Masyarakat yang Crigis

Yusuf Arifin
tidak tertarik dengan banyak hal. insecure one trick pony.
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2020 10:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yusuf Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu saat seorang teman mencolek agar saya membuka status Facebook seseorang.
ADVERTISEMENT
"Itu pasti tentang kamu," katanya yakin. "Baca saja."
Ia tak menjelaskan mengapa saya disuruhnya membaca.
Penasaran saya membukanya.
Walau sama sekali tak menyebut nama, tak disangsikan status itu memang tentang saya.
Si penulis status mengaku telah memperhatikan saya sejak lama, tahu tempat saya bekerja, tahu tempat saya bekerja sebelumnya, kecenderungan cara berpikir saya, dan (sepertinya) kenal dengan bapak saya.
Tak masalah. Saya bukan orang terkenal tetapi yakin pasti ada satu dua orang yang tahu saya dan keluarga.
Biasa saja. Kita (atau saya) sering kali juga tahu seseorang dan latar belakang mereka tanpa harus saling berkenalan.
Tetapi yang membuat terkejut, dengan alasan telah lama mengamati gerak-gerik saya dan kemudian media tempat saya bekerja melakukan kesalahan menyebut seorang tokoh komunis sebagai pahlawan, ia lalu menyimpulkan saya sedikitnya seorang simpatisan komunis atau mungkin malah lebih.
ADVERTISEMENT
Ini berkebalikan total dengan bapak saya yang sangat antikomunis, lanjut status itu.
Lalu ia menutup kesimpulannya dengan, seorang anak biologis belum tentu anak ideologis.
Saya lihat ada beberapa komentar yang menanggapi status. Semuanya dengan nada prihatin.
Saya tidak menanggapi status tersebut. Tak ada gunanya juga.
Tetapi saya sampaikan soal status itu ke keluarga.
"Lumayan, tabungan meringankan dosa kalau nanti saya mati," kata saya kepada keluarga. "Dighibahin orang dengan bau-bau fitnah."
Saya tidak mengenalnya, belum pernah berbincang-berinteraksi dengannya, belum pernah pernah bertemu, dan hanya tahu dari apa yang ia unggah di halaman Facebook-nya. Jadi saya tidak cukup bisa mengerti mengapa ia menulis status itu.
ADVERTISEMENT
Kalau melihat konten Facebook-nya, ia seorang intelektual (yang cukup punya pengaruh). Dus, di sini persoalannya.
Saya pikir secara inheren seorang intelektual akan dingin mengunyah informasi, melakukan validasi atas informasi yang didapat, tidak tergulung oleh prasangka dan praduga, hati-hati dalam mengambil kesimpulan, mampu menahan diri dan menimbang secara dalam kegunaan menyebarkan apa yang ia pikirkan. Baik di dalam habitatnya atau tidak.
Tetapi dengan yang bersangkutan menulis status yang menurut saya serampangan itu, kita kemudian disadarkan, sikap yang semestinya tercermin dalam keseharian untuk mereka yang tersemati status intelektual tidaklah otomatis.
Dalam habitat intelektual serupa lembaga pendidikan, majelis keilmiahan, dan semacamnya, ada mekanisme, prosedur, dan adab yang menjadi inhibitor (penghambat-penyaring) agar informasi matang dan bisa dipertanggungjawabkan sebelum keluar menjadi pengetahuan umum.
ADVERTISEMENT
Tetapi di sini kita berbicara tentang sebuah lingkungan yang homogen. Semua yang ada di dalamnya sadar masuk ke sebuah platform dengan aturan-aturan baku.
Dalam keseharian kehidupan yang heterogen, inhibitor pada batas tertentu diserahkan pada individu. Si individu sendiri yang harus mengukur apakah yang ia katakan, simpulkan, dan sebar laik serta bisa dipertanggungjawabkan.
Di lingkungan profesi yang saya tekuni, kewartawanan, "jebakan" hidup di dua dunia juga sangat terasa.
Dalam kehidupan bekerja ada tuntutan ketat untuk memenuhi kaidah-kaidah yang mirip diharapkan ada pada para intelektual: Berimbang, hati-hati, lengkap menggali semua sumber informasi, tervalidasi, dan lain sebagainya.
Media adalah alat penyebaran berita sekaligus berfungsi sebagai inhibitor. Ia mengungkung, mensyaratkan pemenuhan pelbagai hal sebelum informasi menjadi berita yang disebut laik sebar.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah dalam kehidupan keseharian kami selalu bisa bersikap seperti itu?
Saya tahu persis betapa wartawan menerima dan tahu akan informasi yang luar biasa banyak. Lebih banyak yang tidak naik menjadi berita ketimbang sebaliknya. Mungkin karena kurang lengkapnya sumber, susah divalidasi, sepihak, dan segala hal lain yang tidak memenuhi persyaratan menjadi berita.
Disimpan dan ditimbunkah informasi-informasi itu? Anda nilai saja sendiri apakah demikian halnya.
Pun ketika para wartawan menerima informasi (persoalan-persoalan pribadi) yang tak ada kaitan dengan pekerjaan—yang artinya fungsi inhibitor ada di tangan pribadi—apakah mereka juga memegang prinsip-prinsip jurnalistik? Apakah mereka berpikir tentang keabsahan informasi dan melakukan pengecekan? Apakah mereka menakar sebelum ikut menyebar?
Saya meragukannya.
ADVERTISEMENT
Belakangan ramai orang menguliti habis hingga ke tulang film Tilik yang lagi populer di YouTube. Entek amek kurang golek (habis ambil, kurang cari), kalau kata orang Jawa. Ramai betul di media sosial.
Ramai dibahas soal sinematografinya, jalan ceritanya, pesannya, simbol-simbol yang dimunculkan, hingga ke pembahasan mengapa pemerintah Yogyakarta membuat film seperti itu.
Setengah jam saja panjang film non-komersial itu. Tidak sepanjang kontroversi yang diciptakannya. Berkisah tentang percakapan ibu-ibu desa di atas truk yang hendak membawa mereka menengok bu lurah di sebuah rumah sakit di kota.
Saya menonton Tilik sampai habis.
Tetapi setelah melihat bagaimana film itu dibahas habis oleh pencela dan pembelanya, kesimpulan saya film itu sungguh menohok dan profetik.
ADVERTISEMENT
Menohok, karena percakapan setengah jam bisa menggambarkan masyarakat kita ini seperti apa: Crigis (tidak bisa menahan diri untuk tidak cerewet, nyinyir, opinionated, sok tahu, dan ringan tanpa takar menyebarkan) terhadap apa saja.
Profetik, karena terbukti kemudian bagaimana reaksi pemirsa sungguh crigis tanpa inhibitor sedikitpun persis seperti percakapan di atas truk itu.
Tidak bisakah kita diam dan menahan diri untuk tidak crigis (sembarangan) barang sebentar saja?
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan