Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Depok
3 Mei 2021 9:16 WIB
Diperbarui 10 Mei 2021 10:36 WIB
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam antropologi ada semacam aksioma—sesuatu yang diterima sebagai benar tanpa perlu dipertanyakan lagi kebenarannya—tentang bagaimana alam ikut membentuk perilaku, perangai, cara pandang akan kehidupan mereka yang hidup di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ini untuk menjelaskan mengapa orang yang tinggal di pedalaman akan sangat berbeda dengan orang pesisiran. Berbeda pula orang dari gurun pasir dan dengan mereka yang tinggal di kelebatan hutan yang subur. Dan seterusnya serta selanjutnya.
Dalam perkembangannya, aksioma yang sama digunakan untuk menjelaskan relasi kota dan penduduknya. Walau sebuah kota dibangun oleh penduduknya, tetapi pada akhirnya keduanya akan saling mempengaruhi. Berpusingan dalam sebuah hubungan yang sulit diurai ujung dan pangkal.
Ini untuk menjelaskan mengapa mereka yang berasal dari kota dagang berbeda dengan mereka yang datang dari kota industrial. Keduanya berbeda dengan mereka yang datang dari daerah agraris. Berbeda pula dengan mereka yang datang dari kota pendidikan. Dan seterusnya serta selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kecuali Depok tentu saja. Kota ini sepertinya tak mengenal aksioma tersebut.
**
Terakhir saya baca—anda bisa membukanya sendiri—di portal resmi kota Depok, kota ini diarahkan sebagai kota permukiman, pendidikan, jasa dan niaga, pariwisata, dan resapan air.
Five in One.
Muluk sekali.
Jarang sebuah kota mencanangkan hal semacam ini. Biasanya focal point perkembangan sebuah kota baru hanya satu atau dua saja.
Tetapi tentu saja itu hak Depok untuk berbeda dengan kota-kota lain. Celakanya, melihat bagaimana Kota Depok berkembang organik seperti tumbuhan jalar liar, percayakah anda kalau dikatakan ada yang mengarahkan pertumbuhan kota ini. Kalaupun ada yang mengarahkan, tidakkah anda mempertanyakan cara mengarahkannya seperti apa dan ke arah mana.
Yang paling masuk akal sebenarnya menjadikan kota permukiman. Menjadi penyangga—kota satelit—untuk Jakarta. Saya kira secara natural itu sudah terjadi.
ADVERTISEMENT
Tetapi mengatakan hal tersebut bukan berarti Depok sukses sebagai kota permukiman. Ada keacak-adutan pengaturan terjadi di sana-sini.
Suatu saat kebetulan saya mengunjungi seorang teman di sebuah kompleks permukiman. Tetapi satu-satunya jalan masuk ke permukiman teman ini harus melewati kompleks permukiman lain. Ini seperti rumah yang tidak mempunyai jalan masuk kecuali menumpang tanah milik tetangga.
Ketika saya tanyakan ke teman akan hal ini, jawabnya hanyalah helaan napas dan pernyataan, "Ya memang begitu."
Sungguh sulit untuk memahami mengapa hal demikian bisa terjadi? Tidakkah pemerintah kota mempunyai masterplan untuk mengatur hal sederhana seperti ini? Pantas saja gengsi Depok sebagai kota penyangga kalah dengan kota-kota lain di sekeliling Jakarta.
Karenanya saya juga mempunyai reservasi dengan untuk mencoba memahami Depok sebagai kota pendidikan. Apakah kota ini secara khusus memikirkan, membangun, menyediakan semacam fasilitas super dari pra-sekolah hingga perguruan tinggi ke seluruh warganya atau bagaimana? Karena saya tak pernah mendengar siapapun memuji, iri, atau berusaha untuk mengirimkan anaknya bersekolah ke Depok. Sekolah di Depok setahu saya tak ada yang menonjol.
ADVERTISEMENT
Tentu saja ada Universitas Indonesia, dan mungkin Universitas Gunadarma, sebagai preferensi di tingkat pendidikan tinggi. Tetapi saya tak mengerti kegunaan dua universitas ini untuk Depok sama sekali. Atau saya tak mengerti bagaimana cara Depok memanfaatkan keberadaan kedua lembaga ini. Atau sesungguhnya tak ada kaitan antara kedua universitas itu dengan Depok kecuali keduanya kebetulan ada di Depok.
Memaklumatkan diri sebagai kota pendidikan tetapi tak ada pendar keilmiahan sama sekali di kota ini. Malah sebaliknya. Selama beberapa tahun terakhir kita disodori beberapa ide untuk memajukan kota yang logikanya mungkin khas Depok: Gerakan Sehari Tanpa Makan Nasi dan Gerakan Makan dengan Tangan Kanan.
Saya juga tak mengerti yang dimaksud Depok sebagai kota niaga dan jasa. Tak ada tanda peradaban yang dilakukan pemerintah kota yang menunjukkan Depok memang diarahkan ke sana.
ADVERTISEMENT
Saya bahkan kesulitan membayangkan pemerintah kota mengerti apa yang dimaksud kota niaga dan jasa berkaca pada kemampuan untuk mengurai hal yang kasat mata seperti kemacetan misalnya. Alih-alih memikirkan jalan keluar lewat masterplan yang holistik—menata kota dan segala infrastruktur sosialnya—jalan keluarnya tambal sulam klasik tak kreatif: Melebarkan jalan dan menambah jalan baru. Ketika mencoba kreatif, sungguh kreativitas mendekati jenius: Memutar lagu —walau bukan lagu sembarang lagu karena yang menyanyi tak kurang adalah sang wali kota sendiri—di simpang lampu lalu lintas.
Dua terakhir dari five in one-nya Depok lebih tak masuk akal lagi: Pariwisata dan resapan air.
Coba bayangkan pariwisata seperti apa yang akan anda lakukan bila ke Depok? Sebutkan satu saja tempat wisata di Depok yang layak kunjung untuk orang luar?
ADVERTISEMENT
Saya pernah tergoda untuk mendatangi studio alam TVRI di pojok kota ini. Satu-satunya yang sepertinya bisa ditawarkan oleh Depok.
Semakin mendekati tempat tujuan semakin saya ragu dengan keputusan saya untuk mengunjunginya. Biasanya ketika mengunjungi tempat wisata, semakin dekat dengan tujuan, secara gradual ada suasana yang berubah. Tidak untuk yang satu ini. Deretan kepepatan demi kepepatan terpampang sama dari tengah kota hingga ke tempat tujuan. Yang berbeda hanyalah jalanan semakin buruk, lalu lintas semakin tak teratur, dan wajah tidak sabar mereka yang hendak ingin segera tempat ke tujuan. Dan ketika sampai ke tujuan kita dihadapkan ke sebuah kompleks yang seperti sudah 20 tahun tidak dirawat dan diabaikan.
Kota resapan air? Depok adalah salah satu kota penyangga Jakarta dengan pertumbuhan penduduk paling cepat. Hutan beton dan hutan permukiman tumbuh dengan sangat cepat membabat lahan terbuka dengan rakus.
ADVERTISEMENT
**
Depok adalah sebuah oxymoron. Setidaknya sebuah paradoks. Sebuah absurditas.
Diarahkan menjadi kota permukiman tetapi tanpa arahan permukiman. Dijadikan kota pendidikan tanpa ada cara berpikir yang ilmiah. Dimaksudkan sebagai sebagai pusat niaga dan jasa tanpa dibangun infrastruktur penyelenggaraannya. Ingin menjadi kota pariwisata tanpa ada tempat untuk berwisata. Bercita-cita menjadi kota resapan air tetapi yang dikerjakan adalah menanam hutan beton yang lebat.
Bisa dimengerti kalau penduduknya menjadi linglung dan bingung akal. Kesulitan untuk menengarai apa yang dimaksud dan apa yang harus dikerjakan. Kesulitan untuk memahami antara apa yang dituju dan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Penduduk Depok terbiasa untuk menyaksikan sebuah pertunjukan nalar yang tidak koheren, tidak sinkron antara tujuan dan tindakan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu apakah populernya peristiwa babi ngepet dan banyaknya warga yang percaya belum lama ini ada kaitannya dengan hal-hal di atas. Tetapi tidak akan mengejutkan bila demikian halnya. Tidak akan mengejutkan pula bila yang serupa terjadi lagi di masa depan. Mungkin babi ngesot, babi ndeprok, dan babi-babi lainnya.