagian orang thrifting memiliki nilai seni tersendiri. Seperti halnya seorang teman saya, yang memilih untuk membeli baju-baju secondhand karena dirasanya lebih 'nyeni' ketimbang membeli baju baru. Tingginya minat orang-orang seperti teman saya ini barangkali yang menjadi alasan di balik menjamurnya thrift shop.
ADVERTISEMENT
Menilik dari sudut pandang hukum nasional, Indonesia sendiri sebenarnya melarang kegiatan thrifting jika barang yang dibeli berasal dari luar negeri–dengan artian, thrifting ‘halal’ dilakukan apabila barang tersebut merupakan hasil produksi lokal. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor (Permendag 18/2021) Pasal 2 ayat (3) huruf d mengatakan bahwa "Barang Dilarang Impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas". Alasan yang melatarbelakangi peraturan ini adalah kekhawatiran akan ketidakseimbangan kualitas komoditi yang kemudian dapat merusak pasar lokal. Peraturan ini adalah bentuk perlindungan negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Mengesampingkan persoalan oknum-oknum yang nekat untuk menjual belikan barang-barang secondhand dari luar negeri (impor). Thrifting merupakan tindakan menentang fast fashion. Fast fashion sendiri memang mengusung hal-hal yang bertentangan dengan ekonomi hijau seperti; resource intensive, dan profit focused. Selain itu, fast fashion juga akrab hubungannya dengan sweatshop dikarenakan kewajiban akan high volume yet low cost yang ada. Dengan memanfaatkan hukum supply and demand industri fast fashion bertahan.
ADVERTISEMENT
Padahal, Indonesia sebenarnya merupakan satu dari sekian negara yang paling terdampak dikarenakan adanya fast fashion. Tidak cukup lingkungan yang tercemar karena industri fast fashion yang mengesampingkan alam sebagai biaya eksternalitas, Indonesia juga memasok banyak tenaga untuk dipekerjakan dalam area 'toko keringat ini'.
Source: Ecowatch.com
Rupanya, melalui kegiatan thrifting ini seperti memberi 'kehidupan kedua' pada barang yang sudah dibeli–yang dirasa sudah tidak memiliki nilai jual–. Barang-barang bekas tersebut mengalami komodifikasi melalui kegiatan thrifting. Tak cukup di situ, selain dapat membeli barang branded dalam harga yang relatif murah. Kegiatan thrifting juga menghemat penggunaan bahan pada tahap produksi, seperti kain, pewarna, dan berbagai macamnya. Sebagaimana trade off dari barang yang dijual murah dan sustainability yang didapat, terkadang, resiko menghabiskan waktu menjadi harga yang terkadang harus dibayar dari kegiatan thrifting. Namun saya rasa, waktu sebagai biaya ini jauh tidak sebanding dengan manfaat yang akan dirasakan. Dengan kata lain, dengan limitasi berupa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor yang menjaga kualitas pasar negeri, juga dengan kesadaran akan pentingnya sustainability akan lingkungan juga manusia, thrifting dapat dipandang sebagai wujud kegiatan bakti akan keberlangsungan.
ADVERTISEMENT