Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Brain Rot dan Kecanduan Konten Perlu Diwaspadai, Mengapa?
13 Mei 2025 17:49 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yusuf Abdhul Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kita semua hidup di era digital banjir informasi. Konten berserakan dimana-mana dalam berbagai bentuk bentuk video pendek, meme, dan cuplikan suara. Apalagi, adanya AI yang memudahkan seseorang untuk memproduksi konten lebih cepat, efisien dan menarik.
ADVERTISEMENT
Padahal, apabila digunakan dengan bijak AI harusnya digunakan untuk kebutuhan yang lebih edukatif di dunia pendidikan. Walaupun di tulisan Saya sebelumnya tentang "AI dan Kemalasan Siswa", dengan AI, siswa jadi tidak kreatif dan menerima apa adanya apapun yang diberikan oleh AI.
Konten Brain Rot itu Menghibur atau Membahayakan?
Memang, saking banyaknya informasi yang sekilas tampak menghibur, ternyata dibaliknya bisa menyimpan potensi bahaya.
Fenomena seperti brain rot dan kecanduan konten bukan hanya istilah gaul. Fenonema ini bisa berdampak nyata pada pola pikir, kesehatan mental, dan kemampuan belajar, terutama bagi remaja dan pelajar.
'Brain Rot' Dinobatkan sebagai Kata Oxford Tahun 2024
Dilansir dari Oxford University Pers, para ahli kami memperhatikan bahwa 'brain rot' menjadi semakin populer sebagai istilah yang menggambarkan kekhawatiran tentang dampak mengonsumsi konten daring berkualitas rendah dalam jumlah berlebihan, terutama di media sosial.
ADVERTISEMENT
Istilah tersebut meningkat frekuensi penggunaannya sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024.
Di media sosial, istilah brain rot sering digunakan untuk menyindir mereka yang terlalu banyak mengonsumsi konten dangkal secara berulang.
Ini bukan hanya soal hiburan semata. Ketika otak terbiasa menerima rangsangan instan, kemampuan untuk fokus, berpikir panjang, dan menyusun argumen pelan-pelan mulai tumpul.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk mulai memikirkan: apakah cara kita mengonsumsi konten hari ini justru sedang merusak cara berpikir kita?
Apa yang Sudah Terjadi Sekarang Ini?
Beberapa penelitian mulai menyoroti fenomena ini. Salah satunya Penelitian yang dilakukan di tujuh universitas di Cina Tengah. Total sampel mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1.047 mahasiswa oleh Jin Xie, dkk. (2023), memberikan hasil yang cukup bagus untuk dijadikan pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Apabila kita membaca lebih lanjut isi artikel ilmiah tersebut, hal ini mendukung argumen bahwa kecanduan video pendek dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap fungsi kognitif dan perilaku akademik siswa.
Masalahnya adalah penelitian yang Saya temukan masih dalam koridor tentang "konten pendek atau video pendek" serta "screen time" saja, belum sampai mencari hubungan antara konten brainrot (khsusnya: memiliki kualitas rendah, dangkal, atau tidak bermakna) dengan aspek akademik dan psikologis.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya sudah ada secara singkat tentang penelitian ini, berujudul "The Phenomenological Analysis of the Impact of Digital Overstimulation on Attention Control in Elementary School Students: A Study on the 'Brain Rot' Phenomenon in the Learning Process" yang ditulis oleh Eogenie Lakilaki, dkk. (2025), yang menjelaskan bahwa penyebab dari brain rot ini banya, antara lain:
ADVERTISEMENT
Saran yang disampaikan dalam penelitian itu untuk mencegah ini adalah dibutuhkan peran orang tua dan guru, yaitu dengan intervensi restoratif seperti istirahat di luar ruangan dan latihan fokus, aktivitas di alam, rutinitas kelas yang fokus pada perhatian, pengingatan guru, dan batasan waktu layar di rumah.
Celah yang Perlu Dikaji Lebih Dalam
Meski sejumlah riset sudah dilakukan, masih banyak celah yang perlu dijelajahi lebih lanjut.
Misalnya, bagaimana brain rot (khsusnya: memiliki kualitas rendah, dangkal, atau tidak bermakna) memengaruhi kemampuan berpikir kritis jangka panjang? Apakah ada hubungan langsung antara jenis konten tertentu dengan penurunan motivasi belajar?
Kita juga belum banyak memiliki kajian yang menghubungkan brain rot dengan kebiasaan belajar di sekolah atau dengan kebiasaan membaca buku.
ADVERTISEMENT
Padahal, di sinilah titik pentingnya: apakah generasi hari ini sedang kehilangan daya tahan berpikir hanya karena terlalu akrab dengan hiburan instan?
Dengan adanya tulisan ini semoga saja bisa jadi ajang untuk pembaca mengembangkan penelitian ke arah sana. Lebih-lebih bisa menumbuhkan inovasi untuk mengatasi masalah brain rot ini di dunia pendidikan.
Misalnya, bagaimana kriteria pengklasifikasian konten brain rot (receh yang tidak bermakna) dan bermanfaat, apakah perlu edukasi dikemas dalam model receh, dan lain sebagainya.
Referensi:
ADVERTISEMENT